Bagi Po Meurah sendiri walaupun selama ini dia tinggal persis di kaki bukit Reubek itu belum pernah sekalipun ia mendengar lolongan serigala atau bertemu dengan harimau. Setiap hari ia pergi ke bukit itu untuk mencari kayu bakar, karena dari sanalah sumber penghidupannya. Tapi soal telapak kaki yang besar itupun belum pernah ia melihatnya. Po Meurah tak mau ambil pusing dengan itu, yang penting dia bisa terus mencari kayu bakar, ia justu bersyukur tidak pernah melihat hal-hal aneh seperti yang kerap diomongkan warga. Sehingga ia bisa terus menyambung hidupnya.
Janda yang malang, ditinggal mati oleh suami tercinta sejak si tunggal masih dalam kandungan. Ia melahirkan tanpa ditemani Hanafi suaminya, merawat dan membesarkan buah hatinya seorang diri. Himpitan hidup yang berat membuatnya hanya mampu menyekolahkan Nyak Nong tamat SLTP. Ia berfikir setidaknya Nyak Nong sudah bisa menulis dan membaca, jangan sampailah dibodoh-bodohi orang, begitulah pemikiran Po Meurah yang sekolah dasar saja tidak tamat.
“Mak hari ini ngga usah nyari kayu. Katanya di bukit Reubek ada orang meubajee kureng.” Ucap Nyak Nong sambil menyuapkan nasi kemulutnya.
Ikan asin reugak bakar dengan lalapan sambal terasi dan daun singkong benar-benar mengundang selera. Daun singkong itu dipetik Nyak Nong dari pagar-pagar disekitar halaman rumahnya.
“Mana ada, ngga ada yang berani kesitu. Tempat itu angker. Hana iteujeut awaknyan.” Po Meurah mencomot sambal terasi, ia tampak kepedasan, bibirnya merah, airmatanya sampai menitik saking pedasnya.
“Mereka punya beude Mak. Nggak takut apa-apa.” Nyak Nong serius.
Po Meurah memandangi wajah anak perempuannya. Ia sungguh sangat mirip dengan Hanafi, suaminya yang meninggal puluhan tahun yang lalu. Hanafi yang telah membawanya dari Pidie ke timur Aceh, Po Meurah tak punya siapa-siapa dinegeri ini selain Nyak Nong. Tanpa saudara, tanpa suami pula. Setahunya Hanafi juga seorang pendatang ke desa ini. Tapi entah kenapa, ia menjadi berat meninggalkan sepetak tanah dan sebuah gubuk peninggalan mendiang suaminya.
“Mak hana treb, Cuma mau mengambil kayu yang udah Mak potong-potong kemarin, kalau ngga diambil sayang nanti bisa basah lagi kalau kena hujan.”
Nyak Nong membenarkan omongan ibunya, tapi dia khawatir juga dengan keselamatan Po Meurah. Selentingan kabar ia dengan orang-orang meubajee kureng itu kejam-kejam, tak peduli laki-laki atau perempuan kalau ngga pas dimata mereka tinggal tembak saja.
“Orang meubajee kureng yang mana?” Po Meurah meyakinkan pada Nyak Nong.
Kalau Cuma kabar tentang orang berbaju loreng itu sangat umum, dua-duanya sama-sama berbaju loreng. Dua-duanya juga punya senjata, dua-duanya juga bisa membunuh dan berlaku kejam.
“Hom, saya juga ngga tahu Mak.”
“Radio meu igoe.” Desah Po Meurah.
Ihan
Tuk tuk tuk…suara parang Po Meurah yang sedang memotong kayu Tampu. Peluhnya menetes dari dahinya yang sudah berkerut. Napasnya tersengal-sengal, ia berhenti sebentar lalu memotong lagi. Ah, tiba-tiba perasaannya tidak enak, hatinya galau, jantungnya berdegub keras. Dari arah belakang ia mendengar suara kresek-kresek. Apakah itu pertanda binatang buas itu sudah mulai menampaki dirinya? Atau orang-orang meubajee kureng seperti yang terdengar desas desusnya selama ini. Atau Cuma halusinasinya saja karena terus menerus mengingat obrolannya dengan Nyak Nong tadi siang.
