Perempatan Cempaka Putih. Siang terik. Ramai. Macet. Bapak ibu Polisi mengatur lalu-lintas. Kali ini sambil berjoget diiringi musik disco-reggae yang disetel keras-keras dari sebuah sound-system besar yang ditempatkan di sudut pos mereka. Terik-panas-ramai kini lengkap dengan ingar-bingar.
Xenia kami antri di urutan keenam dari lampu merah. Dedy, teman kerjaku di Jakarta ini sedang pegang kemudi. Pedagang asongan, mainan, pengamen, dan lainnya bergerilya ke pintu-pintu. Seorang pengamen datang ke pintu mobil dengan gitar bututnya dan mendendangkan hidupnya yang sengsara. Dedy mencari-cari kepingan uang logam di dash-board, membuka jendela, dan sekeping-dua logam bundar segera berpindah tangan. Ia menutup lagi jendela mobil. Seorang anak kecil, lusuh dan bermuka banjir keringat menadahkan tangan. Ia bilang belum makan seharian. Dedy mencari-cari lagi kepingan logam di tempat yang sama, membuka jendela, dan sekeping-dua logam bundar kembali berpindah tangan. Ia lalu menutup jendela mobil.
Parade ini belum berakhir. Lampu belum juga hijau ketika seorang ibu dengan bayi kecilnya yang tengah menyusu di gendongan datang membawa sapu ijuk bulu ayam warna coklat sawo matang. Tanpa melihat kami, ia membersihkan kap, kaca depan, jendela, dan body mobil yang pagi tadi baru saja dicuci. Kemudian ia datang ke jendela Dedy. Teman saya ini, membuka jendela, dan segera sekeping-dua logam bundar diangsurkannya ke tangan ibu itu. Rupanya ia telah siap sebelumnya. Dan peristiwa berulang itu berakhir ketika lampu hijau menyala.
Enam bulan sudah ia di Jakarta. Enam bulan sudah kerapkali saya bersamanya menyusuri jalan-jalan Jakarta. Enam bulan pula saya perhatikan tingkah lakunya ketika berhenti di perempatan jalan. Dan enam bulan itu, setiap kali ada orang yang datang ke jendelanya dan meminta sedikit rezekinya dengan berbagai cara, ia kulihat hampir tak pernah sekalipun tidak memberi mereka. Mungkin sekitar lima ratus sampai seribu rupiah tiap orang. Dan laci di dash-board Xenia ini sepertinya tak pernah tidak ada isinya. Seperti kantong ajaib Doraemon. Setiap kali tangan Dedy menari-nari di sana, gemericik logam nyaring terdengar berdentingan serupa meraup kotak harta karun penuh kepingan uang emas. Bahkan tak jarang, ketika harus berhenti dua kali karena lampu merah keburu menyala kembali sebelum Xenia kami sempat meloloskan diri, orang yang sama yang sebelumnya sudah dikasih dan kini menggilir lagi dari depan, Dedy pun tetap memberinya lagi.
Subhanallah!
Hari ini, ketika kami sedang antri di perempatan yang sama dan Dedy tetap istiqamah melakukan hal yang sama sebagaimana sejak enam bulan yang lalu, saya penasaran bertanya.
“Kuperhatikan kamu selama ini, setiap kali ada orang minta di jendelamu, jarang kulihat tidak kamu kasih,” kataku padanya.
Ia hanya tersenyum, satu hal yang selalu kusaksikan di wajahnya setiap kali.
“Kenapa kamu lakukan itu, Ded?” tanyaku memancing.
Kembali ia tersenyum. Tapi tak menjawab.
“Banyak orang yang beranggapan bahwa memberi mereka yang bertebarang di jalan-jalan ini hanya dengan seribu-dua ribu perak tidak akan membantu mereka bisa hidup lebih baik,“ kataku mengutip pendapat beberapa orang yang pernah kutemui. “Justru membuat mereka menjadi malas dan tak berubah dari kebiasaannya untuk mengemis.”
Dedy masih saja tersenyum. Seorang pengemis baru saja pergi dari jendelanya dengan sekeping-dua logam di tangan.
