Aku wanita
Yang punya cinta dihati
Mengapa terlambat cinta mu telah termiliki
Sedang diri ku dengan dia telah begitu cinta
Mengapa yang lain bisa mendua dengan mudahnya
Namun kita terbelenggu dalam ikatan tanpa cinta
Atas nama cinta
Hati ini tak mungkin terbagi
Walau sampai nanti
Cinta ini hanya untuk engkau
Atas nama cinta
Ku relakan jalan ku merana
Asal engkau akhirnya dengan ku
Ku bersumpah atas nama cinta
Lagu atas nama cinta-nya Rossa mengalun dengan indah dari hand phone ku, nama Zal muncul disana. Hati ku berdebar-debar hebat, bergemuruh dan gerimis. Zal, ada apa ia menelepon ku. Apakah ia juga merasakan rindu yang sama kepada ku? Apakah hatinya juga merasakan gelisah dan sakit yang ku rasakan? Disaat aku hampir bisa melupakannya mengapa ia muncul lagi? Sengaja kah ia membuat aku begini?
Lama kubiarkan benda mungil itu meraung-raung, hingga akhirnya kembali diam. Namun saat panggilan ketiga aku tak tahan dan akhirnya ku terima juga. Suara Zal yang khas segera menyambutku dengan kerinduan yang penuh dan tertahan.
“Jingga, abang ada di Banda Aceh sekarang. Abang ingin ketemu dengan kamu sebentar, apa kamu punya waktu?”
“Jingga…Jingga…kapan abang sampai?” aku jadi gugup dan gemetar. Ku rasakan seolah-olah Zal ada didekat ku sekarang. Padahal aku tidak yakin kalau Zal ada di Banda Aceh sekarang. Bisa saja dia membohongiku.
“Kemarin.”
“Kemarin? Mengapa abang baru mengabari ku sekarang?” refleks aku berteriak dan menangis. Merasa tidak terima dengan sikap Zal yang tidak memberi tahu kedatangannya ke Banda Aceh kepada ku. Aku merasakan keanehan pada diri ku sendiri. Disatu sisi ingin melupakan Zal, tapi disisi lain aku seperti tak terima bila Zal sengaja tidak melakukan komunikasi dengan ku.
“Sekarang
“Mau. Abang dimana sekarang?”
“Abang ada di kafe Kita. Datang saja kesana, abang ada di meja nomor sepuluh.”
“Iya, sebentar lagi Jingga sampai.”
Setelah selesai berbicara dengan Zal langsung ku sambar jaket yang tersangkut dibelakang pintu dan bergegas keluar setelah mengunci pintu. Rasanya sudah tak sabar lagi untuk segera bertemu dengan Zal. Lelaki yang sangat ku cintai dan ku sayangi sepenuh hati. Antara senang dan takut aku menyusuri jalan, melajukan motor ku dengan sedikit lebih kencang dan segera memarkirkannya dihalaman kafe yang luas tersebut.
“Jingga!” sebuah suara mengaget
“Kita duduk dulu.” Kembali kata-kata Zal membuat ku sadar, aku tengah berada diantara banyak orang.
“Iya.” Jawab ku pendek
“Kemana saja abang selama ini?” Tanya ku setelah kami duduk.
Zal menarik napas dalam-dalam, matanya maish belum beranjak dari memandang ku.
“Abang sengaja melakukan semua itu Jingga. Abang terpaksa melakukan itu. Demi kamu, demi abang juga.”
“Kalau begitu mengapa abang temui Jingga sekarang? Apa abang pikir itu lebih baik? Tidak bang, justru membuat kita lebih sakit lagi. Terutama Jingga. Abang tahu seperti apa rasa cinta Jingga kepada abang, kalau abang berbuat begitu itu sama saja dengan abang mempermainkan perasaan ku.”
“Jingga, sungguh, abang tidak bermaksud untuk mempermain
“Obat? Obat apa? Racun iya.”
“Jingga, siapa yang harus dipersalahkan? Abang atau kamu?”
“Jelas-jelas abang” sela ku
“Kita bertemu bukan untuk bertengkar
“Tapi Jingga sudah kehabisan cara untuk mengatakan semua ini bang. Lusa aku akan menikah, malam ini abang menemui ku. Pertemuan ini membuat niat ku kembali goyah. Membuat ku kembali sakit. Entahlah…barangkali abang sengaja membuat ku begini…”
“mengapa kamu tidak memberi tahu abang kalau kamu akan menikah?”
“Apa itu perlu bang? Kemana abang selama ini, mengapa abang tidak pernah bertanya kabar ku, mengapa abang hilang, diam, bisu saat aku begitu rapuh dan lemah. Kemana?”
“Jingga…”
“Aku sudah berjuang besar untuk semua ini bang, belajar melupakan mu, belajar mencintai laki-laki lain selain mu. Tidak hanya itu, kedua orang tua ku pun tidak lagi mengakui ku sebagai anaknya. Aku tidak punya siapa-siapa lagi.”
