Malam terus saja berlari, membawanya pada usia yang tidak lagi muda. sedang diri ini sekedar memejamkan matapun aku tak mampu kecuali jika malam telah benar-benar tua. selama itu pula aku berjalan menelusuri lorong waktu kehidupanku, berputar-putar antara suka dan lara yang datang silih berganti.
terlintas dibenak untuk mengintip si sabit dilangit sana, tapi urung karena mendung telah menggumulinya sejak tadi dan menyelimutinya dengan kepekatan. kembali aku berputar-putar dengan waktu. ah, lama sekali matahari terbit. masih esok pagi. sementara aku ingin melihatnya sekarang juga. pikiran ini juga melanglang sangat jauh, menembus selat dan pulau hanya untuk sebuah keputusan diri. sampai kapankan petualangan ini terhenti? dan lautan hati ini berhenti bergelombang? dan deburan ombaknya benar-benar menyusut seiring dengan semakin menyusutnya raga ini. hingga tak lagi ada riak sekecil apapun.
wahai gemuruh langit, apakah kau tengah menyuarakan kegelisahan hati ini? lalu kepda siapakah akan kau sampaikan? biarlah aku dalam kesendirianku mencoba mengukir menata hati dan diri untuk menuju sempurna. kemarin, seseorang mengatakan padaku jangankan untuk menjadi sempurna, jalan menuju sempurna saja sangat sulit dan penuh kelokan. ya, aku percaya dan sangat percaya. aku pun tahu itu. tapi apa salah kalau aku menginginkan kesempurnaan itu? kalau pun tidak bisa aku hanya ingin menjadi melati yang sederhana saja.
malam yang semakin bergemuruh, ingin ku putar kembali waktu yang telah berlalu, bahwa aku pernah menanti malam-malam tuamu dengan sejuta keindahan dan pesona hati membuatku sama sekali tak berkedip. aku sangat bahagia meski akhirnya harus berselimut lelah dan peluh. tapi sekarang, aku tak berani berharap pada malam tuamu lagi. aku takut. membayangkan sepasang merpati yang tengah bercengkerama selalu membuatku perih, mereka terbang mengitari angkasa dan tersenyum bersama.
malam, barangkali aku tidak perlu bercerita lagi betapa luka hati ini menghabiskan sisa malam dengan cara seperti ini. melemaskan seluruh persendian dan mengundang lelah hanya untuk sebuah pelipur. pada gurat-gurat malam yang tak lagi muda, sungguh getar gemuruhmu kurasakan hingga kerelugn hatiku.
waktu demi waktu yang terlewatkan tak ubahnya seperti air yang mengalir. begitu juga dengan kemarahan kadang ia mendidih namun akhirnya kembali megnuap ketika aku menyadari bahwa ini adalah pilihan.haruskah malam ini seperti malam-malam kemarin? atau malam-malam sebelumnya ketika air mata bercumbu dengan marah dan sepi yang kian menderu. haruskah kembali menjerit dan berteriak atau cukup dengan diam saja tanpa air mata dan nafas yang memburu? atau dengan tawa yang memburai seperti senyum matahari. apakah harus seprti itu.
0 komentar:
Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)