“Kalau boleh tahu, apa yang membuatmu selalu memberi?”
“Ah, nggak juga kok, Pak,” jawabnya spontan merendah. “Kadang pas nggak ada ya saya nggak memberi mereka.”
“Bahkan tak jarang, kamu memberi seseorang dua kali, karena ia datang dua kali padamu.”
Ia hanya menengok padaku sesaat dan tersenyum lagi.
“Kenapa, Ded?”
Ia tersenyum lagi. Tapi kemudian membuka mulutnya. “Yah, mumpung masih bisa memberi, Pak.”
Lampu pun hijau. Xenia segera beranjak. Dan jawaban Dedy, temanku sejak enam bulan lalu di jalanan Jakarta ini, mengingatkan pada Rasul yang agung yang tidak pernah tidak memberi pada orang yang meminta pada beliau. Bahkan kadang dengan berhutang!
Mumpung masih bisa memberi. Begitu simple. Meski hanya satu-dua keping uang logam. Tak banyak. Tapi, jika ia setiap kali memberi, dalam masa enam bulan yang tak sebentar, yang sedikit dan tak seberapa itu, pasti sudah banyak sekali. Bukankah sebaik-baik amal adalah yang terus-menerus (istiqamah) meskipun sedikit? Mungkin bagi kita seribu rupiah tidaklah berarti. Tetapi, bagi mereka yang seharian tidak makan, mungkin nilai itu serupa kurnia besar yang membuatnya bisa menyambung hidup.
Menyambung hidup? Amboi! Sudah berapa ratus orang yang bisa “bertahan hidup” dari uluran tangan Dedy! Subhanallah! Betapa yang remeh itu ternyata tidaklah sesederhana yang bisa kita bayangkan. Sesuatu yang kecil itu, mungkin di sisi Allah SWT sungguhlah besar artinya. Apalagi jika ia dibarengi dengan ikhlas dan ittiba’ sunnah.
***
Xenia kami antri di urutan keenam dari lampu merah. Dedy, teman kerjaku di Jakarta ini sedang pegang kemudi. Pedagang asongan, mainan, pengamen, dan lainnya bergerilya ke pintu-pintu. Seorang pengamen datang ke pintu mobil dengan gitar bututnya dan mendendangkan hidupnya yang sengsara. Dedy mencari-cari kepingan uang logam di dash-board, membuka jendela, dan sekeping-dua logam bundar segera berpindah tangan. Ia menutup lagi jendela mobil. Seorang anak kecil, lusuh dan bermuka banjir keringat menadahkan tangan. Ia bilang belum makan seharian. Dedy mencari-cari lagi kepingan logam di tempat yang sama, membuka jendela, dan sekeping-dua logam bundar kembali berpindah tangan. Ia lalu menutup jendela mobil.
Parade ini belum berakhir. Lampu belum juga hijau ketika seorang ibu dengan bayi kecilnya yang tengah menyusu di gendongan datang membawa sapu ijuk bulu ayam warna coklat sawo matang. Tanpa melihat kami, ia membersihkan kap, kaca depan, jendela, dan body mobil yang pagi tadi baru saja dicuci. Kemudian ia datang ke jendela Dedy. Teman saya ini, membuka jendela, dan segera sekeping-dua logam bundar diangsurkannya ke tangan ibu itu. Rupanya ia telah siap sebelumnya. Dan peristiwa berulang itu berakhir ketika lampu hijau menyala.
Enam bulan sudah ia di Jakarta. Enam bulan sudah kerapkali saya bersamanya menyusuri jalan-jalan Jakarta. Enam bulan pula saya perhatikan tingkah lakunya ketika berhenti di perempatan jalan. Dan enam bulan itu, setiap kali ada orang yang datang ke jendelanya dan meminta sedikit rezekinya dengan berbagai cara, ia kulihat hampir tak pernah sekalipun tidak memberi mereka. Mungkin sekitar lima ratus sampai seribu rupiah tiap orang. Dan laci di dash-board Xenia ini sepertinya tak pernah tidak ada isinya. Seperti kantong ajaib Doraemon. Setiap kali tangan Dedy menari-nari di sana, gemericik logam nyaring terdengar berdentingan serupa meraup kotak harta karun penuh kepingan uang emas. Bahkan tak jarang, ketika harus berhenti dua kali karena lampu merah keburu menyala kembali sebelum Xenia kami sempat meloloskan diri, orang yang sama yang sebelumnya sudah dikasih dan kini menggilir lagi dari depan, Dedy pun tetap memberinya lagi.
