Senin, 27 Januari 2025

When My Lapie Collapse



Januari 2025 hampir berakhir. Nyaris empat pekan terlalui olehku dengan ritme aktivitas yang belum begitu padat. Aku jadi punya banyak waktu lebih untuk membaca buku, untuk rebahan, juga untuk berolahraga ke taman. 

Pergantian tahun ini kulalui di kampungku di Aceh Timur. Ini pergantian tahun pertama yang kulalui di sana setelah 17 tahun berlalu. Dua hari menjelang pergantian tahun, aku pulang ke kampung untuk mengecek proses finishing rumah yang sedang kubangun di sana. Aku kembali ke Banda Aceh beberapa hari setelahnya.

Januari kuawali dengan kejadian yang tak mengenakkan. Aku tiba di Banda Aceh pada pagi Minggu dan berencana pergi ke Sabang keesokannya. Setiba di Banda Aceh, seperti biasa, aku yang sudah kangen minum kopi pergi ke warung kopi langganan pada sorenya. Suasana warung kopi ramai. Aku duduk di salah satu meja yang agak dekat dengan dinding. 

Setelah memesan kopi, aku mengeluarkan laptop, berniat mencicil tulisan. Per Desember 2024 lalu aku memulai proyek penulisan buku baru dengan target harus selesai pada bulan Januari 2025 karena mengejar tenggat pelantikan kepala daerah di Aceh. Itu sebab, selama di kampung pun, aku tetap mencicil menulis, kulakukan di sela-sela segala urusan rumah. Saat kutekan tombol daya, laptop tidak mau menyala. Kukira baterainya habis, meskipun seingatku kali terakhir kupakai saat masih di kampung, baterainya full. Kukeluarkan MacSave untuk mengisi daya. 

Warna daya kuning, pertanda arusnya naik, tetapi saat kunyalakan kembali, laptopnya tetap tidak mau hidup. Beberapa saat kemudian muncul kotak folder di layar yang serbahitam disertai dengan tanda tanya.  Ini pertama kalinya tanda seperti itu muncul. Saat terakhir kupakai pada Jumat malam, laptopku tidak menunjukkan gejala apa-apa. Masih menyala dan berfungsi seperti biasa. Makanya, aku heran dan bingung saat tiba-tiba padam. Aku segera mengontak beberapa kawan untuk menanyakan perihal masalah tersebut, juga berselancar di internet untuk mencari tahu apa masalahnya. Termasuk bertanya pada Meta.

Malamnya segera kubawa laptop ke iColor di Peunayong. Aku tak bisa menunda-nunda, bahkan menunggu esok. Ini cangkul kerjaku, dengan kondisi ada pekerjaan yang sedang kuburu seperti ini, kerusakan alat kerja tentu saja merisaukan. Sebagai cadangan, untuk sementara waktu, aku sudah berpikir untuk menggunakan laptop adik. 

Tiba di iColor, aku mendapatkan beberapa penjelasan yang intinya hampir mirip dengan hasil penjelasan yang kudapatkan di internet. Dijelaskan juga bahwa kemungkinan, jika diperbaiki seluruh data akan hilang. Inilah yang lebih merisaukan lagi. Meski begitu, mekaniknya akan memeriksa terlebih dahulu dan kesimpulan baru bisa diberikan setelah selesai pemeriksaan. Katanya lagi, jika kerusakannya parah dan perlu perbaikan lanjut, maka unit harus dikirim ke Jakarta. Malam itu laptopku harus dirawat inap di IColor. 

Esoknya menjelang siang, ada pesan masuk dari iColor yang menjelaskan seperti ini:

Halo kak, Kami Dari Icolor Apple Service Aceh. Bermaksud Konfirmasi Mengenai Perbaikan Unit Kaka Di iColor Aceh

Unit : Macbook A1466

Kerusakan awal : Mati total

Mohon maaf sebelumnya, untuk kerusakan pada unit kaka sudah dicoba maksimalkan perbaikannya namun tetap tidak berhasil, untuk kerusakan unit kaka pada bagian SSD/Mesin sudah dimaksimalkan teknisi kami tetapi masih tetap tidak berhasil perbaikan, Dan mohon maaf sekali untuk perbaikannya sudah tidak bisa di lanjutkan kembali di kami, kondisi unit sudah di rapihkan dan kondisi sesuai awal masuk.

Untuk unitnya sudah bisa diambil kembali ya kak, dan karena tidak berhasil perbaikan maka tidak dikenakan biaya.

Terima kasih atas waktu dan kepercayaan yang sudah diberikan kepada kami.

Demi Kenyamanan Bersama Untuk Device Yang Sudah Di Konfirmasi Baik Sudah Selesai Atau Cancel Harap Segera Diambil.

Cuma satu inti dari pesan yang panjang dan bertele-tele itu, yakni laptopku tidak bisa diperbaiki di situ. Di satu sisi aku lega karena tidak ada beban biaya yang mesti kubayar. Di sisi lain aku terpikir, kalau di pusat servis resmi saja tidak bisa diperbaiki, konon lagi di tempat lain? 

Namun, entah mengapa, aku tidak begitu panik. Hatiku juga tidak terlalu risau. Aku tak ingin terlalu membebani pikiranku dengan sesuatu yang belum pasti. Selain, barangkali karena sudah ada alternatif jalan keluar. Jika laptop itu benar-benar tak bisa dipakai, aku akan gunakan laptop adikku.

Selepas siang aku mengambil laptop ke iColor dan tak ada ada penjelasan apa pun lagi dari mekaniknya. Aku datang, mengambil laptop, lalu pulang, tapi bukan pulang ke rumah. Tujuanku ke Kampung Laksana, tak begitu jauh dari Peunayong. Berdasarkan rekomendasi seorang teman aku mendatangi toko servis khusus produk-produk Apple yang ada di Jalan Darma. Namanya Apple Repair Aceh (ARA).

Sampai di ARA, segera kukeluarkan laptop dan kusampaikan masalahnya. Intinya, laptop juga harus diperiksa dulu oleh teknisi dan akan segera dikabari jika sudah terdeteksi. Baiklah. Sepulang dari sana kami ke toko laptop di Jalan Pocut Baren untuk mengganti kibor laptop adikku yang beberapa tombolnya sudah tidak berfungsi.

