Sabtu, 09 Agustus 2025

Semangkuk Mi Komplit di Hari Sabtu



Semangkuk mi ramen komplit dihidangkan oleh pramusaji setelah aku selesai menyunting dua artikel masing-masing 1.500 kata. Segera kugeser laptop, kuatur ke mode sleep. Saatnya bersantap. Aroma kuah kari dari mi yang kupesan sungguh menggoda. Tadinya aku ingin memesan seporsi laksa, tetapi malah tergiur pada mi kari--setelah melihat gambarnya di buku menu--dengan aneka toping: irisan daging sapi, daging ayam, bola ikan, jagung, sawi, dan telur. Rupanya daging sedang kosong, sebagai alternatifnya diganti dengan udang. 

Pukul sebelas lewat seperempat saat aku tiba di kafe ini. Aku pelanggan pertama. Pagi tadi, saat tiba di kedai kopi sekitar pukul tujuh, aku juga jadi pelanggan pertama. Sudah beberapa pekan ini hari-hariku selalu berawal lebih pagi dari biasanya. Pukul enam lewat aku sudah stand by di depan laptop, berbeda dengan hari-hari sebelumnya yang baru start pada pukul sembilan pagi atau setengah jam lebih awal dari itu. 

Malam pun begitu, setelah salat Magrib, sembari menunggu Isya, aku mencicil pekerjaan. Setelah Isya aku break sebentar, baru lanjut lagi hingga pukul sepuluh atau lebih sedikit. Sebagai "bonus", aku sudah mengantuk berat sebelum pukul sebelas. Jika biasanya sering tertidur di atas pukul dua belas, akhir-akhir ini sudah pulas sebelum itu. Menonton Drakor pun selalu terlewatkan. Sudah tak sanggup lagi.

Aktivitasku hari ini kumulai dengan memosting beberapa berita ke website. Setelah itu membuat catatan hasil pertemuan sore kemarin dan mengirimkannya ke grup. Dua hal itu kuanggap penting dan mendesak. Barulah setelah itu aku menyunting dan menyiapkan konten untuk postingan di akun medsos yang akan diposting siang atau sore nanti. Pagi tadi sebelum keluar rumah, sudah ada satu konten yang tayang. 

Sembari mengerjakan itu, proses chit-chat dengan teman, rekan kerja, atau narasumber tetap berlangsung melalui WhatsApp. Inilah enaknya bekerja antarlayar. Pada satu waktu bisa mengerjakan beberapa hal sekaligus alias multitasking. Meskipun, sehabis itu biasanya terasa lelah luar biasa. Sebab pada waktu yang bersamaan otak kita dipaksa untuk mengorganisasikan beberapa hal sekaligus. Data dan informasi berbeda yang harus dihadirkan otak dalam waktu bersamaan memberinya beban ekstra. Tetapi, begitulah hebatnya otak kita. 

Selesai membuat konten, aku mencicil menyunting tulisan untuk sebuah buku antologi. Ketika tulisan kedua hampir rampung, masuk pesan dari seseorang. Ia memastikan apa hari ini aku jadi datang ke tempatnya. Ya, Allah, aku benar-benar lupa kalau kemarin aku membuat janji temu dengannya hari ini. Syukurlah kemarin belum ada kepastian soal waktu.

"Pukul sebelas bisa, ya, Bu? Sekarang saya sedang ada pekerjaan," balasku buru-buru.

Masih ada tiga per empat jam lagi sebelum pukul sebelas. Aku segera merampungkan suntingan yang tinggal sedikit lagi. Pukul setengah sebelas aku harus sudah bergerak. Benar saja, aku tiba di rumah ibu tersebut tepat waktu. Ia menyambutku di rumahnya yang sederhana. Rumah itu adalah bantuan dari salah seorang anggota legislatif melalui dana pokok pikirannya. Kami banyak mengobrol tentang kegembiraannya bisa mendapatkan rumah tersebut sehingga kini ia punya tempat tinggal yang layak huni. Baginya punya rumah seperti mimpi, tapi ia juga yakin bahwa tak ada yang tak mungkin bagi Allah untuk mewujudkan.

Kami juga mengobrol tentang harga beras yang naik gila-gilaan. "Sanggup beli beras, tak sanggup beli ikan," begitulah ucapnya.

Aku setuju. Sekarang, harga-harga barang memang pada melambung. Mulai dari beras hingga minyak, mulai dari bawang hingga ikan. Kami mengobrol tak lama, hanya sekitar tiga puluh menit. Aku pun tak ingin berlama-lama karena perutku terasa nyeri akibat datang bulan. Dalam perjalanan pulang, tetiba aku teringat pada semangkuk mi laksa yang pernah kucicip di kafe ini. Sebelumnya, pernah dua kali aku datang, tapi stok mi sedang kosong. Aku pulang dengan setengah sebal saat itu. 

Hari ini aku datang lagi, tapi justru memesan yang lain. Selain karena ketiadaan daging iris yang sempat memengaruhi mood-ku untuk makan, ternyata lidahku memang lebih cocok dengan laksa atau yang cheese. Kupesan juga segelas minuman berwarna biru dengan campuran soda, es batu, dan setangkai daun mint. Segar benar meneguk ocean squash untuk hari yang terasa menyengat.



