Rumah kita yang belum sempurna, tapi kehadirannya sangat-sangat membahagiakan.
Assalamualaikum, Ayah.
Ayah,
per 16 Januari 2025 sudah 17 tahun Ayah berpulang. Usiaku belum terlalu matang ketika Ayah pergi, tetapi pelan-pelan, aku yang tadinya meraba-raba dan gamang bisa berdiri dengan tegak. Sepeninggal Ayah, banyak yang terjadi di rumah kita dan itu semua membuatku semakin memahami apa artinya menjadi dewasa. Mengingat betapa Ayah begitu "memanjakan" aku dulu, kupikir aku tak bisa semandiri ini. Namun, cinta Ayahlah yang membuatku menjadi seperti sekarang. Ayah kebanggaanku dan akan selalu begitu.
Ayah,
aku ingin bercerita. Kali ini, cerita yang membahagiakan.
Sebentar lagi Ramadan, Yah. Berbeda dengan tahun-tahun yang telah lalu, Ramadan ini akan menjadi istimewa karena kami, khususnya Mamak, akan menyambutnya dengan ber-makmeugang di rumah. Itu artinya, kami bisa "dekat" lagi dengan Ayah.
Rumah kita tampak dari belakang, Yah. Dapurnya tak lagi sebesar dulu, tak apa kan, Yah?
Ayah,
rumah kita yang pada 14 Maret 2017 dibakar orang sudah kubangun lagi. Sudah utuh kembali. Meski belum sempurna, tapi aku senang karena akhirnya Mamak dan adik-adik jadi punya rumah (lagi) untuk pulang. Betapa bahagianya melihat senyum mereka. Pun aku, yang sejak SMP sudah kos di rumah orang, sejatinya selalu merindukan rumah untuk pulang.
Ayah,
kini aku bisa merasakan kebahagiaan yang dulu pernah Ayah rasa. Ketika pertama sekali Ayah berhasil membangun rumah kita yang pertama--di tengah huru-hara negeri kita yang mematikan harapan. Waktu itu aku sekitar kelas dua SMP. Betapa berbunga-bunganya hatiku saat setiap akhir pekan pulang ke rumah. Tidur di kamar sendiri di tempat tidur yang berkelambu.
Kata Mamak, salah satu yang membuat Ayah bersegera membangun rumah adalah karena Ayah punya anak perempuan. Di rumah itu pula aku pernah menangis sambil menggelesot karena tak mau pulang ke tempat kos. Lalu Ayah membujukku pelan-pelan hingga akhirnya tangisku reda. Lucu sekali mengingat aku sudah SMP.
Namun, rumah itu tak bertahan lama, huru-hara di kampung kita tak hanya merenggut harapan anak manusia, tetapi juga benda-benda yang mereka miliki. Bekas rumah itu sampai sekarang masih ada, sumurnya juga masih tetap mengeluarkan air.
Lalu, setelah kita pindah ke kampung yang baru, Ayah kembali membangun rumah untuk kita bernaung. Rumah itu selesai saat aku kelas dua SMA. Rumah itu menjadi saksi atas banyak peristiwa. Di sumur di rumah kita itu, ada mantel Ayah yang kami "sembunyikan" setelah peristiwa besar yang terjadi di Kota Idi.
Setahun kemudian, aku pun (kembali) meninggalkan rumah untuk kuliah. Hari-hari menjelang aku berangkat ke Banda, saat aku menyapu halaman, sempat kucuri dengar obrolan Ayah dengan seorang tetangga. Ayah bilang, kelak jika pun Ayah pergi, Ayah sudah "tenang". Sudah ada rumah bagi kami untuk berlindung dari terik dan hujan; ada sepetak dua petak kebun yang sudah menghasilkan untuk bertahan hidup. Selebihnya, ilmulah yang menjadi penentu jalan hidup kami. Namun, manusia hanya bisa berencana, Allah lah yang paling tahu yang terbaik untuk hamba-Nya.

Abu Wahab menepungtawari rumah kita pada pagi Kamis, 14 Februari 2025. Kami ahlibait turut dipeusijuek oleh Abu, Yah.
Ayah,
ketenangan seperti itulah yang (mungkin) kini menyelimuti hatiku. Aku yang selama bertahun-tahun menyimpan kegusaran, kini merasakan kelegaan luar biasa; ringan luar biasa. Aku sempat merasakan kehampaan karena rumah yang Ayah tinggalkan untuk kami pada akhirnya hilang dengan cara seperti itu. Sesungguhnya, yang paling berharga dari sebuah rumah adalah kenangannya. Kenangan bersama Ayah.
