Laki-laki adalah ular berkepala dua, hati-hatilah dengan mereka. Kadang mereka juga singa, yang selalu tidak pernah merasa kenyang dan puas. Sekali waktu ia seperti lebah yang mengantarkan madu-madu asamara tapi lain kali ia malah menyengatmu dengan cara yang tidak disangka-sangka.
Begitulah selalu Sara meyakinkan dirinya, bahwa laki-laki adalah ular, singa dan lebah yang jahat. Karena itu ia harus mematuk sebelum dipatuk, mengeram sebelum dikoyak-koyak dan menyengat sebelum disengat. Ia harus bisa berlemah lembut tetapi kemudian harus menjadi jahat dan nakal. Begitulah Sara menyelematkan dirinya sekaligus melampiaskan dendamnya kepada laki-laki.
Malam terus merangkak, bulan tampak sabit diatas langit sana, bintangpun tidak banyak bertaburan. Langit gelap. Sara masih saja sibuk dengan rokok-rokoknya yang bertaburan dilantai, jam di nokia 3100-nya sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Kulit kacang berserakan dilantai, sebotol fanta besar tinggal seperempatnya saja.
Begitulah Sara, dia tidak bia membedakan antara sedih dan senang, karenanya semua sama saja bagia dia, sedih merokok senang pun merokok. Entah apa yang dicarinya dari asap-asap rokok itu. Abunya sengaja ia biarkan menggantung panjang dari ujung rokoknya lalu jatuh kelantai. Bibirnya tak henti-hentinya menyunggingkan senyum. Gadis muda yang sedang kasmaran, tapi juga dendamnya yang mulai terlampiaskan. Ia senang. Ia tepuk tangan. Dia juga menangis.
“Sebentar lagi Dandan pasti akan tahu kalau Sara bukan gadis lugu yang bisa senaknya diajak kesana kemari.” Lirihnya sambil menghirup dalam-dalam rokok djie sam sue premiumnya.
Gadis itu mengenal rokok sejak dua tahun lalu, dari awalnya coba-coba hingga akhirnya ia menjadi kencaduan seperti sekarang ini. Tapi masih dalam batas yang normal lah, satu bungkus sehari meskipun begitu bagi perempuan merokok masih agak tabu sepertinya untuk dikota-kota kecil seperti Banda Aceh ini. Karena itu Sara hanya merokok ditempat-tempat yang benar-benar aman dan tempat itu hanyalah kamar tidurnya sendiri. Setelah merokok dia menyemprot pengharum ruangan banyak-banyak agar baunya tidak menyebar dan bisa membuat curiga penghuni kost yang lain. Begitulah terus menerus selama ini ia jalani.
Dandan adalah penggila barunya yang telah ia beri umpan sejak enam bulan yang lalu, menaklukkan Dandan memerlukan kesabaran ekstra dan kejelian. Ia begitu kuat memegang prinsipnya, kalau tidak sabar mungkin ia telah gagal membuat Dandan seperti orang mabuk seperti sekarang. Dandan bukan lelaki bodoh atau culun yang gampang dibodohi oleh seorang perempuan muda seperti dia. Umurnya sudah hampir kepala empat, karena itu dia harus mengerahkan seluruh tenaganya untuk bisa menaklukkan lelaki tersebut. Ia pun harus banyak membaca agar bisa mengimbangi ketika mengobrol dengan Dandan yang berlatar belakang aktivis.
Tapi sudah sebulan terakhir ini, Dandan sepertinya sudah bisa ia kuasai, dia sudah berhasil dijinakkan. Sara tinggal bilang ini, itu, dan Dandan akan menurutinya. Seperti ketika mereka bertemu tadi.
“Aku Cuma ingin kamu menemaniku beberapa waktu lagi disini Bang. pulang jenguk istri kan bisa bulan depan, toh dia tetap istri abang kan? Abang ngga pulang pun nggak akan diambil orang dan ngga berubah status.” Ucapnya manja kepada Dandan ketika mereka makan malam tadi.
Dadan mengangguk-ngangguk sambil berfikir. Benar juga fikirnya, bukankah dia sudah pulang menjenguk keluarganya ketika lebaran yang lalu? Berarti lebaran haji ini tidak pulang pun tidak apa-apa. Toh mereka tetap dikirimi duit. Dia nggak pulang baju lebaran anak-anak tetap ada. Kue lebaran tetap seperti biasanya.