Sembari menunggu pesanan mi, aku bisa menyelesaikan dua suntingan lagi. Ah, berarti tinggal empat tulisan lagi. Aku janji menyelesaikannya maksimal hingga hari Selasa. Semoga esok tuntas semua. 

Memasuki bulan Agustus ini, hari-hariku memang terasa sangat padat. Hingga saat ini, masih ada satu buku yang mesti kurevisi dan kusiapkan daftar pustakanya untuk proses cetak ulang; menyelesaikan beberapa bab tulisan lagi untuk buku yang sudah kujanjikan untuk diluncurkan pada akhir Oktober nanti. Dua pekerjaan ini masuk daftar penting dan mendesak karena berburu dengan tenggat. Juga, beberapa hasil liputan yang tulisannya bahkan belum kusiapkkan, termasuk satu liputan pada Juni lalu. 

Usai menghabiskan semangkuk mi, aku pun menyusun jadwal untuk sepekan ini. Esok, Minggu (10/8) dimulai dengan rapat persiapan FGD yang rencananya bakal digelar pada tgl 12 atau 13 Agustus. Hari Rabu pagi (13), aku punya agenda siniar untu pre-launching buku Berdamai dari Senjata Berkonflik dalam UUPA yang akan diluncurkan pada 15 Agustus--bertepatan dengan 20 tahun perdamaian Aceh. Di hari Jumat itu, sorenya aku juga sudah ada agenda menjadi pemantik diskusi film Peace Generation yang juga dihajatkan untuk memperingati dua dekade damai Aceh. Sebelum itu, pada hari Kamis, undangan untuk agenda yang sama juga sudah ada. 

Selama empat bulan terakhir nyaris tak ada yang berubah dari ritme kerjaku. Yang berbeda mungkin, kini tak ada lagi yang menyapa atau sekadar merecoki ketika aku bekerja. Atau, aku yang bahkan tanpa ditanyai pun akan bercerita sendiri. Tanggal lima belas nanti, tepat empat bulan ia pergi. Saat menyantap mi seperti tadi, sambil mendengar lagu-lagu mengalun lembut, perasaan sentimental hadir seketika. Atau, saat menulis catatan ini, tiba-tiba aku terkenang pada pesan-pesannya yang menguatkan. Selain karena takdir Tuhan, aku percaya, bahwa dukungannya begitu besar hingga aku berada pada titik ini.[] 

Senin, 02 Juni 2025

Hujan Bulan Juni



Setelah tahun-tahun berlalu

Akhirnya aku memahami arti dari bait-bait Hujan Bulan Juni* 

Bahwa Hujan Bulan Juni tak selalu tentang hujan yang turun dari langit

Bahwa Hujan Bulan Juni bisa turun ketika Juni sedang terik-teriknya


Hujan Bulan Juni

Bisa saja berupa:

kerinduan yang menyeruak manakala aku (tanpa sengaja) mendatangi tempat kita pernah beberapa kali bertemu

saat kusadari aku tak bisa lagi bercengkerama denganmu

saat kupahami dunia kita kini berbeda

saat ruang-ruang yang dulu kita gunakan untuk bertukar cerita tak berfungsi lagi


saat kupandang ke luar jendela, kau duduk di beranda

saat kutengok di pekarangan, kau duduk di halaman

saat kuintip ke belakang, kau duduk di taman

tapi itu semua hanya kenangan

itulah Hujan Bulan Juni

yang tumpah ketika Juni sedang terik-teriknya


*Judul puisi Sapardo Djoko Damono

Rabu, 07 Mei 2025

Life Begin at Fourty



Life begins at forty katanya. Hidup dimulai saat usia empat puluh tahun. Jika demikian, berarti inilah hari pertama aku "memulai" hidupku. Karena pada hari ini, hari usiaku genap empat dekade. Setidaknya begitulah jika aku mengacu pada usia resmi yang tertera di berbagai dokumen administrasi kependudukan. Karena adminduk itu pula, usia produktifku menjadi lebih pendek. Namun, karena itu pula aku bisa curi start untuk sekolah lebih awal.

Semula aku berniat untuk "merayakan" momen istimewa ini dengan pergi ke kafe. Aku akan memesan (mungkin) secangkir red velvet atau latte dan sepotong keik. Nyatanya, aku (kembali) terdampar di sebuah warung kopi yang dalam beberapa waktu terakhir lebih sering aku kunjungi (justru) karena sepi pengunjung. Seperti biasa, aku pun memesan secangkir kopi dan mengudap beberapa kue.

Barangkali, inilah esensi menjadi seorang manusia "paruh baya". Lebih menyukai tempat yang tenang, alih-alih tempat yang ramai nan bising. 

Menyadari bahwa usiaku kini tak muda lagi, hal pertama yang kulakukan adalah bersyukur. Bersyukur karena seluruh pancaindraku masih berfungsi dengan baik; bersyukur karena nyawa masih bersarang di dalam tubuh ini; bersyukur masih menemukan ucapan-ucapan selamat ulang tahun dari satu dua orang teman saat bangun tidur.