“Lahaula wa laquata illabillah.” Doanya dalam hati. Tidak ada daya dan upaya selain Allah saja, bisik hatinya. Kalau benar itu binatang buas pasti tidak akan memangsanya dengan ijin Nya pula. Po Meurah menguatkan hatinya. Ia tak boleh takut. Lama-lama suara kresek-kresek itu makin lama makin keras. Untuk menolehpun Po Meurah tidak berani, keberaniannya tiba-tiba lenyap. Ia mematung dengan posisi berjongkok, lutut dan kakinya terasa lemas dan tak bertenaga.
Bagaimana kalau ketika ia berbalik sedang binatang itu sudah siap memangsanya dari belakang. Nasibnya tentu akan sama dengan Hanafi, suaminya yang berprofesi sebagai pencari rotan. Po Meurah semakin takut membayangkannya, kalau benar itu terjadi bagaimana nasib Nyak Nong anak semata wayangnya? Pengobat rindunya kepada Hanafi.
Suara kresek-kresek itu makin lama-makin jelas, bercampur dengan suara manusia. Membicarakan sesuatu yang tidak dimengerti oleh Po Meurah. Po Meurah berbalik dan alangkah kagetnya dia ketika melihat orang-orang meubajee kureng itu menuju kearahnya. Menenteng senjata dan ransel-ransel besar. Po Meurah tidak tahu apa itu orang-orang gerilyawan atau tentara.
“Ada orang rupanya.” Ujar salah satu dari mereka.
“Dia sedang cari kayu bakar. Nggak jadi masalah buat kita.” Jawab yang lainnya
“Tapi tetap harus waspada, sekarang lain, orang yang kita lihat bodoh, bloon, itu yang biasanya jadi cuak.”
“Dia perempuan baik-baik.” Kata komandan mereka
Menjelang sore Po Meurah pulang dengan seikat kayu dikepalanya. Pikirannya tidak enak tapi ia bersyukur masih diberi ijin kembali lagi ke bukit ini besok. Mereka tidak melarangnya mencari kayu selama ia bisa merahasiakan keberadaan mereka di bukit ini. Po Meurah sama sekali tak menyadari ada sepasang mata yang memperhatikannya dari kejauhan, dari ujung kaki sampai ke ujung kerudungnya. Tatapan penuh kerinduan dan ketakjuban karena tak menyangka bisa melihat perempuan itu dihutan ini.
“Mak nggak usah cari kayu dululah. Kata orang kampung orang-orang meubajee kureng itu masih ada disana.” Nyak Nong cemas.
“Hana pue pue…” Po Meurah berbohong. “Mak nggak pernah bertemu mereka.” Padahal saban hari dia bertemu dengan mereka, kadang mengobrol, kadang mereka membantu mengikatkan kayu-kayunya.
Mereka ada lima belas orang, berasal dari dataran tinggi Gayo, Po Meurah tak bertanya soal apa kepentingan mereka dan dia tidak mau tahu, kalaupun ia tahu sedikit-sedikit mereka sendirilah yang menceritakan. Hanya satu yang tidak dikenal Po Meurah dari keempat belas orang itu.
“Dia komandan kami. Namanya Abu Hanaf.” Jelas anak muda yang mangaku namanya Landok kepada Po Meurah. Ia sama sekali belum pernah melihat seperti apa tampangnya, dia selalu menyendiri dan mengasing dari yang lainnya. Wajar saja pikir Po Meurah dia seorang komandan tentu sah sah saja kalau dia jarang berbaur dengan anak buahnya. Po Meurah tak ambil pusing tidak juga menaruh curiga. Po Meurah tak tahu kalau dari kejauhan sana orang yang bernama Abu Hanaf itu memandangi wajahnya lekat-lekat dari teropong yang menggantung dilehernya.
Ihan
Po Meurah menajamkan telinganya, memastikan bahwa nama yang didengarnya adalah benar namanya. Po Meurah tak bergeming dari tidurnya, takut, cemas, ingatannya entah berserak kemana-mana. Jangan-jangan mereka penculik yang mau menculik dirinya karena ketahuan bertemu dengan orang-orang meubajee kureng.
“Muerah…Meurah…buka pintu.” Po Meurah tetap tak bergeming.