Ini penampakan ruang depan dan sebagian ruang tengah, Yah, yang kini telah lebih multifungsi: ada musala dan mezanine di atasnya yang terhubung ke rooftop.
Ayah,
aku sangat sedih ketika Adek D tamat SMA dan dia tak punya rumah untuk pulang. Alhamdulillah, sekarang dia sudah tamat kuliah dan bisa melengkapi kebahagiaannya dengan bisa pulang ke rumah. Sebagai anak bungsu dan usianya masih sangat dini ketika Ayah pergi, Adek D tentulah yang merasa paling kehilangan. Ia memendam isi hatinya selama bertahun-tahun dan belakangan baru mulai berani ia sampaikan. Saat Ramadan atau Lebaran tiba, keceriaannya seperti tertahan. Semoga ke depan tak lagi begitu.
Ayah,
aku takjub pada cara Allah menggerakkan hati manusia, tepatnya hatiku. Selama bertahun-tahun aku tak pernah sedikit pun punya niat untuk membangun lagi rumah kita. Selain karena keterbatasan finansial, kupikir, kalau ada rezeki, sebaiknya aku membeli rumah di Banda saja. Tapi, selama bertahun-tahun itu pula aku memanjaatkan doa yang sangat khusus. Dan ketika niatku menjadi bulat untuk membangun kembali rumah kita pada pertengahan tahun 2023, aku yakin itu adalah jawaban dari Allah Swt. atas doa-doaku yang khusus itu. Semua takkan terjadi tanpa kehendak-Nya kan, Yah?
Pada Desember 2023, aku pulang ke kampung untuk bertemu tukang, membicarakan biayanya, dan akhirnya berjabat tangan sebagai tanda "deal". Alhamdulillah, setelah setahun lebih sedikit, rumah kita akhirnya bisa ditempati. Bertepatan dengan 13 Februari 2025/14 Syakban 1446 Hijriah, Abu menepungtawari rumah kita dan malam hari sebelumnya ada samadiah untuk segala arwah. Semoga keberkahan selalu tercurahkan kepada keluarga kita, Yah.
Mamak salat untuk yang pertama kalinya di rumah setelah ia meninggalkan rumah karena sakit usai Idulfitri tahun 2015. Ternyata itu sudah sepuluh tahun lalu ya, Yah?
Ayah,
tak ada yang berubah dari rumah kita dulu, aku hanya memperlebar sedikit dari dua kamar tidur utama dan ruang tamunya supaya sedikit lebih leluasa. Di kamar tempat Mamak tidur, aku tambahkan kamar mandi di dalamnya supaya mudah bagi Mamak jika ingin berwudu untuk salat malam. Di ruang tengah aku tambahkan mezanine dan di bawahnya aku jadikan musala supaya ada tempat khusus untuk salat. Aku juga memindahkan pintu samping di sisi kiri ke sebelah kanan untuk melancarkan sirkulasi udara dan cahaya matahari. Dulu Ayah ingin rumah punya kita ada teras, kan? Keinginan Ayah sudah kuwujudkan.
Ini kamar mandi di kamar Mamak, Yah. Mamak sering mandi sebelum salat malam atau salat Subuh, Yah. Semoga keberadaan kamar mandi ini membuat Mamak semakin nyaman dan tenang beribadah.
Ayah,
aku sanggup karena doa-doa yang setiap malam dipanjatkan Mamak dalam salatnya. Doa-doa yang selalu disertai dengan isak tangis dan sering kudengar sayup-sayup di dalam tidurku. Bukankah doa seorang ibu tak bertabir?
Ini cucu Ayah, namanya Hurein Nazhifa Amina, anak Johan dan Zahra. Sebenarnya, Yah, aku menjadi mantap membangun lagi rumah kita setelah Dek Johan menikah pada Juli 2023.
Ayah,
terima kasih sudah mendukungku dengan caramu. Terima kasih sudah hadir melalui mimpi-mimpiku untuk menguatkanku. Aku sangat bahagia, Yah, karena banyak sekali yang tulus menyayangiku, banyak yang mendoakan usahaku, dan banyak yang mendukungku. Semoga Allah Swt. membalas semua kebaikan itu dan memudahkan serta mengabulkan segala harap dan doa mereka.
Agar terhubung dengan teras aku juga membuat jalan setepak serupa ini, Yah. Ini foto sebelum ditaruh batu.
Ayah,
saat aku menuliskan ini, aku sudah kembali ke Banda Aceh, mungkin ini saatnya aku fokus lagi untuk menyusun impian-impianku yang sempat tertunda (?)
(15/2/2025)