Tak ada yang begitu luar biasa dari hidupku, tapi kalau kupikir-pikir, apa yang kualami selama hidupku agak kompleks juga. Tak ada pencapaian yang luar biasa. Prestasi akademikku sejak sekolah dasar hingga kuliah tidak menonjol--kalau tidak dibilang gagal. Bahkan profesi yang kulakoni saat ini bisa dibilang efek dari sebuah "kecelakaan", tapi aku sangat menikmati kecelakaan ini. Kuanggap ini sebagai berkah atas keinginan masa kecilku untuk menjadi berbeda dari orang-orang di sekitarku.

Namun, kalau boleh sedikit berbangga diri, aku ingin mengapresiasi diriku sendiri. Sebelum usiaku benar-benar genap empat puluh tahun, aku berhasil "menyematkan" gelar sarjana di belakang nama adik bungsuku. Satu-satunya adik perempuanku. Sebagai anak sulung, mungkin aku akan selalu merasa bersalah jika tak mampu menyekolahkan adikku hingga ke perguruan tinggi.

Aku juga sudah berhasil membangun ulang rumah kami sehingga kini kami kembali punya tempat bernaung. Bagi sebagian orang, membangun rumah mungkin suatu hal yang biasa. Normal. Tidak untukku. Aku mengerahkan segala daya dan upaya demi mewujudkan rumah (impian) tersebut. Aku menahan banyak keinginan pribadi agar bisa menabung. Karena itu aku merasa menjadi sangat berguna sebagai seorang anak. 

Barangkali hanya dua itu prestasiku yang menurutku cukup "bermartabat". Yang membuat 'ke-a-d-a-a-n-ku' mendapat pengakuan dari orang-orang sekitarku. Selebihnya, aku hanyalah sehelai daun yang tetap bergerak karena terjebak di arus yang deras. Sering aku hampir tenggelam, tetapi kemudian terapung kembali.

Aku bersyukur, hingga usiaku yang sekarang, Allah senantiasa menyehatkanku. Tak sekali pun aku pernah merasakan rawatan rumah sakit. Semoga Allah terus menjagaku. Semoga Allah terus menyehatkanku. Dan semoga aku bisa menjaga diriku dengan sebaik-baiknya sebagai wujud syukurku atas karunia Allah.

Memasuki usiaku yang sekarang, ada beberapa hal yang kulakukan sebagai memijak "anak tangga" baru. Pertama, aku memutuskan untuk kuliah lagi. Kuliah di prodi yang sejak dua dekade silam aku inginkan. Untuk orang-orang seusiaku, apalagi dengan aktivitasku sekarang, kuliah bukan lagi untuk mencari gelar akademik, melainkan untuk "memberi makan" ego yang terselubung di dalam diriku. Aku selalu percaya dan meyakini, hidup akan terus berwarna selama kita menemukan hal-hal atau pengetahuan baru. Kuliah adalah salah satu cara--untuk saat ini--yang bisa kulakukan untuk mewarnai hidupku yang kompleks ini.

Kedua, aku memutuskan untuk bergabung dengan sebuah media daring baru. Setelah tiga tahun "berhibernasi" dari media daring yang terbit harian, aku tergelitik lagi untuk menikmati hal-hal semacam itu. Saat mendapatkan tawaran pada Ramadan lalu, aku bahkan tak meminta waktu untuk berpikir. Aku langsung memutuskan untuk mau dan bilang iya. Pada akhirnya, aku sadar,  segala sesuatu yang kulakukan selama ini bukan karena "apa", melainkan karena "siapa". Sering aku bertahan dalam satu kondisi karena faktor siapa itu tadi.

Memaknai Kehilangan

Namun, ini kali pertama aku mengingat tanggal lahirku dengan kesedihan. Mendung menyelimutiku seharian ini. Dadaku terasa penuh saat aku menuliskan ini. Ini pertama kalinya aku tidak mendapatkan ucapan selamat ulang tahun dari seseorang, bukan karena ia tak mau mengucapkan, tetapi karena orang tersebut sudah tak ada. Juga bukan ucapan selamat ulang tahun yang kuharapkan ada darinya, melainkan sapaan yang membahagiakan. 

Menjelang siang tadi, saat aku menceritakan perihal rasa kehilanganku pada seorang teman, aku mengatakan, "Ternyata ada orang-orang yang bahkan setelah dia enggak ada pun, kita masih mengingatnya." 

Orang itu, tentulah sangat berkesan di hati, keberadaannya berarti, dan kehilangannya menghadirkan jeri. Lagi-lagi aku bersyukur karena teman tersebut bisa memahami. Responsnya memvalidasi rasa kehilangan yang aku rasakan selama hampir dua bulan ini. Dan hanya padanya, menceritakan apa yang sebenar-benarnya teralami tak memunculkan rasa bersalah dalam diri ini.

Malam sebelumnya aku menuliskan secarik isi hatiku:

Hei, kamu ... 

Apa kabarmu? 

Aku ingin bercerita, tapi besok saja, ya. 

Aku ingin ketemu, tapi tak mungkin lagi, ya. 

Senyummu tetap menawan dalam ingatanku. 

Tuturmu tetap lembut dalam pikiranku. 

Tindakmu tetap santun dalam kenanganku. 