“Pocut Meurah Intan…”
Po Meurah terlonjak, darahnya berdesir. Tubuhnya bergeletar. Selama ini tak ada yang memanggilnya selengkap itu. Orang-orang Cuma mengenalnya Po Meurah. Tapi panggilan itu…
Po Meurah menyalakan lampu teplok lalu membukakan pintu belakang.
“Bismillah…”
Belum sempat Po Meurah bertanya siapa sesosok laki-laki berbadan tegap dan besar sudah menghambur masuk kedalam. Duduk dikursi bambu tua yang suaranya berdecit-decit. Po Meurah ketakutan, jantungnya berdegub kencang. Apalagi dia melihat senjata yang menggantung dilengan lelaki itu.
“Ee…” hanya itu yang kelaur dari mulut Po Meurah. Ia menjadi seperti bisu, lidahnya nyaris terkunci. Po Meurah ketakutan. Belum lagi rasa takut itu hilang tiba-tiba jantungnya harus berdetak seratus kali lipat lebih cepat dari biasanya. Po Meurah harus menahan tubuhnya agar tidak terjerembab ke dinding, ia mau berteriak tapi kalah cepat dengan tangan si lelaki yang membekap mulutnya.
“Jangan berteriak.” Desisnya tepat ditelinga Po Meurah. Nafasnya terasa jelas, hangat. Po Meurah diam tak berkutik dalam pelukan laki-laki itu.
“Intan, ini aku, Hanafi suami mu.” Suara itu lagi-lagi membuat ia serasa hampir mati. Po Meurah menggeleng.
“Aku Hanafi, lihatlah ini.” Hanafi memperlihatkan bekas sabetan parang ketika ia mencari rotan dulu.
“Tapi…”
“Ceritanya panjang Intan.” Hanafi yang juga Abu Hanaf mendudukan Po Meurah ke bangku bambu.
Tak ada yang bercerita, tak ada yang bersuara, keduanya diam dalam keremangan lampu teplok. Sesekali isakan Po Meurah terdengar menyayat hati. Tubuhnya berguncang. Bagaimana mungkin semua ini bisa terjadi. Sedang mimpikah dia? Suaminya yang sudah tujuh belas tahun meninggal kini tiba-tiba muncul didepannya. Hadir sebagai Abu Hanaf pemimpin tertinggi orang-orang gerakan di tanah Gayo.
Tahulah ia kini bahwa jenazah yang tak bisa dikenali jasadnya belasan tahun yang lalu bukanlah suaminya. Tahulah ia sekarang gundukan tanan dibelakang rumah itu bukan milik suaminya. Tapi milik siapa? Po Meurah tak pernah tahu.
Po Meurah tak bisa menahan sakit hatinya, kecewa, marah, ada juga rasa senang dan bahagia. Dan entah apalagi. Hanafi telah membohonginya, telah mempermainkan hidupnya, membuatnya sengsara, bukan saja dia tapi juga Nyak Nong, buah cinta mereka. Yang saban hari menangisi kuburan ayahnya. Karena betapa rindunya ia kepada laki-laki yang telah menjadikannya ada.
“Kau sungguh laki-laki jahat yang tidak bertanggung jawab Hanafi.” Suara Po Meurah dingin, sedingin malam yang beku diakhir desember ditahun itu.
“Maafkan aku Intan.” Hanafi berlutut dikaki Po Meurah. Airmatanya menderas.
Malam semakin beku dan tua, Po Meurah tetap tak bergeming meskipun tubuhnya terguncang-guncang oleh Hanafi. Ia terlanjur marah, terlanjur sakit hati atas perlakuan laki-laki itu. Ia terlanjur menderita maka biarlah terus menderita dan menjanda seumurnya. Apalagi dia tahu kalau Hanafi sudah punya anak dari perempuan lain ditanah Gayo sana.
Dan sekarang dia pulang minta maaf, alangkah mudahnya. Hanya karena dendam, hanya karena amarah, dirinya dan anaknya menjadi tumbal. Hidupnya terkatung-katung dirantau orang tanpa sanak saudara. Po Meurah menangis.
“Pergilah Hanafi…sebelum Nyak Nong bangun.!”
0 komentar:
Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)