Hujan turun sangat lebat, suaranya mengalahkan suara dari mesin kukur kelapa yang sedang dipegang oleh Asnawi, orang-orang terpaksa harus berteriak untuk tetap bisa berkomunikasi. Kasian yang tua-tua seperti Mak Cut dan Po Rabiah. Urat-urat lehernya sampai kelihatan kalau sudah berbicara.
“Asnawi…!!! Asnawi…!!!” Teriak Mak Cut. Tapi yang dipanggil masih asik dengan kelapa ditangannya. Mulutnya bergumam-gumam melantunkan lagu Saleum-nya Bidjeh yang sedang naik daun. Kayak ulat saja.
“Hai…Asnawi!!!” Kali ini Mak Cut sudah ada dibelakang Asnawi, menyenggol bahunya dengan sendok kayu yang dipegagnya.
“Ada apa Mak cut?”
“Angkatkan nangka itu sebentar kemari.” Perintah Mak Cut, ia menunjukkan nangka muda yang masih didalam goni.
“Iya.”
Asnawi menghentikan sejenak perkerjaannya dan mengangkat nangka dalam goni tadi, ia letakkan didekat Mak Cut untuk dikupas.
“Neu cang bek rayeuk-rayeuk that.” Kata Asnawi mencandai Mak Cut.
Sedangkan Po Rabiah terus merajang cabe untuk tauco, ada yang menggiling bumbu, ada yang memeras santan. Pokonya dibawah rumah penuh dengan tetangga-tetangga. Seekor sapi sudah disembelih sejam yang lalu untuk kenduri tujuhan Apacut Najar nanti malam. Tamu-tamu yang diundang bukan cuma orang kampung saja tapi juga dari kampung-kampung sebelah, dulunya almarhum termasuk orang yang cukup dikenal dimasyarakat, tak heran kalau banyak orang yang datang ketika ia meninggal. Keluarganya juga banyak, kalau cuma memotong kambing takutnya tidak cukup.
“Daripada nanti ada yang tidak kebagian, jadi bahan omongan dibelakang hari, bagus lebih.” Begitu kata Cut Teh, istri Apacut Najar ketika rembukan keluarga.
Hujan semakin deras, sesekali suara petir membahana, Po Rabiah yang latah tak henti-hentinya berteriak, membuatnya jadi bulan-bulanan yang lain.
“Bek ka peukhem long hai…” Po Rabiah cemberut
“Iidroe neuh lageenyan pih ka seutreng…” Asnawi tak mau kalah. Pemuda itu memang senang sekali menggoda Po Rabiah, marahnya cuma sebentar nanti juga baik lagi.
Sementara diatas rumah sana, para keluarga besar sedang riuh berdebat, suara hujan dan petir sama sekali tidak menjadi halangan bagi mereka. Justru seperti menjadi ajang untuk saling memperlihatkan siapa yang suaranya lebih keras dan melengking. Terutama Salim, dialah yang dari tadi paling besar suaranya. Berteriak-teriak seperti orang kesurupan. Mulutnya memaki-maki tidak jelas, entah siapa yang dia maki.
Cut Teh menangis disudut ruangan, perempuan yang sudah berumur delapan puluh tahun itu tampak tidak kuasa menghadapi situasi seperti ini. Ia tak bisa berbuat banyak, kata-katanya tidak ada yang mendengar. Begitu juga yang lainnya, Yusuf, Afwadi, mereka tak berani melawan salim yang mencak-mencak tidak karuan.
Mendiang Apacut Najar adalah orang kaya, dia punya banyak tanah dimana-mana, tapi tanah itu sedikit-sedikit ia jual dan hanya tinggal lampoh tanjong saja yang tersisa, yang ada rumah aceh ini diatasnya dan itu sudah ia hibahkan kepada Syifa, cucunya yang ia asuh sedari kecil.
Apacut Najar menikahi janda abangnya, pulang balee istilah dalam bahasa acehnya. Umurnya sudah tua ketika itu, makanya dia tidak punya anak lagi, tapi kayaknya yang tidak bisa punya anak adalah Cut Teh, karena dengan almarhum suaminya dia sudah punya selusin anak, tapi yang selamat cuma dua, Salawati dengan Salamah, Salawati adalah ibu dari syifa.
Meyadari itulah Apacut Najar menjual sedikit demi sedikit tanahnya semasa hidup, rata-rata ia jual kepada cucu-cucunya dan familinya. Supaya tidak jatuh ketangan orang lain. Ia ingin mengantisipasi agar tidak terjadi keributan dikemudian hari, dan ternyata inilah yang terjadi.
“Ini yang paling ditakuti Nek Gam semasa hidupnya dulu. Berulang-ulang ia ingatkan agar jangan ribut soal tanah ini. Tapi ini juga yang terjadi.” Lirih suara Cut Teh kalah dengan suara hujan.
“Lampoh tanjong ini diberikan kepada Syifa tanpa persetujuan saya sebagai wali.” Kata dahlan melengking.
Dari dulu, sejak Apacut Najar masih ada Dahlan lah yang selalu sewot ketika Apacut mau menjual tanah-tanahnya, tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Apacut Najar juga termasuk orang yang keras.
“Tanah itu diberikan ke Syifa jauh-jauh hari sebelum Nek Gam meninggal, jadi kalau kamu mau menggugat udah ngga ada gunanya lagi. Kenapa dulu waktu Nek Gam masih ada ngga berkutik. Sekarang kamu mau merampas tanah yang udah jadi milik Syifa?” suara Cut Teh bergetar.
“Itu karena Apacut Najar bergerak sendiri, tidak melibatkan saya.”
“Tapi kamu juga yang menyetujuinya, kalau ngga kamu teken mana bisa.”