Ah, beginikah rasanya kehilangan? 

May, 06, 2025: 01.42.03 WIB

Yang menakjubkan, malam itu aku memimpikan dia. Pertama kalinya ia hadir sebagai mimpi sejak ia pergi dari kefanaan ini. Dalam mimpi itu ia memintaku untuk menunggu. Syukurlah, ia hanya memintaku menunggu. Bukan mengajakku pergi. Jika tidak, mungkin catatan asal-asalan ini tak pernah ada ....[]


Selasa, 15 April 2025

Kau Pergi dengan Membawa Segala Kenangan tentang Kita

Hari ini sebulan yang lalu, kau pergi dengan membawa segala kenangan tentang kita. Aku terlampau bersedih hingga tak sanggup menuliskan apa pun untuk "mengantar" kepergianmu ketika itu. Kecuali hanya beberapa potong kalimat. Hari ini, sedihku telah berkurang, tetapi justru kerinduanku yang semakin bertambah.

Nyaris setiap hari aku membuka kotak pesan darimu. Entah untuk melihat pesan-pesan bercentang satu yang (tetap) kukirimkan untukmu. Entah sekadar untuk membaca ulang pesan-pesan terdahulu. Yang pasti, di sana masih terdapat foto terakhirmu yang kau kirim untukku. Kau berada di sebuah resto, sedang menyuap nasi berwarna kuning yang dimasak dari beras basmati. Kau bilang itu nasi kebuli. Menggugah seleraku saat kau kirimkan foto itu. 

Setiap kali membuka kotak pesan itu, aku berharap centangnya menjadi ganda. Atau mungkin pesanku kemudian berbalas. Sekalipun bukan olehmu. Seperti pagi itu, sebulan yang lalu, aku sedang berolahraga di taman seperti biasa. Kusempatkan buka WhatsApp untuk melihat pembaruan terkini dari daftar kontak. Ada pembaruan darimu. Sebuah foto yang memperlihatkan seseorang terbaring di ranjang pasien rumah sakit. Di ruang ICU. Sebuah monitor menunjukkan angka-angka tertentu. Juga ada alat bantu napas yang dipasang pada tubuh pasien. Tak begitu kuperhatikan wajah yang terhalang oleh selang alat bantu napas itu sehingga kulewatkan pembaruan itu.

Awalnya tak sedikit pun terpikir kalau itu kamu. Namun, saat aku melihat pembaruan kedua, tertera sepotong kalimat yang memanjatkan doa berharap kesembuhan. Namamu tercantum di sana. Refleks aku menutup mulutku yang ternganga. Air mataku tumpah. Kulihat lagi pembaruan pertama. Ku-reply segera pembaruan itu, "Abang sakit?"

Begitulah aku bertanya. Dengan bahasa sehari-hari yang biasa kupakai saat mengobrol denganmu. Dengan harapan, kamu sendiri yang akan membalas pesan itu nantinya. Pesan itu berbalas kemudian, tetapi bukan kamu yang membalasnya. Hari-hari berikutnya, aku hanya bisa menunggu ada kabar baik mengenai kondisimu. Dan itu sungguh menyiksa. Selama itu pula, aku terus berdoa. Semoga kita masih sempat bertukar cerita. Semoga kita masih sempat bersua wajah.

Aku mendoakan kesembuhanmu dengan caraku sendiri. Setiap usai salat, selalu kubacakan surah Yasin. Aku berharap fadilahnya sampai kepadamu: menyadarkanmu; menyehatkanmu kembali. Namun, empat hari kemudian, yang kudapati justru sebuah kabar duka. Kau pergi, meninggalkan aku; meninggalkan segala yang ada pada kehidupan fana ini; meninggalkan orang-orang yang mencintai dan menyayangi kamu.

Matamu mengatup untuk selamanya. Napasmu berhenti untuk seterusnya. Jantungmu tak lagi berdenyut sejak dokter menetapkan waktu kepergianmu: Sabtu, 15 Maret 2025, pukul 00. 25 WIB. Pancaindramu tak lagi berfungsi. Nyawamu terlepas dari jasad, pergi menghadap Sang Pemilik Kehidupan. 

Kau pergi bertepatan dengan 15 Ramadan 1446 Hijriah. Aku melihatmu terakhir kali juga pada saat Ramadan. Ramadan yang lalu. 1445 Hijriah. Saat kuingat-ingat lagi, kita pertama kali saling mengenal di bulan Maret, kau pun pergi di bulan Maret. Kita saling kenal di tahun 2005 dan terpisah di tahun 2025. Itu sudah dua puluh tahun yang lalu. 

Aku pernah, bahkan sering menangisimu, tetapi menangisi kehilanganmu seperti itu sangatlah menyesakkan. Semakin aku menangis, semakin satu per satu kenangan tentangmu muncul. Senyummu yang selalu memesona melayang-layang di sekitar mataku. Tutur katamu yang selalu lembut, saat itu rasanya justru begitu bising di telingaku. 

Bahkan kau yang kulihat terakhir kali tahun lalu, rasanya semakin jelas dalam ingatanku. Kau yang bergamis putih, menunggu hadirku di bawah tenda di pekarangan rumah. Tenda yang dipasang untuk menerima pengunjung yang melayat atas kepergian saudaramu. Kau menyongsong dengan sepasang sayap yang merentang. 

