Suatu malam di kafe Kita, aku sedang menikmati secangkir espresso dan sepiring pisang goreng keju yang sudah disiapkan oleh salah satu pelayannya. Kali ini aku duduk dimeja yang bersebelahan dengan kolam, tetapi masih diruangan belakang. Malam ini suasana kafe sangat ramai karena kebetulan malam minggu. Semua pengunjung yang hadir tampak berpasangan, hanya aku saja barangkali yang mau nongkrong disini sendirian. Sudah itu berlama-lama pula. Aku tersenyum sendiri, mentertawakan ketak pedulianku atas apa yang sedang terjadi pada diri ku.
Dari kejauhan aku melihat seorang laki-laki paruh baya masuk, disampingnya seorang perempuan muda mengikuti langkahnya. Perempuan itu sepertinya tak jauh beda usia dengan ku. Hati ku serasa mendidih menyaksikan itu, sebab aku sangat mengenali laki-laki itu.
Ditengah hiruk pikuk keramaian dan suara hingar binger musik aku melangkah menuju ke meja tempat laki-laki dan perempuan tadi duduk. Firman, laki-laki itu agak terkejut melihatku muncul begitu saja didepannya. Didepan perempuan itu aku tetap memasang senyum, sekalipun dengan senyum yang masam dan hambar.
“Sebentar Al, aku mau ngomong dengan Jingga dulu, dia ini teman kerja ku.” Kata Firman berpamitan pada gadis itu. Perempuan itu mengangguk, hal yang sama ia lakukan pada ku.
Setelah ku paksa akhirnya Firman mengakui kalau perempuan itu adalah kekasihnya. Namanya Aliya. Aku agak marah ketika dengan santai Firman menjawab bahwa ia mencintai perempuan itu dan perempuan itu juga mencintainya.
“Abang ini sudah gila, abang sudah punya istri dan anak. Mengapa harus main belakang seperti itu?” kata ku berang
Aku memang sudah menganggap Firman seperti abang ku sendiri. Karenanya aku merasa berhak menasehatinya untuk hal ini. Karena aku juga mengenali istri dan anak-anaknya.
“Kamu
Ku akui memang, kak Alaya istrinya bang Firman memang seperti itu. Dia tipe perempuan yang cuek, ia hanya berfikir apa yang telah menjadi miliknya pasti akan selamanya menjadi miliknya. Mungkin selama ini ia tak pernah menduga bila bang Firman bisa saja mencari selah untuk bisa keluar dari ketidak peduliannya sebagai istri kepada suaminya.
“Alya juga sangat mencintai abang.”
“Tapi sampai kapan abang akan terus-terusan begini?”
“Abang tidak tahu,”
“Tapi…nama mereka hampir sama ya?”
“Mungkin abang berjodoh dengannya heheh…oke sayang, abang kesana dulu ya? Kasihan Aliya, capek nungguin abang.”
Aku hanya mengangguk. Mengamati punggung Firman hingga ia kembali ketempat duduknya semula. Aku tak berani mengkritiknya terlalu jauh, itu ruang pribadi Firman. Karena tanpa sepengetahuannya aku juga begitu, mencintai laki-laki yang sudah beristri dan punya anak. Bedanya aku hanya pernah bertemu sekali dengan Zal. Setelah itu aku kembali pada hari-hari ku yang sepi, dan Zal pada keluarganya yang ceria dan penuh cinta. Aku tak pernah mengusik keberadaan Zal dan keluarganya, sementara Firman aku yakin setiap saat waktu senggangnya akan ia habiskan dengan Aliya karena mereka tinggal disatu
Tapi aku kasihan juga pada Alya, apa yang dia alami pasti tidak akan berbeda jauh dengan ku. Kalau aku mampu mensiasati kerinduan dan rasa sepi ku. Apakah Aliya sanggup? Kulihat sepertinya ia masih belum sedewasa usianya, ia terlihat sangat lugu dan polos. Tapi apa peduli ku? Toh didunia ini kita bisa melakukan semua hal yang kita sukai, terlepas itu benar atau tidak. Yang penting harus siap menanggung semua konsekwensinya.
“Tapi cinta sejati ku hanya untuk Kakak, Jingga.” Ucap Firman tadi sebelum meninggalkan ku. Syukurlah, aku sedikit lega mendengar itu.
Tapi tetap saja aku tidak terima perlakuan Firman kepada istrinya. Tapi mengapa aku juga melakukan itu kepada Sonya, istri Zal. Bukankah seharusnya bila aku mencintainya aku harus sanggup melepasnya dengan alasan apapun? Aku sudah pernah mencoba itu, tapi hati ku belum sanggup. Dan sebulan masa jeda itu membuat ku sangat tersiksa hingga akhirnya aku menjalin kembali hubungan dengan Zal.
Aku kembali diam, menyusuri jalan kehidupanku dari awal hingga akhir, mengenang kembali saat-saat bertemu dengan Zal, menjelujur kembali bagaimana aku dan dia saling jatuh cinta. Saling mengisi hari-hari dan merias hati kami dengan cerita-cerita yang indah. Konflik-konflik kecil yang membuat perasaan kami semakin dalam dan sulit dibendung. Dan tanpa sadar setitik bening jatuh dipipi ku. Air mata yang jatuh ekspresi dari seribu rasa yang berkecamuk dihati, marah atas sikap Firman kepada istrinya, kecewa pada Juan yang sampai hari ini menghilang dan tak ada kabar, dan juga rindu yang membuncah kepada Zal.
