ini hanya catatan kecil dipenghujung malam, kumpulan-kumpulan waktu yang sempat tergraffir pada dinding tak utuh, atau juga pada seberapa banyak lembaran kertas yang berserakan. semuanya mengumpul, membentuk gumpalan yang oleh pemiliknya tak perlu diberi nama serupa perselingkuhan dengan dirinya sendiri. seperti asap-asap rokok yang menggumpal dimulut lalu berserakan diudara. entah bagaimana menyatukannya kembali agar utuh. atau paling tidak jangan terlalu cepat hilang, sebab yang sedikit lagi itu biasanya lebih berkesan dan tersirat, sebelum kata terkahir terkatakan, barangkali disanalah nikmat merindui itu ada.
semuanya barangkali hanya duplikat emosi sesaat, dan esok, esoknya, dan esoknya lagi tergantung bagaimana kata hari ini, tergantung pertanyaan hari ini, tergantung jawaban hari ini. meyiksa diri bisa diterjemahkan dalam dua rasa, nikmat dan pedih. tapai apa yang terjadi kalau nikmat itu bersanding dengan pedih? barangkali akan semakin banyak puisi hanyut dan surat tak bertuan yang dilemparkan kepada seluruh penjuru mata angin. atau dititipkan pada musafir, atau juga menjadi permainan anak-anak yang bertelanjang dada.
tapi, terkadang begini, kita suka menunda sesuatu. hingga akhirnya keinginan itu terbang bersama angin, melebur besama awan, megnalir bersama air sungai yang dingin tempat dimana seseorang tadi menemukan surat ini tadi. lalu, apakah setelah yyag tersirat itu mnjadi tersurat semuanya menjadi nyata? belum tentu, rindu memang telah terkatakan, sebab rindu adalah milik jiwa. rindu kepada Tuhan, rindu kepada Rasul, rindu kepada surga, rindu kepada kekasih dan yang ingin dikasihi.
sedang aku, pemiliksurat tidak bertuan itu, ah, seseorang yang menemukan surat ini tidak perlu tahu siapa pemiliknya. aku, terbiasa dengan semua itu, menyuratkan apa yang tersirat dijiwa ku. karena apa yang kupunya hari ini belum tentu besok bisa ku miliki, rindu yang bisa terkatakan hari ini belum tntu besok akan terulang, aku terbiasa menterjemahkan perasaan ku menjadi huruf-huruf balok lalu menjadikannya puisi dan kuberikan pada yan merindukan puisi itu. aku terbiasa mengatakan, bahwa sebenarnya ingin sekali menjadikan dia lebih berarti dari yang sebelumnya. berarti bukan berarti harus dikerangkeng dalam jiwa yang sempit, bukan juga harus diendapkan dalam hati yang kadang lebih sering membuat sipemiliknya merasa kesakitan, seperti sakitnya burung yang dijadikan pengantar surat, padhal ia sangat ingin surat itu ditujukan kepadanya. aku tidak ingin begitu, karenanya aku tak perlu merasa berkecil hati ketika bisa bilang rindu, sebaliknya aku merasa bebas, bebas menterjemahkan rasa dan hati ku.
sebentar, sepertinya seseorang yang menemukan surat ini sudah begitu lama berada ditepi ini, aku hanya khawatir kau kan tertular aku, menuliskansurat tidk bertuan lalu melemparknnya ke sungai yang dingin dan beku.
dan kali ini aku seprtinya benar-benar rindu pada seseorang yang ku panggil adik!
suratnya bagus dan sangat relevan namun saya memang tidak terlalu jurnalistis dalam menikmatinya...
BalasHapusyahhh...surat yang dibuat sangat apa adanya...dan memang tidak memperhatikan unsur-unsur jurnalistisnya ...
BalasHapus