Apakah kepergianmu tak boleh kutangisi? Boleh, kan? Bagaimana mungkin aku tak bersedih. Bagaimana mungkin aku tak menangis. Saat kusadari kini, ternyata kamu masih terlalu berarti untukku. 

Tahun lalu, pada pertemuan terakhir kita, terasa kini semacam reviu atas hari-hari kita yang sudah-sudah. Bukan hanya itu, kau pun seperti mereviu kembali kehadiranmu sebagai seseorang di dunia ini. Kau bercerita tentang dari mana orang tuamu berasal, di mana mereka pernah tinggal, dan di mana akhirnya mereka menetap. Kau jabarkan di mana kau lahir, tumbuh, dan besar. Obrolan yang intens.

Kau telah pergi, dengan membawa segala kenangan tentang kita. Apa yang kini bisa kukatakan selain selamat jalan, Zenja? Doa-doa untukmu terus kupanjatkan. Semoga Allah mendengar dan menerima doaku. Aku mengingatmu sebagai orang baik yang penuh kasih. Sebagai orang dewasa yang membantuku berproses dan bertumbuh. Yang selalu mendukungku dan senantiasa mengingat hari ulang tahunku.

Waktumu telah tiba, meskipun kau belum begitu tua untuk pulang ke sana. Tapi begitulah takdir, begitulah maut, cepat atau lambat tak sedikit pun ditentukan oleh usia. Masih banyak cerita yang kusimpan, belum sempat kusampaikan padamu karena aku masih menunggu waktu yang tepat. Ternyata waktu yang tepat itu tak pernah ada. Semua cerita itu kini telah kuterbangkan ke angkasa. Semoga kau bisa menemukan salah satunya. Ada atau tidaknya kamu, aku selalu ingin menjadi yang kau banggakan ....[]


Sabtu, 01 Maret 2025

Selamat jalan, Black

Black (kanan) bersama Cleo.


Selamat jalan, Black.

Terima kasih sudah bertahun-tahun bersama kami.

Kau hadir sebagai pelipur di tengah kebosanan saat pandemi melanda.

Kerincingan di lehermu yang riuh saat menyambut kami pulang akan selalu jadi kenangan.

Kamu kucing yang manis, manja, tetapi tidak rewel.

Tatap pandangmu selalu teduh

Ekormu yang superpendek begitu lucu

dan “kaus putih” di kakimu itu menjadikanmu semakin istimewa bagi kami.

Black, kemarin kamuu masih bersama kami. Kau memang sakit dan tampak lemas, tapi bukankah setiap Ramadan kamu selalu sakit? Hingga tak sedikit pun kami curiga bahwa ini sakit yang akan mengantarmu pada peristirahatan terakhir.

Kemarin siang aku mendengar suaramu yang memilukan. Menyayat hatiku. Apakah kau bermaksud memberi tahu?

Black, sering kudengar cerita-cerita tentang kucing-kucing yang mau meninggal justru meninggalkan rumahnya, supaya pemiliknya tidak sedih dan berduka.

Tapi kamu justru membiarkan kami menyaksikan kepergianmu. Di waktu subuh di hari pertama Ramadan.

Kaki Black usai tak bernyawa lagi, 1 Maret 2025.


Black, ternyata kepergianmu bisa bikin patah hati.

AKu menguburkanmu pagi ini. Kugali tanah dengan cangkul dengan keringat dingin mengucur. Antar capai dan sedih. Kubalut jasadmu dengan kain putih dari Bu De. Kumassukkan kamu ke liang itu dan kututup dengan tanah. Tak lama kemudian hujan turun, seperti melengkapi rasa sedihku.

Kami nelangsa sekali. Kupikir, kehilangan kamu yang seekor kucing takkan sebesar ini, tapi rasa aku patah hati.


Beristirahat dengan tenang ya, Black.

Sabtu, 15 Februari 2025

Rumah untuk Pulang

Rumah kita yang belum sempurna, tapi kehadirannya sangat-sangat membahagiakan.
 

Assalamualaikum, Ayah.


Ayah, 

per 16 Januari 2025 sudah 17 tahun Ayah berpulang. Usiaku belum terlalu matang ketika Ayah pergi, tetapi pelan-pelan, aku yang tadinya meraba-raba dan gamang bisa berdiri dengan tegak. Sepeninggal Ayah, banyak yang terjadi di rumah kita dan itu semua membuatku semakin memahami apa artinya menjadi dewasa. Mengingat betapa Ayah begitu "memanjakan" aku dulu, kupikir aku tak bisa semandiri ini. Namun, cinta Ayahlah yang membuatku menjadi seperti sekarang. Ayah kebanggaanku dan akan selalu begitu.


Ayah, 

aku ingin bercerita. Kali ini, cerita yang membahagiakan. 


Sebentar lagi Ramadan, Yah. Berbeda dengan tahun-tahun yang telah lalu, Ramadan ini akan menjadi istimewa karena kami, khususnya Mamak, akan menyambutnya dengan ber-makmeugang di rumah. Itu artinya, kami bisa "dekat" lagi dengan Ayah.


