“Kalau aku ditakdirkan menjadi daun, maka aku ingin sekali kau menjadi angin yang kencang agar kau bisa membawaku pergi dari pohon.”
“Apa angin tidak berdosa?”
“tapi kupikir pohon masih sangat kuat menggenggamku, dan angin hanya bertiup sepoi-sepoi dan hanya membuatku terlena sesaat.”
“Sampai dimana sih kuatnya angin?”
Sekilas terlihat biasa-biasa saja dengan dialog diatas, tak ada yang istimewa, bahkan sangat biasa kecuali subjeknya yang diganti dengan benda lainnya. Si perempuan menjadi daun, laki-laki kedua menjadi angin dan laki-laki ketiga bertindak sebagai pohon.
Tapi coba ulangi sekali lagi, renungkan dan hayati dialognya. Bukankah ada kedalaman rasa dan keinginan yang kuat dari si daun untuk melepaskan diri dari pohon? Bahkan ia meminta kepada angin agar bertiup lebih kencang dari biasa, agar ia bisa pergi dari kehidupan si pohon. Agar ia bisa membuktikan bahwa ia bisa hidup tanpa pohon, tetapi ia tak mampu melakukannya sendiri tanpa bantuan angin dan tentunya tidak semua angin ia harapkan bisa membawanya pergi dari kehidupan si pohon.
“Ada angin lain yang datang dan akan membawaku pergi, tapi aku berharap bukan dia karenanya aku kembali mencengkeram pinggang pohon dengan kuat. Aku tak ingin lepas dari pohon kalau bukan kau yang menerbangkan ku.”
Sekali lagi, kita disajikan dengan kedalaman rasa yang sungguh luar biasa, bahwa perasaan tak bisa dipaksakan, bahwa cinta bukan barang obralan yang gampang diberikan kepada siapa saja. Siapa pohon? Siapa angin? Dan siapa daun? Biarlah mereka saja yang tahu dan menjalani.
Hanya saja dari kalimat-kalimat diatas ada keinginan yang kuat dari si daun untuk melepaskan diri dari pohon tapi ia terhalang oleh parasaan dan cinta yang kuat kepada pohon. Perasaan itulah yang membuat daun bertahun-tahun hidup bersama pohon karena hanya pohonlah yang selama ini bisa memberikan cinta dan kasih sayang yang dalam baginya. Namun ketika kenyataan berkata lain, ia pun mulai berfikir realistis bahwa tak selamanya ia akan menerima nutrisi dari cinta si pohon. Ia sadar sewaktu-waktu ia harus meninggalkan pohon dan mencari dunia baru yang bisa memberinya kehidupan. Tapi kemana dan siapa yang bisa menjadi mewujudkan harapan daun?
Adalah angin yang telah lama menampakkan dirinya kepada daun, mengajaknya bermain-main hingga akhirnya ia jatuh hati atas kelembutan daun. Ia ingin berusaha menjadi angin yang kencang setiap kali mengobrol dengan daun. Tapi ia kemudian merasa kalah setiap kali daun mengatakan bahwa ia amat sangat mencintai pohon.
“Daun memang tak berharap terbang?” Tanya angin dengan mata berkaca-kaca.
“berharap. Tapi ia tak mampu melakukannya sendiri.”
Daun menaruh rasa kepada angin yang satu ini, beberapa waktu yang lalu ia juga sempat bertengkar dengan pohon gara-gara ketahuan berjalan-jalan dengan angin. Tapi lagi-lagi cinta membuat mereka kembali merekat, kemarahan itu hanya sebentar, tak lebih dari hitungan jam.