Subhanallah!
Hari ini, ketika kami sedang antri di perempatan yang sama dan Dedy tetap istiqamah melakukan hal yang sama sebagaimana sejak enam bulan yang lalu, saya penasaran bertanya.
“Kuperhatikan kamu selama ini, setiap kali ada orang minta di jendelamu, jarang kulihat tidak kamu kasih,” kataku padanya.
Ia hanya tersenyum, satu hal yang selalu kusaksikan di wajahnya setiap kali.
“Kenapa kamu lakukan itu, Ded?” tanyaku memancing.
Kembali ia tersenyum. Tapi tak menjawab.
“Banyak orang yang beranggapan bahwa memberi mereka yang bertebarang di jalan-jalan ini hanya dengan seribu-dua ribu perak tidak akan membantu mereka bisa hidup lebih baik,“ kataku mengutip pendapat beberapa orang yang pernah kutemui. “Justru membuat mereka menjadi malas dan tak berubah dari kebiasaannya untuk mengemis.”
Dedy masih saja tersenyum. Seorang pengemis baru saja pergi dari jendelanya dengan sekeping-dua logam di tangan.
“Kalau boleh tahu, apa yang membuatmu selalu memberi?”
“Ah, nggak juga kok, Pak,” jawabnya spontan merendah. “Kadang pas nggak ada ya saya nggak memberi mereka.”
“Bahkan tak jarang, kamu memberi seseorang dua kali, karena ia datang dua kali padamu.”
Ia hanya menengok padaku sesaat dan tersenyum lagi.
“Kenapa, Ded?”
Ia tersenyum lagi. Tapi kemudian membuka mulutnya. “Yah, mumpung masih bisa memberi, Pak.”
Lampu pun hijau. Xenia segera beranjak. Dan jawaban Dedy, temanku sejak enam bulan lalu di jalanan Jakarta ini, mengingatkan pada Rasul yang agung yang tidak pernah tidak memberi pada orang yang meminta pada beliau. Bahkan kadang dengan berhutang!
Mumpung masih bisa memberi. Begitu simple. Meski hanya satu-dua keping uang logam. Tak banyak. Tapi, jika ia setiap kali memberi, dalam masa enam bulan yang tak sebentar, yang sedikit dan tak seberapa itu, pasti sudah banyak sekali. Bukankah sebaik-baik amal adalah yang terus-menerus (istiqamah) meskipun sedikit? Mungkin bagi kita seribu rupiah tidaklah berarti. Tetapi, bagi mereka yang seharian tidak makan, mungkin nilai itu serupa kurnia besar yang membuatnya bisa menyambung hidup.
Menyambung hidup? Amboi! Sudah berapa ratus orang yang bisa “bertahan hidup” dari uluran tangan Dedy! Subhanallah! Betapa yang remeh itu ternyata tidaklah sesederhana yang bisa kita bayangkan. Sesuatu yang kecil itu, mungkin di sisi Allah SWT sungguhlah besar artinya. Apalagi jika ia dibarengi dengan ikhlas dan ittiba’ sunnah.
***
dikutip dari:
(setiap hari aku melewati simpang lima, simpang jambo tape...entah simpang simpang apa lagi. terlalu banyak simpang yang dijadikan tempat mangkal pengemis, sampai ke simpang yang tidak bernama dan tidak terkenal. tapi susah sekali tangan ini mengeluarkan sekeping atau dua keping uang logam, aku memang jarang sekali punya uang, tapi aku suka mengamati orang orang yang menggunakan mobil atau sepeda motor, mereka tak pantas kalau dibilang tidak punya, tapi mereka juga seperti ku, menatap....tapi entah apa yang ada dalam hati mereka. apakah sama seperti yang ada dihatiku?)
0 komentar:
Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)