Rumah kita tampak dari belakang, Yah. Dapurnya tak lagi sebesar dulu, tak apa kan, Yah?


Ayah,

rumah kita yang pada 14 Maret 2017 dibakar orang sudah kubangun lagi. Sudah utuh kembali. Meski belum sempurna, tapi aku senang karena akhirnya Mamak dan adik-adik jadi punya rumah (lagi) untuk pulang. Betapa bahagianya melihat senyum mereka. Pun aku, yang sejak SMP sudah kos di rumah orang, sejatinya selalu merindukan rumah untuk pulang.


Ayah,

kini aku bisa merasakan kebahagiaan yang dulu pernah Ayah rasa. Ketika pertama sekali Ayah berhasil membangun rumah kita yang pertama--di tengah huru-hara negeri kita yang mematikan harapan. Waktu itu aku sekitar kelas dua SMP. Betapa berbunga-bunganya hatiku saat setiap akhir pekan pulang ke rumah. Tidur di kamar sendiri di tempat tidur yang berkelambu. 


Kata Mamak, salah satu yang membuat Ayah bersegera membangun rumah adalah karena Ayah punya anak perempuan. Di rumah itu pula aku pernah menangis sambil menggelesot karena tak mau pulang ke tempat kos. Lalu Ayah membujukku pelan-pelan hingga akhirnya tangisku reda. Lucu sekali mengingat aku sudah SMP. 


Namun, rumah itu tak bertahan lama, huru-hara di kampung kita tak hanya merenggut harapan anak manusia, tetapi juga benda-benda yang mereka miliki. Bekas rumah itu sampai sekarang masih ada, sumurnya juga masih tetap mengeluarkan air. 


Lalu, setelah kita pindah ke kampung yang baru, Ayah kembali membangun rumah untuk kita bernaung. Rumah itu selesai saat aku kelas dua SMA. Rumah itu menjadi saksi atas banyak peristiwa. Di sumur di rumah kita itu, ada mantel Ayah yang kami "sembunyikan" setelah peristiwa besar yang terjadi di Kota Idi.


Setahun kemudian, aku pun (kembali) meninggalkan rumah untuk kuliah. Hari-hari menjelang aku berangkat ke Banda, saat aku menyapu halaman, sempat kucuri dengar obrolan Ayah dengan seorang tetangga. Ayah bilang, kelak jika pun Ayah pergi, Ayah sudah "tenang". Sudah ada rumah bagi kami untuk berlindung dari terik dan hujan; ada sepetak dua petak kebun yang sudah menghasilkan untuk bertahan hidup. Selebihnya, ilmulah yang menjadi penentu jalan hidup kami. Namun, manusia hanya bisa berencana, Allah lah yang paling tahu yang terbaik untuk hamba-Nya.

Abu Wahab menepungtawari rumah kita pada pagi Kamis, 14 Februari 2025. Kami ahlibait turut dipeusijuek oleh Abu, Yah.


Ayah,

ketenangan seperti itulah yang (mungkin) kini menyelimuti hatiku. Aku yang selama bertahun-tahun menyimpan kegusaran, kini merasakan kelegaan luar biasa; ringan luar biasa. Aku sempat merasakan kehampaan karena rumah yang Ayah tinggalkan untuk kami pada akhirnya hilang dengan cara seperti itu. Sesungguhnya, yang paling berharga dari sebuah rumah adalah kenangannya. Kenangan bersama Ayah. 

Ini penampakan  ruang depan dan sebagian ruang tengah, Yah, yang kini telah lebih multifungsi: ada musala dan mezanine di atasnya yang terhubung ke rooftop. 


Ayah,

aku sangat sedih ketika Adek D tamat SMA dan dia tak punya rumah untuk pulang. Alhamdulillah, sekarang dia sudah tamat kuliah dan bisa melengkapi kebahagiaannya dengan bisa pulang ke rumah. Sebagai anak bungsu dan usianya masih sangat dini ketika Ayah pergi, Adek D tentulah yang merasa paling kehilangan. Ia memendam isi hatinya selama bertahun-tahun dan belakangan baru mulai berani ia sampaikan. Saat Ramadan atau Lebaran tiba, keceriaannya seperti tertahan. Semoga ke depan tak lagi begitu.


Ayah,

aku takjub pada cara Allah menggerakkan hati manusia, tepatnya hatiku. Selama bertahun-tahun aku tak pernah sedikit pun punya niat untuk membangun lagi rumah kita. Selain karena keterbatasan finansial, kupikir, kalau ada rezeki, sebaiknya aku membeli rumah di Banda saja. Tapi, selama bertahun-tahun itu pula aku memanjaatkan doa yang sangat khusus. Dan ketika niatku menjadi bulat untuk membangun kembali rumah kita pada pertengahan tahun 2023, aku yakin itu adalah jawaban dari Allah Swt. atas doa-doaku yang khusus itu. Semua takkan terjadi tanpa kehendak-Nya kan, Yah? 


