Sore yang indah menjadi lebih indah, terasa lebih nikmat dan menyenangkan, nikmatnya bukan karena banyaknya snack yang disediakan oleh panitia ataupun teh manis yang menjadi pelengkap sajian kecil itu. Tetapi karena diskusi hangat yang membahas tentang buku anak “Meunasah di Gampong Kamoe” yang ditulis oleh sastrawan Aceh, Sulaiman Tripa.
Kenikmatan itu justru menjadi lebih nikmat lagi saat “Meunasah di Gampong Kamoe” dibedah oleh seorang redaktur seni Koran Tempo yang juga seorang sastrawan Aceh yang saat ini menetap di ibu kota, siapalagi kalau bukan Mustafa Ismail yang tulisannya banyak kita jumpai dimana-mana, terutama yang menyangkut dengan sastra.
Selain Mustafa Ismail ada beberapa orang lagi yang namanya cukup popular dimasyarakat, yah…sebut saja seperti LK. Ara, penulis buku anak sekaligus pelopor tari Didong yang berasal dari Aceh Tengah, ada lagi Al Chaidar penulis buku Aceh Bersimbah darah yang berasal dari Lhokseumawe, juga sederet nama seperti D. Kemalawati, Din saja, Murizal Hamzah, Fardelyn Hacky Irawani, Alkaf dan Sulaiman Tripa selaku penulis yang sepertinya sangat ‘enjoy’ menikmati setiap kritikan dan masukan yang diberikan oleh para ‘eksekutor’ buku.
Membaca judulnya saja jelas tergambar pesan religi yang begitu kuat dari sang penulis untuk kembali mengajak para generasi muda Aceh agar back to meunasah, bukan apa-apa, sekedar menebak, barangkali inilah kegelisahan si penulis terhadap anak-anak muda Aceh yang kian hari kian jauh dari tata kehidupan islami yang bermuara dari meunasah atau madrasah.
Walau baru membaca sekilas, sepertinya buku tersebut enak dan ringan dengan
Hal unik dan menarik lainnya dari buku ini adalah, cirri khas ke-Acehan yang sangat ditonjolkan oleh penulisnya. Mustafa Ismail sendiri mengakui, bahwa ada kosa kata-kosa kata yang telah dilupakan oleh banyak orang kembali ‘diingatkan’ oleh Sulaiman Tripa. Seperti halnya kata keujreun, meutiree dan lainnya.
Sebagai penulis yang telah terbiasa dengan buku-buku berat, karyanya yang satu ini saya kira patut diberi acungan jempol, karena, meski kita pernah menjadi anak-anak, tetapi membuat cerita anak itu tidaklah mudah, sebagai orang dewasa yang berusaha menyelami dunia anak-anak sangatlah sulit, jadi wajar saja jika ungkapan seperti galian C, atau kata dominan ikut terbawa dalam cerita.
Tidak ada gading yang tidak retak, buku sesempurna itu tetap saja ada celah untuk menjadi tidak sempurna, kecil sekali, seperti misalnya bahasa daerah yang tidak dicetak miring, atau tidak adanya foot notes atau catatan kaki sehingga ini mungkin agak sedikit menyulitkan bagi pembaca yang tidak mengerti bahasa Aceh. Tapi itu tentu saja bisa direvisi kembali.
Akan lebih sempurna lagi jika buku ini ada disetiap sekolah-sekolah dasar, karena selama ini buku anak-anak banyak yang ditulis oleh penulis dari luar Aceh, sehingga ketika dibaca oleh anak-anak Aceh secara tidak langsung akan ikut mempengaruhi pola pikir mereka juga bisa mengakibatkan lunturnya budaya local. Terus terang, saya iri dengan Sulaiman Tripa, produktif sekali. Salut Bang!!!
0 komentar:
Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)