“barangkali dia sedang mandi.” Batinnya. Laki-laki itupun menarik selimut dan kembali tidur, pusingnya masih belum hilang ditambah lagi mereka baru tidur sesaat sebelum azan subuh tadi. Ia benar-benar tak kuasa menahan kantuk, tak peduli kamarnya berantakan, tak peduli Aya ada atau tidak dikamar mandi.
Bau alcohol menyemerbak, mengalahkan aroma pengharum ruangan yang harganya paling mahal sekalipun. Sesaat sebelum tidur Yanis masih sempat memikirkan kegilaan Aya yang sanggup minum dengan kadar alcohol sampai tujuh puluh persen.
Menjelang siang Yanis terbangun dan dia tidak menemukan Aya. Pakaian dalamnya masih tergeletak dengan manis ditempat semula. Kulit-kulit kacang masih berserakan, gelas seloki dan botol minuman saja yang sudah berpindah keatas meja. Yanis bertambah mual saja melihat kamarnya yang berantakan dan kotor.
“Aya memang pemalas.” Rutuknya kesal.
Ini bukanlah kali pertama ia kencan dengan gadis itu, dan bukan kali pertama pula Aya meninggalkan pakaian dalamnya dan kamarnya berantakan dengan bungkus-bungkus makanan, dengan abu-abu rokok. Tapi entah kenapa pula ia tak pernah bisa marah setiap kali ia ingin memarahinya agar tidak mengulangi kebiasaan buruknya itu.
“apa susahnya sih beres-beres.” Lagi-lagi kata-kata itu hanya untuk dirinya sendiri. Tertelan oleh air conditioner yang terpasang didekat jendela kamarnya.
Ia selalu saja tak bisa berkutik setiap kali bertemu dengan Aya, apalagi kalau dia sudah menggelendot manja dipangkuannya, kata-katanya yang lembut selalu saja mampu meleburkan sebesar apapun kemarahan dihatinya. Namun ia sama sekali tak mengerti dengan Aya, entah apa yang membuatnya tidak pernah mau menerimanya lebih dari sekedar teman kencan. Yanis menyukainya, dia pernah beberapa kali mengutarakan niatnya untuk lebih serius. Tapi Aya selalu menolak.
“Ini juga udah lebih dari pacar Yanis.”
“Lebih dari pacar bagaimana?” Yanis tidak mengerti
“bisa jalan bareng, bisa nonton bioskop sama-sama, bisa tidur bareng lagi…bukannya udah lebih dari sekedar pacar? Pacar aja kadang jarang ketemu, boro-boro mo kencan.” Jawab Aya sambil mempermainkan ujung rambutnya.
Percakapan itu sudah terlewatkan sebulan yang lalu, tapi rasanya baru semalam Aya mengulangi kalimat-kalimatnya yang asal itu. Membuat Yanis urung menghubunginya. Iapun meletakkan kembali hand phonenya ke tempat tidur.
“dia sepertinya ngga suka dengan ku, ngapain juga aku kejar-kejar dia.” Suara batinnya berbicara. Tapi…ia kerap kali tak bisa menepis ketika rindu telah menyelimutinya. Pesona Aya memang luar biasa. Dia lain. Dia tak seperti gadis-gadis penjaja cinta lainnya. Yah…Aya memang bukan penjaja cinta, karena Aya hanya mau diajak kencan oleh Yanis saja. Itulah yang tak pernah habis dipikirnya, kalau Aya mau kencan dengannya kenapa dengan laki-laki lain Aya tak pernah mau. Dan kenapa dia tidakmau dijadikan keksih tetapi mau diajak berkencan.
@@@
Seorang gadis menapaki langkah kakinya di trotoar jalan, usianya masih dua puluh satu tahun. Dia tidaklah begitu cantik, warna kulitnya sawo matang, dengan sepasang mata yang tajam dan dilapisi alis tebal dan rapi. Tingginya hanya 156 cm dengan berat badan 53 kg. secara fisik Aya memang biasa-biasa saja namun entah apa yang membuat orang selalu merasa nyaman bila berada didekatnya, tak bosan-bosan menatap wajahnya yang manis dan mendengarkan celoteh-celotehnya yang manja dan menggairahkan. Aya memang pintar walaupun usianya terbilang muda. Ia pintar sekali membuat laki-laki mabuk kepAyang dengan suaranya yang mesra dan merdu.