Pada Desember 2023, aku pulang ke kampung untuk bertemu tukang, membicarakan biayanya, dan akhirnya berjabat tangan sebagai tanda "deal". Alhamdulillah, setelah setahun lebih sedikit, rumah kita akhirnya bisa ditempati. Bertepatan dengan 13 Februari 2025/14 Syakban 1446 Hijriah, Abu menepungtawari rumah kita dan malam hari sebelumnya ada samadiah untuk segala arwah. Semoga keberkahan selalu tercurahkan kepada keluarga kita, Yah.  


Mamak salat untuk yang pertama kalinya di rumah setelah ia meninggalkan rumah karena sakit usai Idulfitri tahun 2015. Ternyata itu sudah sepuluh tahun lalu ya, Yah?


Ayah,

tak ada yang berubah dari rumah kita dulu, aku hanya memperlebar sedikit dari dua kamar tidur utama dan ruang tamunya supaya sedikit lebih leluasa. Di kamar tempat Mamak tidur, aku tambahkan kamar mandi di dalamnya supaya mudah bagi Mamak jika ingin berwudu untuk salat malam. Di ruang tengah aku tambahkan mezanine dan di bawahnya aku jadikan musala supaya ada tempat khusus untuk salat. Aku juga memindahkan pintu samping di sisi kiri ke sebelah kanan untuk melancarkan sirkulasi udara dan cahaya matahari. Dulu Ayah ingin rumah punya kita ada teras, kan? Keinginan Ayah sudah kuwujudkan. 

Ini kamar mandi di kamar Mamak, Yah. Mamak sering mandi sebelum salat malam atau salat Subuh, Yah. Semoga keberadaan kamar mandi ini membuat Mamak semakin nyaman dan tenang beribadah.


Ayah,

aku sanggup karena doa-doa yang setiap malam dipanjatkan Mamak dalam salatnya. Doa-doa yang selalu disertai dengan isak tangis dan sering kudengar sayup-sayup di dalam tidurku. Bukankah doa seorang ibu tak bertabir?

Ini cucu Ayah, namanya Hurein Nazhifa Amina, anak Johan dan Zahra. Sebenarnya, Yah, aku menjadi mantap membangun lagi rumah kita setelah Dek Johan menikah pada Juli 2023. 


Ayah,

terima kasih sudah mendukungku dengan caramu. Terima kasih sudah hadir melalui mimpi-mimpiku untuk menguatkanku. Aku sangat bahagia, Yah, karena banyak sekali yang tulus menyayangiku, banyak yang mendoakan usahaku, dan banyak yang mendukungku. Semoga Allah Swt. membalas semua kebaikan itu dan memudahkan serta mengabulkan segala harap dan doa mereka. 



Agar terhubung dengan teras aku juga membuat jalan setepak serupa ini, Yah. Ini foto sebelum ditaruh batu.



Ayah,

saat aku menuliskan ini, aku sudah kembali ke Banda Aceh, mungkin ini saatnya aku fokus lagi untuk menyusun impian-impianku yang sempat tertunda (?)


(15/2/2025)

Senin, 27 Januari 2025

When My Lapie Collapse



Januari 2025 hampir berakhir. Nyaris empat pekan terlalui olehku dengan ritme aktivitas yang belum begitu padat. Aku jadi punya banyak waktu lebih untuk membaca buku, untuk rebahan, juga untuk berolahraga ke taman. 

Pergantian tahun ini kulalui di kampungku di Aceh Timur. Ini pergantian tahun pertama yang kulalui di sana setelah 17 tahun berlalu. Dua hari menjelang pergantian tahun, aku pulang ke kampung untuk mengecek proses finishing rumah yang sedang kubangun di sana. Aku kembali ke Banda Aceh beberapa hari setelahnya.

Januari kuawali dengan kejadian yang tak mengenakkan. Aku tiba di Banda Aceh pada pagi Minggu dan berencana pergi ke Sabang keesokannya. Setiba di Banda Aceh, seperti biasa, aku yang sudah kangen minum kopi pergi ke warung kopi langganan pada sorenya. Suasana warung kopi ramai. Aku duduk di salah satu meja yang agak dekat dengan dinding. 

Setelah memesan kopi, aku mengeluarkan laptop, berniat mencicil tulisan. Per Desember 2024 lalu aku memulai proyek penulisan buku baru dengan target harus selesai pada bulan Januari 2025 karena mengejar tenggat pelantikan kepala daerah di Aceh. Itu sebab, selama di kampung pun, aku tetap mencicil menulis, kulakukan di sela-sela segala urusan rumah. Saat kutekan tombol daya, laptop tidak mau menyala. Kukira baterainya habis, meskipun seingatku kali terakhir kupakai saat masih di kampung, baterainya full. Kukeluarkan MacSave untuk mengisi daya. 

Warna daya kuning, pertanda arusnya naik, tetapi saat kunyalakan kembali, laptopnya tetap tidak mau hidup. Beberapa saat kemudian muncul kotak folder di layar yang serbahitam disertai dengan tanda tanya.  Ini pertama kalinya tanda seperti itu muncul. Saat terakhir kupakai pada Jumat malam, laptopku tidak menunjukkan gejala apa-apa. Masih menyala dan berfungsi seperti biasa. Makanya, aku heran dan bingung saat tiba-tiba padam. Aku segera mengontak beberapa kawan untuk menanyakan perihal masalah tersebut, juga berselancar di internet untuk mencari tahu apa masalahnya. Termasuk bertanya pada Meta.