Apakah aku tak layak mencintai? Tak layak memiliki? Tak layak mempunyai tambatan hati yang benar-benar bisa membuatku jatuh cinta seperti yang dilakukan Zal pada ku? Jawabannya hanya ada pada kecipak air dikolam, yang jatuh menetes dari mulut bambun yang dikikir meruncing.
“Apa kabar sayang?”
“Abang?! Sejak kapan disitu?”
“Dari tadi abang perhatikan kamu melamun saja. Mikirin apa?”
“Jawab dulu pertanyaan ku.”
“Biarkan abang duduk dulu.”
Juan. Laki-laki ini semakin aneh saja kurasa. Ia hadir tanpa disangka-sangka. Disaat aku sangat ingin bertemu dengannya ia menghilang dan tak ketahuan dimana rimbanya. Saat aku sedang ingin melupakannya Ia justru hadir dan ada.
“Kamu penasaran dengan abang?” tanyanya seolah mengerti isi hati ku
“Terus terang iya”
“Tapi kamu suka
“Abang pasti sudah sangat tahu aku bagaimana”
Juan tersenyum, wajahnya yang bersih membuatku tak ingin mengalihkan pandangan sedetikpun. Hati ku benar-benar tak karuan kali ini. Jauh didalam
“Maafkan abang, selama ini abang sangat sibuk. Tidak punya waktu untuk menghubungi kamu. Pukul delapan malam tadi abang baru sampai, dan langsung ketempat ini, berharap kamu ada disini. Feeling abang ternyata benar.”
“Abang tidak pernah bercerita tentang keluarga.”
“Umur abang saja kamu tidak tahu
“Iya, berapa usia abang?”
Juan hanya tersenyum, ia tidak menjawab. Sebaliknya malah menyodorkan pertanyaan menyangkut dengan itu pada ku.
“Menurut mu berapa?”
“Tiga puluhan mungkin.” Aku menebak. Sungguh sulit sekali menerka umurnya.
Juan lagi-lagi tersenyum.
“Itu tidak penting bagi kamu, yang penting kita jalani saja pertemanan kita apa adanya.”
Apa yang aku pikirkan benar. Juan hanya menganggap ini pertemanan biasa saja. Tidak ada yang istimewa. Sementara aku…
“Abang sudah menikah?” Tanya ku akhirnya
“Apa itu juga penting untuk mu sayang?”
“Ya, sangat penting. Agar aku bisa menyesuaikan diri. Agar aku tidak salah langkah.”
“Maksud kamu?”
Juan menatap ku tajam, bola mata hitamnya membuatku sering tak bisa tidur. Laki-laki ini memang cerdas, belakangan aku tahu dia seorang pengusaha sukses. Tapi aku tahu itu dari pencarian ku sendiri, sekarang sedikit-sedikit aku mulai bisa meraba kehidpannya. Saat dia sedang menceritakan sesuatu tentang pekerjaannya, sampai pengalamannya mengunjungi satu
Apakah ini yang dinamakan dengan cinta?
“Kalau abang sudah menikah aku
“Oh…itu, santai saja,”
“Santai bagaimana?”
“Karena kamu serius abang juga serius. Kamu mau tahu tentang abang yang sebenarnya?”
Aku mengangguk.
“Abang pernah menikah.
Yah, aku baru ingat sekarang. Aku melihatnya di acara besar itu. Benarlah jika aku merasa pernah melihatnya sebelumnya. Ketika itu aku sedang meliput disana.
“Dan tidak disangka, kita bertemu lagi ditempat ini. Bagi abang ini adalah hal yang tidak biasa, dan abang tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini.”
“Maksud abang?” aku memandanginya serius.
“Kamu mau jadi istri abang?”
“Apa? Istri?”
Aku sama sekali tidak bisa menyembunyikan kekagetan ku. Juan mengangguk. Sementara itu mata elangnya menancap dimata ku dalam-dalam. Membuat ku semakin tak kuasa membalasnya.
“Usia kita pasti sangat jauh berbeda.”
“Apa menurut mu itu jadi kendala?”
“Tidak.”
“Apa kamu tidak menyukai abang?”
“Aku menyukai abang. Bahka sejak pertama kali melihat abang.” Jawab ku jujur. Entah mengapa, kali ini bagai dihipnotis, aku tidak bisa berbohong.
Aku memang menyukai Juan, tapi menjadi istrinya? Terlebih statusnya sebagai duda beranak satu. Apa kata keluarga ku nanti? Jingga menikah dengan duda. Apa komentar teman-teman dikantor saat tahu Jingga menjalin hubungan dengan laki-laki yang usianya terpaut jauh dengan ku.
Aku masih bertanya-tanya, perempuan seperti apakah yang dulu dinikahi Juan hingga mereka tak punya kecocokan. Dalam diam aku merasakan tangan Juan yang hangat menyentuh tangan ku. Mencoba meyakinkan ku dengan pandangan matanya yang sarat kerinduan dan cinta.
“Abang hanya tidak ingin kamu tersiksa dengan kondisi begini,”
Bayangan Zal hadir, seolah untuk mempertegas keyakinanku bahwa sampai detik ini belum ada yang bisa menggantikan kedudukan Zal dihati ku. Tapi sampai kapan aku sanggup bertahan dengan kondisi seperti itu? Sementara didepanku bayangan laki-laki serupa Zal telah ada. Aku hanya berharap dia adalah laki-laki yang dikirimkan Tuhan kepada ku.
Bersambung…
ceritanya sama persis sama yg aku alami :(
BalasHapus