“Kita kan baru seminggu jadian, masak sih aku mau ditinggal. Bisa gila nanti kerinduan abang.” Lagi-lagi suaranya dibuat semesra dan semanja mungkin. Ia harus bisa memberikan alasan yang masuk akal agar Dandan tidak pulang ke medan. Sara mulai menggombal, gadis itu memang pintar merayu.
Lagi-lagi kening Dandan berkerut. Ia tersenyum kepada Sara yang duduk disampingnya.
“Dasar laki-laki…serigala! Ular! Sekali dua kali kau bisa tidak tergoda dengan kemanjaan dan kemesraan ku, tapi yang ketiga kau pasti kalah!” batin Sara sinis. Ia tersenyum masam ke lelaki itu tapi Dandan tidak mengetahuinya.
Tapi kemesraan dan kemanjaan Sara tidaklah sepenuhnya dibuat-buat, sifatnya memang seperti itu. Dan ia memanfaatkannya untuk menjaring sebanyak-banyaknya laki-laki dan setelah itu dia campakkan. Umurnya memang masih muda, 21 tahun, tapi soal pengalaman menghadapi laki-laki dia sudah sangat lihai.
“Cukup berikan senyum manis, lalu sedikit perhatian dan manjakan. Jangan bilang laki-laki tidak bertekuk lutut kecuali memang dia taat beragama.” Selalu itu yang dikatakan Sara pada dirinya ketika ia merasa kewalahan menaklukan laki-laki. Tetapi Sara tetap sabar, sabar dan sabar, dan dia berhasil. Dandan adalah yang terlama berhasil ia taklukkan.
“Hmm…baiklah, demi kamu…abang akan tunda pulang ke Medan. Mungkin tahun baru nanti abang pulang.”
“Lho…tahun baru bukannya kita akan ke Sabang?”
“Hmm..ya deh…februari aja…”
“Valentine lho bang…”
Sara menuang minum ke gelas dan meneguknya berkali-kali, kerongkongannya agak perih karena soda. Rokoknya yang separuh ia matikan. Sudah waktunya tidur. Ia pun menarik selimut dan segera tidur.
“Sara lagi pulang ke Takengon nih bang, ada temen yang nikah.” Jawabnya dari ponsel.
“Kok ngga bilang-bilang sama abang?” Dandan protes
“Maaf abang sayang…Sara pergi buru-buru, ini masih dijalan. Belum sampai.”
Buru-buru Sara mematikan hand phonenya dengan alasan batrenya lemah. Padahal dia sedang bersama Rifkan sekarang, teman lelakinya yang sudah dua tahun dia kenal. Sama seperti Dandan Rifkan juga sudah berkeluarga. Laki-laki itupun sungguh gila mati ke Sara. Sara mengaku kalau dia sudah punya pacar tapi tetep saja ngotot.
“Mang enak dikerjain…” Desis Sara membayangkan kekecewaan Dandan, soalnya dua hari yang lalu mereka sudah janjian mincing ke Ule Lhee hari minggu ini.
“Dasar laki-laki…! Emang kamu siapanya saya sampai harus lapor dulu!!”
Entah apalagi umpatan-umpatan yang keluar dari hati kecilnya, sedang bibir mungilnya terus menerus bercerita bersama Rifkan, tertawa, bersenda gurau. Sara benar-benar jijik dengan mereka semua. Laki-laki pengkhianat. Laki-laki pendusta, bajingan!!!
@@@
Sara kecil hanya bisa meringkuk ketakutan disudut dinding, mata bulatnya berlinang air mata, tapi tidak ada suara yang keluar. Tubuhnya gemetar, matanya mengerjap-ngerjap. Hatinya berontak tapi ia tak mampu berbuat apa-apa. Termasuk ketika ayahnya memukul ibunya hingga terpental ke dinding.
Lelaki yang dulu dikenalnya begitu baik kini telah beubah menjadi srigala lapar hanya karena pelacur tua yang telah merebutnya dari istrinya. Dari ibunya.
“Pergi kau laki-laki bangsat!” Teriak ibunya sambil tersungkur.
“Tidak kau suruhpun aku akan pergi.” Teriak ayahnya lantang. Matanya memerah. Tangannya masih mengepal.
Sara kecil terus meringkuk, sekarang diketiak ibunya.
“Bantu ibu mu !!!”
Sara tak berani memandang mata ayahnya. Dia menjadi benci. Sangat membenci laki-laki itu sekarang. Sejak saat itulah laki-laki tak ada harga lagi dimatanya. Sara kecil bertekad akan membuat laki-laki bertekuk lutut dikakinya.