Malam harinya, sekitar pukul delapan malam, aku menerima pesan dari ARA yang isinya sebagai berikut:

Assalamualaikum

Bg saya dri Apple repair aceh mau konfirmasi untuk macbook nya kemungkinan rusak SSD

Klo ganti SSD yg ori APPLE yg 128 1,3 klo yg 256 1,8

Pesan yang singkat, padat, dan jelas. Sebagai pelanggan yang notabenenya sangat awam dengan persoalan semacam itu, informasi tersebut sangat melegakan. Aku jadi tahu apa masalahnya, apa solusinya, dan berapa biayanya. Bagi pelanggan, persoalan biaya sangat menjadi pertimbangan. Setelah kupertimbangkan, akhirnya kupilih yang 256 GB. Tak apa mahal sedikit, tetapi kapasitasnya bisa lebih besar. Berdasarkan informasi dari adminnya, malam itu juga laptopku diperbaiki, dengan permintaan waktu sekitar semingguan--barangkali karena harus antre. 

Namun, pada Senin malam, aku kembali mendapat kabar kalau laptopku sudah pulih kembali. Alhamdulillah, akhirnya cangkulku berfungsi kembali, meskipun semua datanya tidak dapat dipulihkan, ya sudahlah.[] 

Sabtu, 25 Januari 2025

Mengoptimalkan "Soft Power" Aceh

 




MENTERI Kebudayaan Republik Indonesia, Fadli Zon, yang dilantik oleh Presiden Prabowo pada 21 Oktober 2024 lalu bersama 47 menteri lainnya di Kabinet Merah Putih Periode 2024–2029 melakukan kunjungan perdananya sebagai menteri ke Provinsi Aceh selama dua hari pada Minggu–Senin, 12–13 Januari 2025. Dalam kunjungan tersebut Fadli Zon memiliki beberapa agenda, yaitu mengunjungi kantor Balai Pelestarian Kebudayan Wilayah I; mengunjungi rumah Cut Nyak Dhien di Lampisang, Lhoknga; mengunjungi Museum Pedir dan Museum Tsunami, serta meresmikan pemugaran Taman Sari Gunongan di Jalan Teuku Umar. 


Ia juga sempat berziarah ke makam Syekh Abdurrauf As-Singkili atau Syiah Kuala di Gampong Deah Raya, Kecamatan Syiah Kuala. Pada Minggu malam ia juga bertemu dan bersilaturahmi dengan para pegiat kebudayaan di Aceh. Esoknya, ia mengisi kuliah umum bertema Pemajuan Kebudayaan Nasional Berbasis Kearifan Lokal Keacehan di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh di Kota Jantho, Senin (13/1/2025).


Kuliah umum dimulai sekitar pukul 09.30 WIB setelah pembukaan dan sambutan dari Rektor ISBI Aceh, Prof Wildan Abdullah, dan dari Pj. Gubernur Aceh yang diwakili oleh Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh, Almuniza Kamal MSi. Pria kelahiran Tanah Minang pada 1971 silam itu memberi kuliah selama 30 menit dan mengawali dengan “nostalgia” pertamanya ke Aceh pada tahun ‘90-an saat masih menjadi mahasiswa. Beberapa tempat di Aceh seperti Pidie dan Lhokseumawe pernah ia kunjungi, termasuk pernah berkali-kali ke Sabang. Menurutnya, Aceh punya warisan budaya yang sangat kaya yang menjadi bagian dari sejarah peradaban Islam Nusantara ataupun dunia. Secara kasatmata dapat dilihat melalui peninggalan artefak-artefak kebudayaan. Warisan budaya ini dapat menjadi kekuatan jika dikelola dengan baik.


“Budaya adalah soft power. Sebagai produk, budaya bisa masuk ke berbagai hal,” katanya.


Ia mencontohkan bagaimana produk-produk budaya–terutama film–dari Amerika, Korea Selatan, Jepang, Cina, bahkan India telah menjadi kekuatan baru (soft power) yang mampu memengaruhi gaya hidup masyarakat dunia dan pada akhirnya mendatangkan manfaat finansial yang besar bagi negara-negara tersebut. Sehingga muncullah istilah-istilah semacam Disneyfication (Disneyfikasi) yaitu transformasi sosial atau budaya yang berkiblat pada produk-produk ciptaan Disney yang (ironisnya) justru dapat menyebabkan budaya lokal tergeser. Lebih spesifik lagi ia menyebutkan bagaimana soft power Korea Selatan dalam industri hiburan (musik dan film) telah menciptakan gelombang Korea (Korean Wave) atau Hallyu yang kini “menggempur” negara lain melalui produk-produk budaya mereka, bahkan hingga ke mi instan.


Berkaca dari fenomena tersebut, Fadli Zon menegaskan bahwa Indonesia, khususnya Aceh, harus mengoptimalkan potensi soft power ini. Apalagi, ini merupakan mandat dari UUD 1945 sebagaimana tercantum dalam ayat (1) Pasal 32 yang berbunyi: Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.


Jika dibandingkan dengan kebudayaan di negara-negara lain, Indonesia memiliki kebudayaan yang sangat beragam yang oleh Fadli Zon disebut sebagai “megadiversity”. Namun, yang menjadi pertanyaan besar adalah apakah sudah menjadikan kebudayaan sebagai soft power?


“Menurut saya belum karena belum menganggap kebudayaan sebagai kekuatan, tetapi masih dijadikan sebagai beban. Masih dianggap sebagai ekspresi budaya. Kita masih menganggap kekayaan negara adalah batu bara, nikel, oil and gas. Industri ekstraksi juga penting, tetapi bukan itu saja. Korea Selatan tidak punya batu bara dan oil and gas, tetapi mereka merancang pop culture melalui film dan musik; begitu juga India dengan Bollywood-nya,” katanya.


Di ujung kuliah umum tersebut Menteri Kebudayaan menegaskan, identitas dan jati diri bangsa Indonesia secara umum dan Aceh secara khusus, haruslah berangkat dari nilai-nilai kebudayaan. Apalagi, kemajuan Aceh memang sudah terlihat sejak zaman dahulu, di antaranya, dapat dilihat dari model koin-koin atau mata uang yang digunakan pada era Kerajaan Samudra Pasai. Upaya menjadikan budaya Aceh sebagai soft power juga tidak berangkat dari nol karena banyak produk budaya Aceh yang telah dikenal secara luas hingga ke mancanegara. Salah satunya adalah tari saman yang sejak 2011 silam telah diakui oleh UNESCO sebagai karya budaya Indonesia yang berasal dari Aceh. Di event-event global, tak jarang tari saman dipertunjukkan oleh penari-penari asing. Di bidang produk makanan, Aceh juga memiliki kopi jenis arabika Gayo yang karena cita rasa dan kualitasnya telah mampu menembus pasar-pasar global di berbagai benua. 