Inilah yang sering terjadi, cinta harus berhadapan dengan tembok yang tinggi dan kokoh, berduri dan licin. Kalau bukan karena berbeda agama, maka yang sering menjadi sandungannya adalah adat dan orang tua, factor lainnya adalah status salah satu pasangan yang sudah menikah. Kalau sudah begitu apakah tembok itu tetap dinaiki? Dan hasilnya sudah pasti jatuh terpental dengan kondisi menggenaskan? Bukan hanya tubuh yang sakit tapi juga hati yang berdarah-darah. Sudah siapkan dengan luka dan kecewa yang menganga? Sudah siapkah dengan perasaan yang teriris dan logika yang tercabik-cabik? Jawabannya tentu saja berbeda untuk setiap orang, ada yang memilih mundur, ada yang memilih maju namun tak sedikit yang memilih jalan belakang. Pertanyaannya bagaimana dengan anda?
Jawaban ini bisa dimulai dengan sebuah pertanyaan sepele, pernahkah anda jatuh cinta? Kalau pernah pasti sudah merasakan bagaimana pahit getir dan manis asinnya cinta bukan? Bagaimana perasaan anda ketika ditinggalkan oleh orang yang anda cintai dan bagaimana pula perasaan ketika dengan terpaksa harus meninggalkan orang yang anda cintai ketika berbentur dengan hal-hal seperti diatas tadi? Sakitkah? Senangkah? Mau menerima dengan lapang hatikah? Atau anda tak terima dengan itu semua dan melakukan tindakan nekat lainnya.
Abdurrasyid Ridha dalam bukunya Memasuki Makna Cinta mengatakan bahwa kata cinta berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu citta, yang artinya “yang selalu dipikirkan; senang; kasih.”
Dalam kamus Poerwodarminta disebutkan bahwa:
“cinta adalah selalu teringat dan terpikir dalam hati, lantas berarti; rasa susah hati; rindu; sangat ingin bertemu; sangat suka, sangat sayang; sngat kasih dan sangat tertarik hati.”
Dari arti kata diatas bisa dimengerti mengapa orang yang sedang jatuh cinta kerap kali nyaris kehilangan akal dan bisa bertindak nekat. Karena cinta memang asalnya dari hati dan bermuara dihati, berkisar disitu-situ saja. Energi cinta yang berasal dari hati inilah yang memicu seseorang untuk berfikir logis dengan cinta yang sehat. Melalui pertanyaan-pertanyaan kecil dari hatinya yang kemudian disambungkan dengan akal dan pikirannya. Apakah hidup hanya untuk satu pohon dan tak bisa berpaling ke pohon yang lain? Sedangkan untuk bisa terus bersama dengan pohon adalah sebuah ketidak mungkinan karena berbagai factor. Apakah kita akan menjadi manusia bebal yang melabrak adat dan keyakinan demi cinta?
Keseriusan hati ketika berdialog dengan akal lah yang kemudian melahirkan sikap bijak dari seseorang, bahwa hidup akan terus berjalan dengan atau tanpa orang yang dia cintai. Bahwa bumi tidak akan berhenti berputar ketika ia tidak jatuh cinta. Muncul pertanyaan lainnya sesering apakah anda berdialog dengan hati anda sendiri? Dan seberapa sering anda memberi waktu luang kepada akal dan logika anda untuk berfikir.
Inilah yang sepertinya menjadi perdebatan panjang si daun ketika menjalani hari-harinya bersama pohon. Ia kerap kali tak mampu mengalahkan hati dan perasaannya yang sangat mencintai pohon namun ia terus memaksa berdialog dengan akalnya sendiri. Kenyataan lain yang dihadapi adalah dia dan pohon saling mencintai, inilah yang membuatnya begitu sulit melepaskan diri.
“tidakkah kamu ingin menjadi angin yang kencang itu untukku?” sebuah keputusan telah diambil daun.
“sekuat apa aku harus berhembus?”
“sekuat hati dan akalku untuk tetap meninggalkan pohon.”
Sah-sah saja mencintai, bahkan lebih baik kalau diikuti dengan totalitas dalam segala hal, tapi untuk cinta yang seperti apa? Bukan untuk cinta yang mengenyampingkan akal dan logika melainkan untuk cinta yang melahirkan kehidupan demi kehidupan baru bukan kematian dan kehancuran. sebab dunia kiamat bukan karena cinta. Jadi untuk apa menghancurkan hidup hanya karena cinta?
0 komentar:
Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)