Siapapun yang melihatnya pasti tak menyangka, Aya yang lembut, Aya yang sopan dan terlihat lugu ternyata seorang peminum berat, perokok berat dan suka melakukan melakukan experiment sex. Makanya Yanis kaget bukan kepalang ketika dia tahu bahwa Aya yang dikenalnya tak seperti yang dilihatnya. Selama dua tahun pertemanan mereka baru dua bulan terakhir inilah mereka lebih intim dan berani melakukan hubungan diluar nikah.
Sepintar itukah Aya menjaga sikap didepannya? Tutur katanya tak pernah meleset, bahkan hampir tidak pernah ngelantur. Ia juga tak pernah bercerita soal kebiasaan minum dan merokokonya, masih beruntung Aya tak nge drug. Sampai suatu malam, mungkin ketika itu Aya tak menduga kalau Yanis akan datang kerumah kontrakannya.
Yanis mendapati Aya tengah mabuk berat, ia menceracau tak menentu, tubuhnya polos, tidak ada satupun yang melekat ditubuhnya. Bukan main kagetnya Aya waktu itu.
“Yanis.” Aya kaget.
“Aya…kamu mabuk?” Tanya Yanis tak percAya melihat sebotol absolute vodka disampingnya. Ia menggelesor dengan badan menyandar ke dinding.
Tak bisa dipungkiri, Aya kelihatan sangat sexy ketika itu, dan entah bagaimana caranya semua telah terjadi begitu saja. Aya yang tertidur pulas disampiang Yanis sama sekali tak tahu kecamuk dihati Yanis. Menyesal, merasa bersalah karena telah merenggut kesucian gadis itu.
“udahlah Yanis…ngga usah disesali, bukan salah mu kok. Aku juga menginginkannya. Tenang aja…aku ngga marah dan ngga nuntut kamu kok.” Ucapnya santai ketika Yanis bersungguh-sungguh memohon maaf. Waktu itu Yanis masih belum tahu apa-apa soal Aya. Tapi tidak setelah itu. Dia yang terkaget-kaget.
Aya sungguh seperti kunang-kunang, indah, cantik dan mempesona. Tapi haruslah menunggu malam untuk bisa menikmati keindahannya, untuk bisa melihat warnanya. Untuk bisa mendengar tawanya dan merasakan kemesraannya. Karena kunang-kunang tidaklah muncul disiang hari.
Sebaliknya ketika siang dia menjelma menjadi kupu-kupu cantik yang tak kalah anggunnya, ia akan hinggap dari satu bunga ke bunga lainnya untuk mengumpulkan sarinya. Agar ia bisa menjelma menjadi kunang-kunang.
Aya menarik roknya dengan tangan sebelah kiri, ia akan menyeberang jalan, rok cyrcle nya yang panjang bisa membuatnya jatuh kalau tidak berhati-hati. Penampilannya sangat feminim sekali, baju putih motif kembang-kembang berwarna merah dipadu dengan rok putih polos membuatnya tampak lebih anggun, rambutnya dibiarkan tergerai dengan sedikit jepitan disebelah kirinya. Tapi siapa sangka kalau didalam tasnya terselip sebotol minuman kecil yang harganya sampai puluhan ribu rupiah?
Aya terus melangkah, berjalan menyusuri trotoar jalan lalu berbelok masuk kesebuah hotel besar. Disana Yanis sudah menunggu dikamar 107.
“Ngapain sih pake kehotel segala.” Sungut Aya
“cari suasana beda aja.”
Padahal yang benar adalah Yanis malas membersihkan sampah-sampah dan puntung rokok yang ditinggalkan Aya setiap mereka selesai kencan. Dan yang pasti disini Aya tidak akan meninggalkan pakaian dalam seenaknya.
“capek tahu,”
“maaf sayang, aku ngga bisa jemput, tadi dari kantor langsung kemari.”
“Malam ini kita bermalam disini kan?” Tanya Aya sambil meletakkan tasnya
Yanis mengangguk.
“besok aku libur.”
Yanis bangun ketika matahari sudah setinggi dirinya. Ia melihat kesamping, Aya sudah tak ada. Ia melongok kelantai, laki-laki itu mendesah. Hatinya mengumpat.
“dasar.”
Dengan malas Yanis memunguti pakaian dalam Aya.
0 komentar:
Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)