Ia juga mendorong agar media-media baru, terutama film, terus dioptimalkan untuk mempromosikan kebudayaan sebagai upaya mewujudkan soft power. Termasuk menghadirkan bioskop sebagai medium untuk mengekspresikan kebudayaan. Festival-festival film juga perlu terus digalakkan untuk menstimulasi terciptanya rantai ekonomi kreatif sehingga tak hanya menjadikan industri ekstraksi sebagai tumpuan andalan kekuatan daerah.


Dalam konteks inilah ISBI Aceh yang notabenenya sebagai satu-satunya perguruan tinggi seni dan budaya di Aceh perlu mengambil peran lebih besar. ISBI Aceh dapat berkontribusi melalui program-program pendidikan dan penelitian untuk menggali dan mendalami warisan budaya Aceh agar dapat dilestarikan; mempertahankan kearifan lokal seperti nilai-nilai keislaman dan adat istiadat melalui kurikulum dan program-program pendidikan yang berbasis pada tradisi lokal; serta mendorong insan kampus untuk senantiasa berkarya dan berinovasi di bidang seni dan kebudayaan.


“Melalui pelestarian, inovasi, pendidikan, dan promosi, ISBI Aceh dapat berkontribusi menjadikan kearifan lokal Aceh sebagai fondasi kemajuan Aceh,” kata Menbud.


Kehadiran Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan Nomor 5 Tahun 2017 merupakan instrumen turunan dari Pasal 32 UUD 1945 yang menjadi dasar bagi masyarakat dalam melakukan dan melestarikan kebudayaan. Hal ini menjadi dasar bagi pemerintah untuk berkomitmen menjadikan cita-cita menjadikan Indonesia sebagai bangsa dengan masyarakat yang berkepribadian secara budaya, berdikari secara ekonomi, dan berdaulat secara politik. 

Kuliah umum ini selain dihadiri oleh mahasiswa dan dosen ISBI Aceh juga dihadiri para undangan, di antaranya, Rektor Universitas Syiah Kuala, Prof Marwan; Rektor Universitas Islam Kebangsaan Indonesia Bireuen, Prof Afridar; Rektor Universitas Malikussaleh, Prof Herman Fithra; dan akademisi dari UIN Ar-Raniry. Hadir pula Kepala BPK Wilayah I Aceh, Piet Rusdy, dan Wakil Gubernur Aceh terpilih, Fadhlullah, serta anggota DPR RI asal Aceh, Nasir Djamil. 


Pada kesempatan itu, Menteri Kebudayaan juga meluncurkan buku autobiografi Rektor ISBI, Wildan Abdullah, yang berjudul Menggapai Matahari. Selanjutnya, buku yang disunting oleh Yarmen Dinamika dan Ihan Nurdin tersebut dibedah oleh dua narasumber, yaitu Prof. Marwan dan Nasir Djamil. Isi buku ini juga memiliki benang merah dengan konteks pidato Menteri Kebudayaan. Pada salah satu bab Wildan menyebutkan bahwa nilai-nilai kearifan lokal telah membentuk kepribadiannya sebagai seorang individu.[]



Tulisan ini sudah tayang dan dimuat di Serambi Indonesia edisi Senin, 20 Januari 2025



Senin, 16 Desember 2024

Pria Bertopi Flat Cap

Ilustrasi gambar dengan Bing

Uhm, hari-hari selama Desember ini terasa lebih longgar. Tidak seperti Desember-Desember yang telah lalu. Memasuki Desember ini, hanya ada satu deadline lagi yang perlu kuselesaikan. 

Terbiasa dikepung oleh deadline demi deadline, rasanya “aneh” juga ketika terasa memiliki banyak waktu luang begini. Tapi aku jadi punya lebih waktu untuk mengistirahatkan diri. Hanya beban pikiran saja yang tampaknya belum longgar karena ada "proyek" multiyears yang belum selesai.


Untuk “merayakan” kesenggangan itu, aku ingin bercerita tentang sesuatu. Tentang pengemis yang sering kutemui di kedai-kedai kopi.


Kedai kopi selalu menjadi pilihan utamaku untuk bekerja. Kedai kopi favoritku adalah sebuah kedai kopi di daerah kota, persis di tepi Krueng Aceh. Selain tempatnya yang terjangkau dari tempat tinggalku, aku suka citarasa kupi sareng di kedai ini. Seperti hari ini, meskipun aku sudah minum kopi dingin, tetapi rasanya kurang pas kalau belum kena kupi sareng. Alhasil, aku memesan secangkir kopi lagi.


Sudah beberapa jam aku duduk di sini, belum satu pun para peminta itu muncul. Berbeda dengan hari-hari biasa, selama tiga atau empat jam aku di kedai kopi, bisa lebih dari tiga atau empat pengemis yang menyodorkan tangannya. Perempuan, laki-laki, termasuk anak-anak. Belum lagi yang sambil mengamen.


Aku suka mengamati mereka. Cara memintanya macam-macam. Ada yang bermodal ucapan “minta sedekah dikit”; ada juga yang dengan doa-doa. Ada juga yang bermodal ekspresi semata. Tapi lebih banyak cuma modal satu kalimat tadi. Di antara para pengemis yang pernah menyodorkan tangannya ke hadapanku, ada satu yang begitu membekas di ingatanku.


Ia seorang pria. Kutaksir usianya belumlah mencapai lima puluh tahun. Perawakannya sedang, tidak tinggi tidak pendek; tidak kurus tidak juga gemuk. Tampaknya ia pernah terserang stroke ringan sehingga salah satu tangannya terlihat lemah. Saat berjalan pun sebelah kakinya terlihat seperti diseret. Yang melekat dari penampilannya adalah topi jenis flat cap (?) yang sering kulihat dipakai oleh seniman dan tas selempang kecil yang (mungkin) sekaligus berfungsi sebagai dompet.