Matahari mulai menjingga, angin bertiup agak sepoi-sepoi sore itu. Sara menjatuhkan pandangannya ke ujung timur. Awan membiru dan tampak cerah. Sore yang indah. Sekawanan camar terbang melintas diudara, sekitar dua puluh ekor. Membentuk leter u yang cantik dan mempesona.
Sebatang rokok menggantung di jari-jarinya yang lentik. Sesekali ia hisap dalam-dalam tapi lebih banyak ia biarkan menggantung hingga abunya jatuh ke tanah.
Pikirannya mengapung jauh, melanglang menjelajahi batok kepalanya. Ia teringat Rifkan, laki-laki yang punya dua anak yang sudah setahun lebih berjalan dengannya. Hati kecilnya mengatakan dia mencintai laki-laki itu. Tapi akalnya mengatakan dia harus membuatnya hancur. Membuatnya terluka supaya dia tahu bagaimana sakitnya dicampakkan perempuan, dilukai hatinya. Tapi ia selalu gagal. Ia tak berhasil menundukkan hatinya untuk tidak benar-benar jatuh cinta pada Rifkan. Inilah yang dia takuti, toh pada akhirnya ia tak bisa memiliki Rifkan.
Rifkan telah membuatnya jatuh cinta dan memberinya cinta yang tulus. Kedewasaan dan keluasan berfikir Rifkan telah membuat Sara benar-benar membukan hatinya untuk lelaki itu.
Ah, tapi selama ini ia tak pernah jahat kepada Rifkan, tak pernah mencuri waktu berkumpulnya dengan keluarga seperti ia melarang Dandan, tak pernah menerima apapun yang diberikan Rifkan karena memang bukan uang yang dia cari. Dia serba kecukupan. Justru sebaliknya, ia selalu ingin membuat Rifkan senang, dia akan marah besar kalau hari libur Rifkan mengajaknya jalan-jalan dan bukan keluarganya.
“Abang itu sibuk…kalau bukan hari minggu gini mau kumpul sama keluarga kapan lagi? Pergi sama Sara kan masih bisa kapan-kapan.” Ucapnya ketika itu.
“Sara ngga akan merebut waktu abang dari keluarga abang kok…” ujarnya lagi
Entahlah…mungkin Sara telah menjadi orang baik didepan Rifkan, tapi sebenarnya dia sendiri merasa jahat. Bukankah jahat namanya ketika diluar sana banyak laki-laki yang masih sendiri menawarkan cintanya ia justru memilih lelaki beristri untuk dijadikan temannya. Ia telah mengajarkan laki-laki berkhianat perasaan. Tapi ia puas, puas setiap kali laki-laki itu menceritakan kelemahan istri-istri mereka dan memuji-mujinya. Ia puas setiap kali laki-laki itu mengatakan cinta, rindu dan entah apalagi kepadanya. Sedang dalam hati ia puas memaki dan menghujat laki-laki.
Sara menyelonjorka kakinya, pandangannya berpantul ke arus sungai yang tenang. Ikan-ikan kecil tampak berkeliaran kesana-kemarin.
“Mungkin mereka juga sedang bercinta.” Batinnya sambil tersenyum
Ada ibu-ibu yang mencari tiram dikejauhan sana, ada juga lelaki-lelaki yang tengah memancing. Sara menarik napas dalam sambil membuang jauh-jauh puntung rokoknya. Diteguknya air mineral untuk membasahi kerongkongannya. Mendadak ia menjdi sangat galau, tak tenang. Ia sudah mengambil keputusan besar menurutnya. Rifkan tidak boleh ia permainkan, karena itu dia harus meninggalkannya walaupun resikonya dia harus kesakitan, rasa cintanya ke Rifkan sudah setinggi gunung seulawah yang ada didepannya, mengalir deras seperti aliran sungai Krueng Aceh ini. Rifkan telah begitu baik, ia tak tega membuat keluarganya hancur. Apalagi Sara kenal teman-teman dan sebagian keluarga Rifkan.
“Masih banyak lelaki jahat yang bisa disakiti, seperti Dandan, seperti Syahrul, dan bukan Rifkan.” Bisik hatinya
Ia menyampaikan salam terakhir kepada Rifkan melalui kawanan Camar yang terbang diatas sana. Salam rindu dan cinta yang tidak pernah bisa digantikan oleh siapapun. “Sebab aku hanya bisa mencintai Rifkan.”
medio desember
ketika rindu mengapung pada salam terakhir