oleh: Anis Matta
Orang-orang di negerinya, di Mesir sana, menganggapnya pasangan cinta. Mereka menyebutnya sebagai kampiun asmara. Dody Al Fayed dan Lady Diana
adalah sebuah roman yang tragis. Dua jiwa bertemu. Tapi tanpa raga.
Mereka tidak ditakdirkan bersatu. Tapi Lady Diana dan dan Pangeran Charles adalah juga roman yang tragis. Dua raga bertemu. Tapi tanpa jiwa. Mereka pernah
ditakdirkan bersatu. Tapi tidak ditakdirkan untuk saling mencintai. Tragis. Terlalu tragis. Dua setengah milyar umat manusia yang ikut menyaksikan proses
pemakaman Lady Diana dan Dody hanya mampu menangis.
Menyatakan haru entah kepada siapa: sebab di alam jiwa mereka semua nestapa. Tapi cerita Charles dengan Camilla Parker yang entah menjadi pemicu keretakan
rumah tangganya atau tidak, menyelipkan sebuah pertanyaan besar: mengapa sang pangeran lebih tertarik dengan perempuan tua itu ketimbang Diana yang cantik
dan anggun, Diana? Bahkan ketika Camilla menjadi musuh bersama rakyat Inggris, Charles tetap menikahinya beberapa tahun kemudian? Seperti sebuah kehendak yang
dipaksakan walaupun harus melawan arus. Tidak berartikah kecantikan Diana baginya? Dan apakah pesona perempuan tua yang membuatnya nekat itu?
Charles adalah sebuah cerita tentang kesepian. Punya ibu seorang ratu hampir sama dengan menjadi yatim.
Maka Charles tumbuh dengan sebuah kebutuhan jiwa yang akut: seseorang yang bisa diajak bicara, mau mendengarnya dan mampu memahaminya, seseorang yang bisa membuatnya merasa sebagai orang normal yang bersikap wajar dalam
kehidupannya. Camilla hadir dan bisa memenuhi kebutuhan jiwa itu. Sementara Diana tumbuh sebagai gadis cantik yang terlalu lugu untuk kerumitan-kerumitan besar yang
dihadapi Charles. Ia bagus sebagai icon kerajaan yang cantik. Tapi tidak bagi Charles yang rumit. Jiwa mereka tidak bertemu ketika raga mereka justru seranjang.
Tim kehidupan pada intinya adalah ide tentang pasangan jiwa dalam kategori cinta jiwa. Bukan terutama tentang poligami. Ini ide tentang pertemuan jiwa yang
disebabkan oleh kesamaan, atau kesepadanan, atau keseimbangan, atau kelengkapan. Jiwa-jiwa yang saling bertemu itu bisa dua atau tiga atau empat dan
seterusnya. Sama persis dalam sebuah bentuk tim dalam sebuah organisasi. Tim itu juga bisa besar pada mulanya lalu menciut pada akhirnya. Umar bin Khattab,
misalnya, menceraikan dua istrinya yang sangat cantik, Jamilah dan Qaribah. Tapi bisa bertahan hidup bersama Ummu Kaltsum binti Ali atau cucu Rasulullah saw yang usianya terpaut lebih 40 tahun.
Itu sebabnya cinta jiwa merupakan sumber semua cerita roman percintaan dalam sejarah umat manusia. Baik yang berujung tragis maupun yang berakhir bahagia. Jiwa mempunyai hajatnya sendiri. Maka ia lebih bisa mengenal pasangannya sendiri. Juga bergerak dengan caranya sendiri menuju pasangannya. Di alam jiwa terlalu
banyak kaidah dan kebiasaan alam raga yang tidak berlaku. Itu membuatnya rumit. Tapi agung. Rumit jalan ceritanya. Tapi agung suasananya. Rumit untuk dicerna.
Tapi agung untuk dirasakan. Maka romantika cinta pasangan jiwa selalu begitu: bauran yang kompleks antara kerumitan dan keagungan.