Biasanya dia akan menghampiri para pengunjung satu demi satu dan saat menyodorkan tangannya tak sepatah kata pun terucap. Ia hanya menyodorkan senyuman. Sebagai pengunjung setia kedai kopi tersebut, bisa dibilang hampir tak pernah aku memberikan sumbangan kepada mereka. Ada beberapa pertimbanganku, di antaranya, kebanyakan yang kulihat memiliki kondisi fisik yang sempurna. Rentang usia mereka pun, meski tak muda lagi, tetapi juga bukan yang tergolong manula yang umumnya berusia di atas 60 tahun. Termasuk si yang bertopi flat cap tadi, hanya pernah kuberi di awal-awal dulu.


Awal November lalu, aku memenuhi undangan diskusi salah seorang rekan ke sebuah kafe. Dibandingkan kedai kopi yang biasa menjadi tongkronganku, kafe itu—sesuai namanya—tergolong elite, baik dari dekorasi dan interiornya, maupun dari variasi dan harga menu-menu yang dijual di sana. Kafe ini terbagi menjadi dua bagian dan bagian depan menghadap ke jalan protokol.  Siang atau malam selalu ramai. Satu sisi ruangannya ber-AC dan satu sisi lagi yang lebih luas non-AC. Di tempat yang non-AC ini biasanya lebih ramai para pria karena mereka bisa sambil menghirup lisong.


Malam itu kami duduk di ruang ber-AC. Kebetulan aku duduk menghadap jalan dan posisi ruangan yang non-AC ada di sebelah kiriku. Kedua ruangan ini dibatasi oleh tembok dan pintu kaca yang transparan. Sekonyong-konyong aku melihat sesosok lelaki di seberang sana. Ia duduk dengan posisi menghadap ke ruangan non-AC. Tampaknya ia tidak sendiri, tetapi aku tidak bisa melihat orang yang di depannya karena terhalang tempok. 


Laki-laki itu tampaknya sangat menikmati suasana malam itu. Ia duduk di kursi berlapis busa yang dibalut kulit sintetis. Dari telinganya tampak sejulur kabel mini yang menghubungkan ke perangkat digital. Kepalanya agak bergoyang-goyang, persis seperti orang yang sedang menikmati alunan musik. Sesekali tampak seperti merespons pembicaraan dengan orang di hadapannya. Sesekali terlihat tertawa sambil bercakap-cakap. Di hadapannya tersaji sepiring makanan dan segelas minuman. Ekspresinya menyiratkan kalau ia senang dan nyaman.


Aku mengenali orang itu karena sesuatu yang melekat di kepalanya, yaitu topi flat cap. Setelah memperhatikan lebih saksama, benar, memang orang yang sama yang sering aku lihat di kedai kopi tongkronganku. Bedanya kali itu ia sebagai pelanggan, bukan sebagai peminta-minta sebagaimana biasanya. Kenyataan itu membuat aku tak bisa berucap. Ingin tertawa rasanya. Untuk sesaat aku kehilangan fokus. 


Berminggu-minggu setelah malam itu, hingga detik aku menuliskan ini, belum sekali pun aku melihat pria dengan topi flat cap itu muncul di kedai kopi ini.[]

Sabtu, 07 Desember 2024

Merindukan Rumah untuk Pulang

Foto AI Generate (Bing)


Pada Agustus 2023, saya mengikuti pelatihan menulis memoar secara online yang diselenggarakan oleh panitia Balige Writers Festival sebagai prakegiatan puncak yang berlangsung pada Oktober 2023. Pelatihan tersebut diisi oleh dua pemateri, yaitu Danny Yatim dan Nuria Soeharto. Sebagaimana pelatihan pada umumnya, para peserta pun diminta untuk berlatih. Saya menuliskannya dengan penuh semangat.

Setelah lebih setahun tersimpan di laptop, hari ini, ketika saya sedang menikmati secangkir kopi hitam di sebuah kedai kopi di bantaran Krueng Aceh, saya kembali teringat pada tulisan tersebut. Maka, sebagai kenang-kenangan bagi masa depan, saya publikasikan tulisan tersebut di sini.

------------

 

SEWINDU sudah aku tak bisa merasakan “nikmatnya” berlebaran. Maksudku begini, jika Lebaran dimaknai sebagai sebuah ritual keagamaan: ada salat Id, ada salam-salaman dengan sanak saudara dan para tetangga, ada makan-makan, ya, tentu saja aku bisa menikmati semua itu. Namun, nikmat yang kumaksud ialah karena kami tidak berlebaran di rumah sendiri.

 

Dalam setahun ada dua kali Lebaran, dan selalu saja kami berpindah-pindah tempat untuk merayakannya. Paling sering di rumah Nenek di Teupin Raya, Kabupaten Pidie, yang jaraknya sekitar tiga jam perjalanan dengan mobil dari Banda Aceh—ibu kota Provinsi Aceh. Selebihnya, kami pernah berlebaran di Aceh Barat, sekitar lima atau enam jam perjalanan dari Banda Aceh.

 

Pernah juga berlebaran di Kota Sinabang, ibu kota Kabupaten Simeulue, sebuah pulau dengan nama yang sama di lambung Samudra Hindia. Pulau ini satu gugus dengan Kepulauan Banyak di Singkil, seterusnya hingga ke Nias di Sumatera Utara. Perjalanan menembus lautan dari Pelabuhan Calang hingga ke Pelabuhan Sinabang tak kurang dari empat belas jam. Itu kalau cuacanya normal. Melelahkan, tetapi kami anggap itu sebagai petualangan. Oh ya, kenapa kusebut kami, karena selain  aku, juga ada Ibu dan Adik.

 

Kalau mau lebih pendek waktunya di kapal, kami bisa menyeberang dari pelabuhan di Aceh Selatan, tetapi harus menempuh perjalanan seharian dari Banda Aceh ke Aceh Selatan. Sama saja!

 

Kalian mungkin bertanya-tanya, mengapa harus pindah-pindah begitu? Jawabannya satu: karena kami tak punya rumah.

 

Aku yang sejak SMP harus indekos demi melanjutkan sekolah ke ibu kota kecamatan, dan telah berdomisili di Banda Aceh selama dua dekade, selalu mendambakan rumah untuk pulang. Waktu SMP aku pulang ke rumah sepekan atau dua pekan sekali. Pulang, yang artinya bisa bertemu dengan ayah dan ibu, bermain dengan adik, bersantap dengan lauk-pauk buatan ibu, sangatlah membahagikan. Aku benar-benar menemukan kehangatan di rumah.