Malamnya segera kubawa laptop ke iColor di Peunayong. Aku tak bisa menunda-nunda, bahkan menunggu esok. Ini cangkul kerjaku, dengan kondisi ada pekerjaan yang sedang kuburu seperti ini, kerusakan alat kerja tentu saja merisaukan. Sebagai cadangan, untuk sementara waktu, aku sudah berpikir untuk menggunakan laptop adik. 

Tiba di iColor, aku mendapatkan beberapa penjelasan yang intinya hampir mirip dengan hasil penjelasan yang kudapatkan di internet. Dijelaskan juga bahwa kemungkinan, jika diperbaiki seluruh data akan hilang. Inilah yang lebih merisaukan lagi. Meski begitu, mekaniknya akan memeriksa terlebih dahulu dan kesimpulan baru bisa diberikan setelah selesai pemeriksaan. Katanya lagi, jika kerusakannya parah dan perlu perbaikan lanjut, maka unit harus dikirim ke Jakarta. Malam itu laptopku harus dirawat inap di IColor. 

Esoknya menjelang siang, ada pesan masuk dari iColor yang menjelaskan seperti ini:

Halo kak, Kami Dari Icolor Apple Service Aceh. Bermaksud Konfirmasi Mengenai Perbaikan Unit Kaka Di iColor Aceh

Unit : Macbook A1466

Kerusakan awal : Mati total

Mohon maaf sebelumnya, untuk kerusakan pada unit kaka sudah dicoba maksimalkan perbaikannya namun tetap tidak berhasil, untuk kerusakan unit kaka pada bagian SSD/Mesin sudah dimaksimalkan teknisi kami tetapi masih tetap tidak berhasil perbaikan, Dan mohon maaf sekali untuk perbaikannya sudah tidak bisa di lanjutkan kembali di kami, kondisi unit sudah di rapihkan dan kondisi sesuai awal masuk.

Untuk unitnya sudah bisa diambil kembali ya kak, dan karena tidak berhasil perbaikan maka tidak dikenakan biaya.

Terima kasih atas waktu dan kepercayaan yang sudah diberikan kepada kami.

Demi Kenyamanan Bersama Untuk Device Yang Sudah Di Konfirmasi Baik Sudah Selesai Atau Cancel Harap Segera Diambil.

Cuma satu inti dari pesan yang panjang dan bertele-tele itu, yakni laptopku tidak bisa diperbaiki di situ. Di satu sisi aku lega karena tidak ada beban biaya yang mesti kubayar. Di sisi lain aku terpikir, kalau di pusat servis resmi saja tidak bisa diperbaiki, konon lagi di tempat lain? 

Namun, entah mengapa, aku tidak begitu panik. Hatiku juga tidak terlalu risau. Aku tak ingin terlalu membebani pikiranku dengan sesuatu yang belum pasti. Selain, barangkali karena sudah ada alternatif jalan keluar. Jika laptop itu benar-benar tak bisa dipakai, aku akan gunakan laptop adikku.

Selepas siang aku mengambil laptop ke iColor dan tak ada ada penjelasan apa pun lagi dari mekaniknya. Aku datang, mengambil laptop, lalu pulang, tapi bukan pulang ke rumah. Tujuanku ke Kampung Laksana, tak begitu jauh dari Peunayong. Berdasarkan rekomendasi seorang teman aku mendatangi toko servis khusus produk-produk Apple yang ada di Jalan Darma. Namanya Apple Repair Aceh (ARA).

Sampai di ARA, segera kukeluarkan laptop dan kusampaikan masalahnya. Intinya, laptop juga harus diperiksa dulu oleh teknisi dan akan segera dikabari jika sudah terdeteksi. Baiklah. Sepulang dari sana kami ke toko laptop di Jalan Pocut Baren untuk mengganti kibor laptop adikku yang beberapa tombolnya sudah tidak berfungsi.

Malam harinya, sekitar pukul delapan malam, aku menerima pesan dari ARA yang isinya sebagai berikut:

Assalamualaikum

Bg saya dri Apple repair aceh mau konfirmasi untuk macbook nya kemungkinan rusak SSD

Klo ganti SSD yg ori APPLE yg 128 1,3 klo yg 256 1,8

Pesan yang singkat, padat, dan jelas. Sebagai pelanggan yang notabenenya sangat awam dengan persoalan semacam itu, informasi tersebut sangat melegakan. Aku jadi tahu apa masalahnya, apa solusinya, dan berapa biayanya. Bagi pelanggan, persoalan biaya sangat menjadi pertimbangan. Setelah kupertimbangkan, akhirnya kupilih yang 256 GB. Tak apa mahal sedikit, tetapi kapasitasnya bisa lebih besar. Berdasarkan informasi dari adminnya, malam itu juga laptopku diperbaiki, dengan permintaan waktu sekitar semingguan--barangkali karena harus antre. 

Namun, pada Senin malam, aku kembali mendapat kabar kalau laptopku sudah pulih kembali. Alhamdulillah, akhirnya cangkulku berfungsi kembali, meskipun semua datanya tidak dapat dipulihkan, ya sudahlah.[]