Sumber : Tarbawi, Edisi 140 Thn 8/Ramadhan 1427 H/28
September 2006 hal. 72.
adalah sebuah roman yang tragis. Dua jiwa bertemu. Tapi tanpa raga.
Mereka tidak ditakdirkan bersatu. Tapi Lady Diana dan dan Pangeran Charles adalah juga roman yang tragis. Dua raga bertemu. Tapi tanpa jiwa. Mereka pernah
ditakdirkan bersatu. Tapi tidak ditakdirkan untuk saling mencintai. Tragis. Terlalu tragis. Dua setengah milyar umat manusia yang ikut menyaksikan proses
pemakaman Lady Diana dan Dody hanya mampu menangis.
Menyatakan haru entah kepada siapa: sebab di alam jiwa mereka semua nestapa. Tapi cerita Charles dengan Camilla Parker yang entah menjadi pemicu keretakan
rumah tangganya atau tidak, menyelipkan sebuah pertanyaan besar: mengapa sang pangeran lebih tertarik dengan perempuan tua itu ketimbang Diana yang cantik
dan anggun, Diana? Bahkan ketika Camilla menjadi musuh bersama rakyat Inggris, Charles tetap menikahinya beberapa tahun kemudian? Seperti sebuah kehendak yang
dipaksakan walaupun harus melawan arus. Tidak berartikah kecantikan Diana baginya? Dan apakah pesona perempuan tua yang membuatnya nekat itu?
Charles adalah sebuah cerita tentang kesepian. Punya ibu seorang ratu hampir sama dengan menjadi yatim.
Maka Charles tumbuh dengan sebuah kebutuhan jiwa yang akut: seseorang yang bisa diajak bicara, mau mendengarnya dan mampu memahaminya, seseorang yang bisa membuatnya merasa sebagai orang normal yang bersikap wajar dalam
kehidupannya. Camilla hadir dan bisa memenuhi kebutuhan jiwa itu. Sementara Diana tumbuh sebagai gadis cantik yang terlalu lugu untuk kerumitan-kerumitan besar yang
dihadapi Charles. Ia bagus sebagai icon kerajaan yang cantik. Tapi tidak bagi Charles yang rumit. Jiwa mereka tidak bertemu ketika raga mereka justru seranjang.
Tim kehidupan pada intinya adalah ide tentang pasangan jiwa dalam kategori cinta jiwa. Bukan terutama tentang poligami. Ini ide tentang pertemuan jiwa yang
disebabkan oleh kesamaan, atau kesepadanan, atau keseimbangan, atau kelengkapan. Jiwa-jiwa yang saling bertemu itu bisa dua atau tiga atau empat dan
seterusnya. Sama persis dalam sebuah bentuk tim dalam sebuah organisasi. Tim itu juga bisa besar pada mulanya lalu menciut pada akhirnya. Umar bin Khattab,
misalnya, menceraikan dua istrinya yang sangat cantik, Jamilah dan Qaribah. Tapi bisa bertahan hidup bersama Ummu Kaltsum binti Ali atau cucu Rasulullah saw yang usianya terpaut lebih 40 tahun.
Itu sebabnya cinta jiwa merupakan sumber semua cerita roman percintaan dalam sejarah umat manusia. Baik yang berujung tragis maupun yang berakhir bahagia. Jiwa mempunyai hajatnya sendiri. Maka ia lebih bisa mengenal pasangannya sendiri. Juga bergerak dengan caranya sendiri menuju pasangannya. Di alam jiwa terlalu
banyak kaidah dan kebiasaan alam raga yang tidak berlaku. Itu membuatnya rumit. Tapi agung. Rumit jalan ceritanya. Tapi agung suasananya. Rumit untuk dicerna.
Tapi agung untuk dirasakan. Maka romantika cinta pasangan jiwa selalu begitu: bauran yang kompleks antara kerumitan dan keagungan.
Sumber : Tarbawi, Edisi 140 Thn 8/Ramadhan 1427 H/28
September 2006 hal. 72.
0 komentar:
Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)