 

Itu sebabnya, ketika rumah kami terbakar pada 2017 lalu, hatiku benar-benar hancur. Aku tak punya lagi tempat untuk pulang. Lebih dari itu, dengan terbakarnya rumah itu, ada banyak kenangan yang hilang. Terutama kenangan bersama Ayah. Ya, karena rumah itu dibangun oleh Ayah dengan susah payah. Ia mempertaruhkan tidak saja tenaga dan materi, tetapi juga nyawanya agar rumah itu bisa berdiri.

 

Rumah itu tidak kecil, meskipun tidak begitu besar. Namun, cukup leluasa untuk kami tinggali berenam. Ada tiga kamar tidur, satu ruang tamu, dua ruang keluarga, dan satu ruang dapur. Halamannya luas. Selalu bersih dan penuh dengan bebungaan. Letaknya di tengah persawahan yang berbatasan langsung dengan jalan utama desa. Angin bisa masuk dengan leluasa dari jendela-jendela besar yang ada di setiap sisi rumah. Membuat suasana di dalam rumah jadi terasa sejuk.

 

Saat musim tanam padi tiba, pemandangan di sekitarnya benar-benar bikin terpesona. Hijau menyegarkan di awal-awal musim tanam dan kuning yang memancarkan harapan menjelang masa panen tiba. Di halaman rumah ada gazebo yang selalu menjadi tempat favorit untuk mengaso di siang hari. Terutama bagi orang-orang yang bekerja pada Ayah.

 

Rumah kami berada di sebuah desa di Kabupaten Aceh Timur. Itu rumah kedua yang dibangun ayah dalam rentang waktu hanya tiga tahun. Dibangun di tahun 2000-an di tengah kemuncak konflik yang saat itu sedang gila-gilanya di Aceh. Saat aku kelas dua SMP, ayah baru saja selesai membangun rumah di desa lain. Agak jauh ke arah selatan dari desa tempat rumah kedua didirikan. Rumah yang terpaksa dibongkar karena desakan situasi keamanan yang semakin mencekam. Bahkan cat yang melapisi dindingnya pun belum hilang baunya.

 

Aku masih ingat betul bagaimana cara kami meninggalkan rumah itu. Waktu itu tahun ‘99, aku baru tamat SMP dan sedang persiapan masuk SMA. Uhm, rasanya kurang tepat menyebut “persiapan” sebab memang tidak ada persiapan apa pun yang kulakukan. Hanya mendaftar bermodal surat keterangan tamat SMP. Di rumah hanya ada aku dan Ayah, sebab ibu dan dua adikku sudah pergi ke Kabupaten Bireuen, menjenguk kakek yang sakit parah.

 

Tiba-tiba keadaan menjadi "panas" karena munculnya surat kaleng yang meminta agar masyarakat meninggalkan desa. Khususnya bagi warga yang beretnis Jawa. Meski keluarga kami asli Aceh, kami tetap pergi meninggalkan desa. Siapa yang bisa menjamin keselamatan kami jika tetap bertahan di sana?

 

Ayah lantas menyuruhku membereskan barang-barang. Aku memasukkan gelas dan piring ke dalam ember; mengemasi pakaian dan membungkusnya dengan kain. Aku bingung. Tak tahu lagi apa yang harus kulakukan, terutama ketika Ayah tidak di rumah.

 

Ayah punya satu mobil Chevrolet tua warna biru yang ia beli sekitar satu tahun sebelumnya. Mobil itu sangat berguna bagi Ayah yang berprofesi sebagai pedagang hasil bumi. Dengan mobil itu ia mengangkut hasil ladang seperti kopra atau kakao (biji cokelat) untuk dijual ke ibu kota kecamatan.

 

Di tengah situasi itu, rupanya jasa Ayah sebagai pemilik Chevrolet sangat diperlukan. Ayahlah satu-satunya yang punya mobil di kampung kami. Jadi, saban hari Chevrolet itu mengangkut barang-barang warga yang hendak mengungsi ke kota. Ketika kami meninggalkan kampung, rumah-rumah warga sudah banyak yang kosong. Jalanan sangat lengang. Bahkan angin pun seolah enggan berkesiur.

 

Semula Ayah tak berniat membongkar rumah itu, ia masih punya harapan keadaan akan segera kondusif dan kami bisa kembali pulang. Rupanya, alih-alih semakin membaik, keadaan justru semakin memanas. Bahkan rumah wawak (kakak Ayah) yang bersebelahan dengan rumah kami dibakar orang tak dikenal. Hangus jadi arang. Setelah itulah Ayah segera membongkar rumah semipermanen itu dan memindahkannya pada sebidang tanah di kampung yang sekarang kami tinggali.

 

Selain sebagai pedagang, Ayah juga punya sedikit kebun. Meski sudah mengungsi ke desa lain, kami tetap pergi ke desa yang lama untuk memetik hasil kebun. Dengan hasil kebun itulah kami bertahan hidup. Kami mulai beradaptasi dengan segala kekacauan itu, misalnya, saat hendak ke kebun tidak pergi sendiri, tetapi perlu mengajak teman. Teman itu, alangkah lebih baik lagi jika perempuan. Kalau nekat pergi sendirian atau semuanya lelaki, apabila kepergok dengan si baju hijau di kebun, bisa-bisa dianggap sebagai gerilyawan. Kalau sudah begitu, bisa habis kita!

 

Maka Ayah selalu mengajak Ibu setiap kali ke kebun. Sesekali dia mengajakku. Begitu juga bapak-bapak yang lain. Istri-istri mereka menjadi tameng. Begitulah peran perempuan di kubangan konflik. Terkadang kami pergi ramai-ramai dengan para tetangga di desa yang lama. Perginya, ya, dengan Si Biru yang dikemudikan Ayah. Pernah suatu sore, saking penuhnya muatan, Si Biru terjerembab di kubangan lumpur.

 

Dengan sisa-sisa kayu dari rumah lama itulah Ayah kembali membangun rumah kedua. Agar kami yang sudah sekian lama homeless ini bisa punya rumah. Kelak setelah rumah itu selesai dibangun, pada suatu sore di tahun 2002, menjelang keberangkatanku untuk kuliah ke Banda Aceh, Ayah pernah mengatakan pada seorang tetangga, “Kalau saya pergi nanti, setidaknya anak-anak sudah punya rumah sebagai tempat berteduh.”

