Pukul 08:15 pm aku telah sampai dirumah, agak lebih cepat dibandingkan malam sebelumnya, sampai dirumah menjelang pukul sebelas malam. Beruntung karena aku kost dan induk semangnya tinggal terpisah dengan kami, lebih beruntung lagi karena aku keluar untuk keperluan yang berarti. Menjumpai seorang teman yang siang tadi baru tiba dari luar kota. Karenanya aku tidak perlu merasa bersalah dan merasa tidak enak pada tetangga karena pulang agak telat. Aku selalu berusaha mempertahankan cara ku yang satu ini, mengenyahkan semua rasa jengah dan takut ku bila yang ku lakukan menurut ku benar.
Ku geletakkan ransel yang seharian menggantung dipundakku dilantai didekat pintu kamar, ku lepas kerudungku, menciumnya sejenak lalu meletakkannya diatas box buku. Lalu tanpa mengganti pakaian langsung merebahkan diri di ranjang. Tubuh ku terasa sangat lemas, perutku rupanya tidak main-main, sudah dua hari terakhir ini terasa seperti diaduk-aduk dan berkali-kali merasa seperti hendak muntah. Suhu tubuh ku mulai naik lagi tapi juga terasa dingin menusuk tulang. Kepala terasa pusing dan berat. Rasanya jarang sekali aku merasa tidak bertenaga seperti sekarang ini.
Sembari tidur ku baca majalah setebal 56 halaman terbitan lokal yang diberikan oleh pemimpin umum majalah tersebut sore tadi. Liputan utamanya menarik perhatian ku namun sangat ku sesali karena tak bisa ku selesaikan membacanya sampai habis. Biji mata ini seperti mau keluar saja rasanya. Dengan setengah rela ku letakkan kembali majalah tersebut dilantai. Tapi karena hentakan yang kuat beberapa lembarannya bergoyang dan berganti halaman. Sebuah judul baru yang lain lagi-lagi mampu membuat mataku mendelik. Dan, sambil menahan perih ku ambil kembali majalah tersebut. Ku lirik ke pojok kanan bawah, melihat siapa penulis berita tersebut.
Sesaat aku terpana, niat untuk membaca ulasan tersebut berganti dengan rasa lain yang lebih menggebu-gebu. Kini, aku benar-benar meletakkan majalah tersebut. Lalu segera tidur dan memejamkan mata. Mencoba menghadirkan kembali bayangan si pemilik inisial yang tertera dipojok kanan halaman majalah tadi. Detak jantungku semakin keras, segaris senyuman tanpa terasa membuat hayalan ini terasa begitu indah dan menakjubkan. Untuk sesaat aku merasakan sakit yang tadi menderaku benar-benar hilang. Berganti dengan kesenangan yang sulit diterjemahkan.
Seolah tak ingin berhenti sampai disitu, aku segera bangkit dan meraih kerudung yang ku letakkan diatas box tadi. Menciumnya lebih lama lagi dan menikmati aroma rokok yang masih menempel disana. Ini benar-benar aneh, bagaimana mungkin aku bisa menyukai aroma rokok yang bisa merusak kesehatan. Aku seperti lupa bahwa dalam sebatang rokok terkandung berjuta-juta jenis racun yang membahayakan. Dan itu artinya aku tengah melakukan transfer racun ke pernapasan ku. Aku bahkan tak sempat mengingat bahwa cara ini lebih buruk daripada yang dilakukan oleh si perokok aktiv sekalipun.
Ciumannya masih melekat dikerudung ini, aku membatin. Berusaha menghadirkan kembali bibirnya yang kehitaman karena terlalu sering bergumul dengan nikotin. Ah, mengapa pula bibirnya yang berkelebat dibenakku. Mengapa pula harus membayangkan kembali detik-detik menegangkan yang sudah berlalu.
Aku menyebutnya laki-laki kurang ajar pagi tadi, tapi bukan dengan ekspresi kemarahan melainkan ungkapan atas ketidak percayaanku pada apa yang tengah terjadi. Rasanya seperti mimpi bila kami harus duduk sedekat itu dan ia memeluk ku. Lebih tidak percaya lagi tiba-tiba kami berciuman seolah sudah lama saling kenal. Aku masih saja sibuk dengan pikiran ku saat ciuman pertama usai, begitu juga yang kedua, ketiga.
Bukan kah itu kurang ajar? Ah, lebih kurang ajar lagi tentunya karena masing-masing dari kami tidak ada yang menolak. Aku tidak mengerti dengan diri ku, begitu juga dengan dia menurut ku. Magma yang berkecamuk dijiwa kami telah mengejawantahkan akal dan pikiran untuk beberapa waktu. Seharusnya ia tak menempelkan ciumannya di kerudungku.
”Kamu laki-laki kurang ajar yang istimewa,” kata ku pagi tadi. Dia tersenyum, begitu juga aku.
”Dalam hal ini mungkin kita sama.” ucapnya tenang. Aku tak menampik
”Ya, sama-sama kurang ajar.” kata ku menambahkan. ”Ternyata semua laki-laki punya potensi yang sama, ya?”
”Potensi apa?”
”Potensi untuk berbuat kurang ajar”
”Tapi aku tidak”
”Ah, bukankah kau baru saja berlaku kurang ajar terhadap ku?” aku tak mau kalah.
”Kurang ajar yang diinginkan barangkali” ucapnya tenang.
Kami sama-sama tertawa.
Dering suara hp membuat ku terhenyak, ah, ternyata aku melamun cukup lama. Bayangan mengenai si pemilik bibir yang hitam telah mengabur. Tapi entah mengapa kali ini aku merasa sangat jijik!
MLC Unsyiah, 30/10/07
* catatan keprihatinan
”Kurang ajar yang diinginkan barangkali” ucapnya tenang.
BalasHapushihi ada yang bilang perempuyan memang suka dibohongi.
kuang ajar yang diinginkan...ooops apakah benar?
laki-laki juga suka dibohongi kok...ngga percaya? tanya aja sama laki-laki
BalasHapus