“Mengapa semua itu bisa terjadi?”
“Karena aku memilih menikah dengan laki-laki yang sudah pernah menikah. Ayah dan mama tidak setuju. Waktu itu aku ingin sekali berbagi pada abang, tapi waktu aku telfon abang, abang malah menolaknya. Lalu sekarang abang datang dan bertanya mengapa aku menikah tanpa memberi tahu kepada abang?”
“Maafkan abang Jingga. Abang merasa bersalah bersalah telah membuat mu begini. Tapi abang juga tidak bisa melakukan apa-apa.”
“Jingga tidak ingin dengar apapun lagi. Sudah cukup Jingga merasakan semuanya.”
Hening. Tak ada yang bersuara, aku sibuk dengan alam pikirku sendiri, begitu juga dengan Zal. Pertemuan ini bukanlah obat sebagaimana yang diinginkan Zal tapi adalah racun bagi diri ku. Mengapa aku sampai terjerembab pada persoalan ini berkali-kali. Membuat ku jatuh bangun dan kesakitan berulang-ulang.
“Jingga tidak tau mau bercerita sama siapa bang. Sedikit saja Jingga salah ngomong, jingga sudah dianggap perempuan ngga baik karena telah menjalin hubungan tidak resmi dengan suami orang. Disaat Jingga merasa telah menemukan obat untuk itu, petaka lain malah datang. Jingga diusir dari rumah, jingga merasa sangat tidak berarti. Jingga merasa…seperti tidak ada orang yang peduli dengan jingga.”
“Dan sekarang…abang datang. Aku jadi ingin menunda pernikahan ini bang. Aku…aku…seperti belum sanggup memasukkan nama lain dihati ku. Aku belum bisa melupakan abang, belum sanggup mencoret nama abang dihati ku.”
“Itulah yang ingin abang katakan sama kamu, selama ini mungkin telah banyak kesalahan yang kita lakukan Jingga. Khususnya abang, menyakiti perasaan mu, menyakiti kehidupan mu dan membuat mu jadi begini. Abang ingin kedepan kita lebih baik lagi, mungkin…inilah saatnya. Waktu yang kita janjikan itu telah tiba. Suatu saat, kelak jika kamu menikah…kamu akan sepenuhnya menjadi adik abang. Dan saat itu telah tiba bukan? Abang merasa hadir disaat yang tepat, bisa menjelaskan semua ini tepat pada waktunya. Kamu adalah adik abang, dan siapapun suami mu dia juga adik abang.”
“Apa abang fikir semudah itu bang? Membalik sampul dari kekasih menjadi teman biasa, mengganti nama dari cinta menjadi entah apa?”
“Kita harus bisa.”
“Tetap tak mudah bagi ku.”
Angin bertiup semilir, mataku mulai mengabur karena genangan air mata. Tapi hatiku menangis lebih hebat lagi. Tersayat-sayat bahkan lebih sakit dari sayatan sembilu sekalipun. Aku tak sanggup memandangi Zal, apalagi untuk kembali berkata-kata. Dada ku sesak, lidah ku kelu.
“Abang sayang sama kamu. Sangat. Tapi jangan sampai rasa sayang itu akan merusak apapun, itu yang tidak abang inginkan. Kalau selama ini abang mengabaikan mu, bukan berarti abang tidak memikirkan mu, bukan karena abang tidak peduli pada mu. Tak lain karena abang sayang sama kamu.”
“Abang?”
“Ya”
“Boleh aku memeluk abang? Untuk yang terakhir kalinya.”
“Boleh.”
Belum selesai Zal berkata aku sudah menghambur dalam pelukannya diikuti dengan isakan tangis ku yang pecah. Apakah mudah melupakan seseorang yang kita tahu dia juga sangat menyayangi kita? Itulah yang kurasakan. Walaupun berkali-kali telah ku coba untuk mengikis nama Zal tetapi selalu saja aku belum berhasil.
“Jingga sayang abang.”
“Abang juga.”
Zal memelukku dengan kuat.
“Jingga tidak mau melepaskan abang lagi.”
“Sayang…waktu itu sudah tiba. Sudah saatnya kita berpisah.”
“Kita bertemu hanya untuk berpisah abang?”
“Bukan, tapi untuk kehidupan baru berikutnya.”
“Kehidupan yang seperti apa itu?”
“Kehidupan yang lebih indah, untuk sebuah kebersamaan. Kita tidak akan berpisah lagi.”
“Maksud abang?”
“Bukahkan mulai sekarang kamu telah jadi adik abang? Itu artinya kita akan selalu bersama sampai kapan pun. Bukankah antara adik dan abang tidak pernah berpisah?”
“Aku pikir abang akan melamar ku malam ini.”
“Aku tidak akan sejahat itu dengan Juan.”
“Juan?”
“Iya”
Bersambung…
0 komentar:
Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)