 

Enam tahun kemudian Ayah pergi untuk selama-lamanya. Ia meninggal dunia di usia yang sangat muda: 45 tahun. Sejak saat itu, saya sebagai anak sulung merasa perlu mengambil semua tanggung jawab sebagai kepala keluarga. Lalu, rumah yang selama ini menaungi kami dari hujan dan terik itu pun terbakar. Setelah sejak 2015 ditinggalkan sementara oleh Ibu yang sakit dan dibawa berobat ke Banda Aceh. Sejak itu pula, kami tak pernah berlebaran di rumah dan Lebaran tak pernah sama lagi nikmatnya bagiku.[]

Kamis, 03 Oktober 2024

Happy Graduation, My Young Sista



Alhamdulillah, sampai juga di titik ini: melihat adik bungsu saya lulus kuliah dan menjadi sarjana.

Tak ada "pesta" apa pun untuk merayakan kelulusannya. Tak juga ada kado atau buket uang sebagaimana yang sedang tren saat ini. Hanya ada buket bunga kecil supaya tangan tak kosong kali saat menyongsongnya keluar dari aula setelah seremoni wisuda.
Kalaulah bisa disebut sebagai "hadiah", saya ingin tulisan ini bisa menjadi hadiah bagi kelulusannya. Kata-kata yang selama bertahun-tahun ini terus berputar-putar di pikiran saya. Kata-kata yang ingin saya tulis khusus setelah dia menyelesaikan strata pertamanya di perguruan tinggi. Bahkan jika insomnia saya kambuh, kata-kata inilah yang menjadi "pengantar tidur" hingga akhirnya saya terlelap.
Kemarin, Selasa, 24 September 2024, D resmi menyandang status sebagai alumnus UIN Ar-Raniry. Ia memperoleh gelar sarjana hukum Islam dari FSH.
===
Kami memanggilnya D. Ia lahir di tengah gemuruh referendum Aceh pada tahun 1999. Ia pertama kali "mengungsi" saat masih di perut ibu. Lahir dalam kondisi prematur di tengah suasana kampung kami yang sangat tidak kondusif.
Saat D masih bayi, keluarga kami "kehilangan" tempat tinggal untuk yang pertama kali. Rumah semipermanen yang baru selesai dibangun oleh orang tua kami, terpaksa dibongkar untuk kemudian dipindahkan ke kampung lain. Kampung lain itulah yang menjadi kampung kami sekarang.
D menghabiskan masa balitanya dalam situasi darurat: Darurat Militer dan Darurat Sipil. Saat D berusia tiga tahun, saya berangkat ke Banda untuk melanjutkan sekolah. Setelah itu, praktis pertemuan saya dan D hanya beberapa kali dalam setahun saat libur kuliah. Utamanya saat hari raya. Masa itu saya juga belum menggunakan ponsel sehingga komunikasi dengan keluarga sama sekali tak terhubung.
Ayah berpulang saat usia D belum genap sepuluh tahun. D harus merasakan kehilangan di usia yang sangat belia. Di antara kami semua, saya yakin, D-lah yang sangat terpukul dengan kepergian ayah. Sebagai anak bungsu, perempuan lagi, D tentu saja menjadi kesayangan di rumah. Apalagi ketika itu dua adik saya yang laki-laki mondok di pesantren, otomatis cuma D satu-satunya yang ada di rumah.
Masa kecil saya dan D bisa dibilang berbanding terbalik. Ketika saya kecil, orang tua masih berakit-rakit, tapi hidup kami tenang karena situasi yang aman. Sebaliknya, ketika D kecil, orang tua mulai mapan, tapi hidup penuh ketakutan karena situasi yang tidak aman. Sejak kecil telinga D sudah akrab dengan salak suara bedil. Ia terbiasa juga melihat orang-orang berseragam melewati kampung kami dengan bedil-bedil bertengger di bahu.
Tahun-tahun pertama setelah ayah pergi, kehidupan kami masih baik-baik saja. Usaha yang ditinggalkan ayah cukup untuk menopang hidup kami. Tapi, yang namanya hidup, betul seperti kata pepatah: ibarat roda yang berputar. Kadang di atas, kadang di bawah. Dan ketika berada di bawah, jangankan untuk bisa kembali berada di atas, untuk sekadar bisa bergerak saja rasanya teramat sulit.
Setelah D tamat SD, ibu memasukkannya ke pesantren terpadu di Peureulak. Seminggu sekali ibu pergi menjenguk. Selama masa ini, pelan-pelan mulai terasa kesulitan. Usaha yang dijalankan ibu mulai tertatih-tatih. Puncaknya saat D kelas satu MA. Ibu jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit berbulan-bulan. Selanjutnya butuh waktu bertahun-tahun untuk pemulihan. Beriringan dengan itu, usaha kami bangkrut. Satu per satu aset melayang.
Sebagai anak sulung, saya dituntut oleh keadaan untuk menjadi hero. Saya yang tadinya bekerja dan hanya fokus untuk diri sendiri, dipaksa oleh keadaan untuk memikirkan banyak hal dalam waktu bersamaan. Saya me-reset rencana-rencana pribadi saya. Saya atur ulang fokus hidup saya. Kami dari empat bersaudara jadi berpencar-pencar: saya di Banda, D di Aceh Timur, dua adik lelaki saya masing-masing di Aceh Selatan dan di Pulau Simeulue. Adapun ibu, karena perlu waktu untuk pemulihan, setelah keluar dari RSZA di Banda, saya bawa pulang ke tempat nenek di Pidie. Supaya lebih terjangkau bagi saya untuk menengoknya. Seminggu sekali, setiap Jumat sore saya menjenguk ibu, Senin pagi saya balik lagi ke Banda untuk bekerja. Itu saya lakukan hingga berbulan-bulan.
Komunikasi dengan D sepenuhnya via ponsel. Setelah usaha keluarga bangkrut, seluruh biaya keluarga otomatis bertumpu pada saya. Dengan penghasilan bekerja di media, saya harus membiayai diri sendiri, ibu, dan dua adik yang ada di pesantren. Untuk membayar uang sekolah D yang tak sampai Rp1 juta per bulan rasanya sungguh berat. SPP D sering tertunggak. Kiriman bulanan pun tak pernah berlebih. Namun, Allah selalu mencukupkan saya dengan segala kekuasaan-Nya.
Di tahun ketiga D di bangku MA, kondisi ibu mulai berangsur membaik. Ibu sempat minta pulang ke Idi. Tapi, lagi-lagi, siapa yang bisa menebak apa yang sudah direncanakan oleh Allah kepada hamba-Nya? Satu bulan sebelum kelulusan D, rumah kami dibakar orang. Setelah enam tahun meninggalkan rumah untuk mondok di pesantren, D malah tak bisa memijakkan kakinya di rumah setelah keluar dari pondok. Kerinduan bertahun-tahun berakhir dengan kemarahan dan kesedihan. Tapi lagi-lagi D pandai menyembunyikan semua perasaan itu. Tak sekali pun ia mengeluh. Tapi, bukan saya tak bisa membaca apa yang terpendam di hatinya. Kehilangan tempat tinggal membuat ibu kembali terpukul.