Kali ini Dahlan tidak bisa bekutik, apa yang dikatakan Cut Teh memang benar, tapi dulu ketika ia menandatangani surat hibah itu karena terpaksa, ia tak punya kekuatan untuk melawan Apacut Najar, dengan hati berat ia terpaksa menandatangani surat tanah itu. Tanah terakhir yang dimiliki oleh Apacut Najar, dan itu berarti dirinya sebagai wali tidak akan mendapatkan apa-apalagi dari harta Apacut Najar. Dan itu berarti incarannya selama ini akan sia-sia belaka. Tapi begitulah, ia harus belajar menerima kenyataan.
@@@
Aroma daging menyemerbak dari luar, masuk dari celah-celah dinding, merangsang siapa saja yang menciumnya untuk segera mencicipinya. Dagingnya direndang dan dimasak putih, sedangkan tulang-tulangnya dimasak dengan nangka muda. Mengundang selera. Belum lagi masakan lainnya, mie hun, kuah asam keueng ikan tongkol dan tumis kacang panjang.
Suasana dibawah dengan diatas benar-benar bertolak belakang, dibawah penuh dengan keceriaan dan canda tawa, para ibu-ibu yang sedang memasak saling bergurau dan meledek. Ada juga yang tengah mencicipi makanan, ada yang menyusui bayinya. Macam-macam. Penuh keakraban. Sementara diatas sana wajah-wajah tertunduk sedih, mereka seperti kehilangan kata-kata untuk mengekspresikan dirinya. Sehingga yang tercipta adalah kebisuan, hening. Hanya suara hujan saja yang terdengar berirama diatas sana.
“Harta orang semua punya orang kita yang ribut, kalau soal harta baru sayalah wali, kalau ngga ada harta entah kemana wali.” Celetuk Rusli tiba-tiba memecah kebekuan.
Dahlan yang merasa disindir tidak terima dikatakan seperti itu, tanpa berfikir panjang serta merta ia bangun dan menarik kerah baju Rusli. Matanya mendelik. Mukanya memerah karena marah, gigi-giginya bergemeretak menahan geram. Ia merasa dilecehkan didepan semua orang.
“Iini urusanku, jangan ikut campur kamu.” Ancamnya
“Urusan ku juga, karena Syifa adik ku.” Jawab Rusli tak mau kalah.
“Nggak ada adik adik disini. Semua sama saja.” Dahlan mulai kalap
“Apanya yang sama saja, sama rakusnya kayak kamu?”
“kurang ajar!”
“kamu yang kurang ajar”
“ka sep hai…male teuh I deungoe le gop di miyup.” Suara Salawati berusaha melerai.
Melihat situasi yang mulai memanas itu Adnan suami Syifa berinisiatif untuk melerai keduanya, ia bangun dan memegang Rusli, sedang Dahlan ditarik oleh Burhan. Namun Dahlan bersikeras agar ia bisa melepaskan diri. Tangannya dihentakkan kuat-kuat agar ia terlepas dari cekalan Burhan. Ia keluar. Orang-orang merasa lega karena situasi menegangkan itu akan berkahir.
Tapi kelegaan itu tidak berlangsung lama karena beberapa menit kemudian dahlan masuk dengan parang ditangannyaCut Teh dan yang lainnya berteriak-teriak histeris. Sedang Dahlan sudah seperti orang kesurupan. Dengan sekali sabetan Rusli luruh bersimbah darah, perutnya terkoyak. Darah mengalir dilantai. Salawati berteriak histeris dan memeluk Rusli yang terkulai tidak berdaya. Darah mengalir dari ujung parang yang dipegang dahlan, laki-laki itu tampaknya sudah puas. Ia berdiri garang.
“Dia pikir saya tidak berani!” Ucapnya penuh keangkuhan.
Bau aroma daging kini bercampur dengan bau amis darah, rasa lapar yang tadi sempat menyergap kini berganti dengan mual. Asnawi yang tengah mengaduk-ngaduk sayur nangka memperhatikan cairan kental berwarna merah yang menetes tak jauh dari tempatnya. Ia perhatikan dengan seksama. Darah!
“Mak Cut…lihat ini, darah apa?” tanyanya panik
“Hom hai….ngga tahu saya.”
“Gincu kadang.” Po rabiah menyela sambil terus merobek daun.
“Gincu apa kayak gini. Coba Po lihat dulu.” Kata asnawi
Mau tak mau Po Rabiah bangkit dari duduknya, orang-orang mulai kasak-kusuk, mereka-reka apa yang tengah terjadi diatas sana.
“Saya mau keatas dulu. Mau melihat apa yang sedang terjadi disana.”
“Lihatlah”
Asnawi kaget sekali melihat suasana diatas sana. Tapi ia tak bisa berbuat apa-apa karena ia bukanlah anggota kelurga itu. Syifa memeluk abangnya kuat-kuat. Ia jadi merasa bersalah dan merasa punca dari semua pertumpahan ini adalah dirinya. Seandainya saja ia tidak ngomong soal tanah itu tadi mungkin semua ini tidak akan terjadi.
Percekcokan itu sendiri berawal ketika ia menawarkan kepada kakaknya Burdah untuk mendirikan rumah diatas lampoh tanjong, karena Burdah tidak punya tanah. Dahlan merasa tidak setuju karena tanah itu diberikan oleh apacut Najar kepada Syifa, kenapa dia harus membagi-bagi lagi tanah itu kepada saudaranya yang lain.
Tapi siapa sangka percekcokan dari hal sepele itu berujung pertumpahan darah, padahal apa yang diributkan sama sekali tidak jelas. Tanah itu tetap menjadi milik Syifa dan Dahlan tetap tidak pernah mendapatkan apa-apa. Tapi begitulah yang terjadi.
0 komentar:
Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)