Saat itu hidup kami persis seperti sinetron: ayah pergi, usaha bangkrut, tempat tinggal hilang. Klop! Lagi-lagi, sebagai anak sulung, saya dipaksa oleh keadaan untuk tegak seperti tiang. Tak boleh oleng. Kalau saya oleng, ibu akan oleng, adik-adik saya akan oleng. Kadang-kadang saya bersikap seperti penceramah atau motivator, terutama kepada ibu, bahwa segala yang hilang, selama kita berikhtiar dan tak bosan-bosan berdoa, pasti bisa diperoleh kembali. Kadang-kadang saya bersikap masa bodoh, ceramah demi ceramah yang saya dapatkan dari orang-orang di sekitar saya, cukup numpang lewat saja di telinga. Kadang-kadang saya marah juga, kesal, ketika yang disampaikan itu-itu saja. Kadang-kadang lagi, tak merespons adalah cara saya merespons.
Setamat MA, D ikut saya ke Banda. Walau bagaimanapun, dia sudah bertekad untuk bisa kuliah. Saya harus mewujudkan keinginannya. Di awal-awal sempat terdengar dia ingin kuliah di fakultas kedokteran, mungkin karena terpicu oleh perasaan sentimental saat melihat hari-hari terakhir ayah yang begitu kesakitan. Namun, setelah melihat dan melewati banyak hal yang terjadi di keluarga kami, dia akhirnya termotivasi untuk kuliah di bidang hukum. Alhamdulillah, berjodoh dengan UIN Ar-Raniry.
Berbeda dengan dulu ketika saya hendak kuliah, ayah langsung yang mengantar saya ke Banda. Ayah yang mencarikan saya kos. Ayah pula yang berbelanja lemari, rak piring, sampai ke hanger untuk menggantung baju. Saat saya masuk SMA pun, ayah juga yang menemani saya berbelanja alat tulis dan ke tukang jahit untuk menjahit seragam. Saat D kuliah, peran ayah itu sudah digantikan oleh saya, kakaknya.
Saya pun, mulai berlagak seperti ayah. Pesan-pesan yang dulu disampaikan ayah ketika mengantar saya kuliah, saya sampaikan lagi kepada D. Jangan banyak gaya. Jangan pura-pura jadi orang kaya supaya diterima pergaulan. Apa adanya saja. Jangan boros. Banyak petuah lainnya yang saya sudah lupa. Kadang saya sampaikan dengan baik-baik, kadang saya sampaikan dengan kesal, kadang pula dengan cara diam. Adakalanya menangis diam-diam adalah cara melampiaskan yang paling jitu. Tergantung mood dan keadaan.
Di awal-awal kuliah, ketika D bilang perlu beli buku kuliah, saya minta dia untuk mencatat judul-judul buku yang akan dibeli berikut dengan harganya. Bukan saya tidak percaya, tapi saya ingin mengajarkan dia untuk menjadi orang yang "perhitungan". Jangan mudah mengeluarkan uang karena impulsif. Saya kuliah di akuntansi, saya tahu uang sangat berharga. Saat bayar SPP pun begitu, saya selalu memintanya untuk memberitahukan jauh-jauh hari sebelum mepet.
"Karena kalau Adek bilangnya mepet-mepet dan pas Kakak nggak punya uang, Kakak nggak tahu mau bilang atau minta ke siapa." Kata-kata itu sering saya ulang. Itu juga yang dulu saya lakukan. Saya tak pernah minta sesuatu pada orang tua secara tiba-tiba. Karena saya tahu, orang tua pasti kebingungan kalau anaknya minta tiba-tiba sementara mereka mungkin sedang tak punya uang. Untuk mengatakan tidak pun mereka pasti tak akan melakukannya. Tapi, pernah juga sekali waktu, D baru bilang bayar SPP beberapa hari sebelum tenggat. Tentu saja saya marah.
Setelah D lulus di perguruan tinggi dan mulai kuliah, barulah saya memberi jeda sejenak untuk diri saya. Saya memutuskan resign. Selain itu, saya juga berlatih bela diri dan bersepeda untuk melepaskan semua energi negatif yang bertahun-tahun bercokol di dalam diri saya. Saya bertemu dengan orang-orang baru. Pelan-pelan energi saya pulih kembali. Siap untuk melanjutkan babak selanjutnya dalam kehidupan ini.
Sebagai kakak, saya sadari kalau saya bukanlah kakak yang ideal bagi D. Karakter dan watak kami bertolak belakang sehingga saya sering bicara seperlunya saja. Banyak keinginan dan harapannya yang tak bisa saya penuhi. Bahkan uang jajan pun terkadang tidak saya beri secara gratis, tapi D harus "bekerja" terlebih dahulu. Entah itu membantu mentranskrip hasil wawancara saya, menemani saya wawancara atau liputan ke lapangan. Saya kerap memaksanya untuk ikut ini dan itu supaya dia bisa berada di lingkaran pertemanan yang lebih luas.
Dengan segala kendala dan keterbatasan, melihat D bisa menyelesaikan pendidikannya adalah kebahagiaan yang tak terkatakan bagi kami . Menyaksikannya berjuang membuat sendiri tugas akhirnya adalah kebanggaan bagi kami. Itulah yang selalu kami tekankan, bangga lulus dari perguruan tinggi hanya ketika tugas akhirnya buat sendiri. Saat D merasa mentok di tugas akhirnya dan memilih untuk bekerja pun kami biarkan saja. Tak ada buruknya jeda sebentar. Saat teman-teman seangkatannya satu per satu mulai diwisuda pun, kami tak pernah tanya-tanya kapan dia diwisuda. Kami juga tak pernah mempersoalkan print out skripsinya yang bertumpuk-tumpuk di rumah. Saat dia mengeluarkan uneg-unegnya, kami memvalidasi perasaanya.
Akhir tahun lalu, saat saya pulang menjelang magrib, saya dapati D sudah terisak-isak di kamar. Begitu saya tanya kenapa, tangisnya kembali pecah. Saat itu dia kesal, kesal sekesal-kesalnya karena gagal mendaftar sidang. "Sayang Kakak harus bayarin SPP D lagi," katanya dengan suara terbata-bata.
Mendengar penjelasannya, saya pun turut kesal, tapi saya cuma bisa membesarkan hatinya. "Sudah 13 semester Kakak bayarin SPP Adek, kalau cuma untuk membayar satu semester lagi itu kecil kali. Nggak usah terintimidasi sama kawan-kawan yang udah selesai. Anggap saja itu bonus, nggak semua orang merasakan 'kesempatan' kuliah tujuh tahun. Nggak semua orang punya kesempatan dibimbing profesor. Nggak semua orang punya kesempatan belajar di luar kampus ketika mereka masih kuliah."
Kapan pun D membaca tulisan ini, saya cuma ingin dia tahu kalau kami semua sangat sayang padanya.[]



Midnight, 26 September 2024

Selasa, 27 Agustus 2024

Pertemuan Demi Pertemuan



Hidup ini, sejatinya dibangun dari pertemuan demi pertemuan, bukan? Namun, yang menjadi pertanyaannya, sejauh apa kita bisa menjadikan setiap pertemuan itu bermakna? Karena, sering kali, di antara pertemuan demi pertemuan itu, yang banyak justru mendatangkan kecewa dan luka.

Setiap manusia punya hati. Tapi, hati yang kumaksud tentulah bukan sebuah organ yang memiliki fungsi untuk membantu proses metabolisme di dalam tubuh kita. Hati yang kumaksud, adalah sesuatu yang tak terlihat, tak tersentuh, tetapi ada. Ketika kita merasa sakit, nyerinya sulit sekali untuk pulih. 

Aku selalu penasaran, bagaimana jika manusia tidak punya "hati"? Apakah hidupnya akan lebih baik karena tidak bisa "merasai" apa pun yang melukainya? Atau, justru karena itulah kita akan semakin sakit. Karena tak bisa merasakan apa-apa.

Rasa sakit itu, kenapa sukar sekali sembuh? Sekuat apa pun aku berusaha, mengapa rasanya selalu seperti kembali ke titik semula. Di satu titik di perjalanan terjauh ini, aku berulang kali bertanya pada diriku sendiri. Kapan aku akan merasa baik-baik saja?

Kupikir aku sudah tak punya waktu lagi untuk bersedih. Untuk merasakan sebilah sembilu mengiris-ngiris perasaan dan hatiku. Untuk merasa, bahwa aku ternyata masih bisa terluka. Ternyata, kesibukan demi kusibukan, yang terkadang kupaksakan itu, hanya membuatku teralih sebentar saja.

Tuhan, aku tahu kamu telah memelukku. Erat. Begitu erat. Kau telah menghiburku dengan banyak hal. Tapi, apakah ini cara-Mu untuk menghilangkan semua bintik-bintik noda di hidupku? Bukankah dari setiap rasa kecewa, rasa sakit, atau ketidaknyamanan yang seorang hamba rasakan, adalah sebentuk kasih sayang dari-Mu?

Tuhan, Kau Mahatahu tentang apa yang terjadi hingga sejauh perjalanan hidupku. Tapi, biarkan aku tetap bercerita. Selalu dan selalu. Aku hanya ingin bersandar, sambil meresapi sisi terhalus perasaanku. Kurasakan betapa nyeri ini terasa nyeri. Mengalir perlahan merambati rongga-rongga di dadaku. 

Hidup ini, sejatinya dibangun dari pertemuan demi pertemuan, bukan? 

Jumat, 02 Agustus 2024

Why Every Woman Needs a Feelingirl Bodysuit in Her Closet





Every fashionista knows that the fashion trends keep changing. The old ones go away, and the new ones take their place. The interesting thing is that many fashion trends make a comeback. Similarly, bodysuits are one of them. They were extremely famous in the 80s and were known as onesies as well.

However, this time, people are wearing them all the time and anywhere they want. You can see people wearing slimming bodysuit during workouts, brunch dates, and night outs. This is because they are easy to wear.

Feelingirl has a lot of bodysuit options available. This is a perfect brand for anyone who wants to purchase bodysuits. So, let’s see why you should choose this brand!





Versatility


The top benefit of using a bodysuit is its versatility. You will never run out of designs, colors, and styles. This means you will not run out of choices. The good thing is that Feelingirl has bodysuits available in straps and full sleeves, so there is something for every woman.


There are bodysuits available in mesh and low backs as well. These options are perfect for women who want a hot option. Also, if you want some bedroom fun, there are lace bodysuits available as well.


Practicality


What we love about a full body shaper or bodysuit is that they are one-piece clothes. This is amazing because you don’t have to worry about the pairing. The bodysuits won’t get untucked. You can wear them with your regular jeans or formal pants with a higher waist. All of these options will create a seamless and smooth look.


In simpler words, there won’t be any slips and readjustments. The good thing is that Feelingirl has added adjustable shoulder straps, making it easier to adjust support for breasts. In addition, you can easily move around without any part of your body showing.




 

Flattering Design


This is the biggest benefit of using bodysuits. The bodysuits look amazing on slim as well as chubby people. The good thing is that a black bodysuit is a blessing for chubby women. This will make you look slim and hide all the imperfections.


This happens because bodysuits have a smoothing effect. They keep your body parts in the right place. Also, you can wear the seamless bodysuit shorts with a blazer or on their own, they will look amazing.

 




Unable to Go to Bathroom – The Only Con


Many women don’t purchase a bodysuit because they have to use the bathroom a lot. It is a common concept that they will have to take off the entire bodysuit to pee. However, if you use bodysuits from Feelingirl, there won’t be any such issues.


This is because Feelingirl uses snap closures in the bodysuits. This means you can open the gusset area with buttons and use the restroom. In addition, some of them are available with an open gusset, so you can easily use the restroom.




 

In simpler words, there’s no reason for you to say no to a Feelingirl bodysuit, so start shopping![]