Namanya Rasmiati, sejak kecil perempuan itu dipanggil Ras oleh orangtua maupun teman-temannya. Sekarang umurnya genap empat puluh dua tahun. Memiliki tiga anak dari suaminya yang bernama Baharuddin atau kerap dipanggil Bang Din. Dua anak lelakinya kini berada disalah satu Pesantren di Samalanga, di rumah mereka hanya tinggal bertiga, Ras, Baharuddin dan anak ketiganya yang masih delapan tahun yang duduk di kelas dua Sekolah Dasar.
Keberadaan Bang Din lah yang sekarang membuat Ras resah, sudah dua hari suaminya tidak pulang ke rumah, inilah yang membuat Ras cemas karena berpuluh-puluh tahun hidup dengan Bang Din belum pernah sedetikpun mereka berpisah. Tapi kali ini Ras benar-benar kehilangan kata untuk mengungkapkan kegelisahan hatinya. Semua perasaan berkecamuk membaur dalam dirinya, takut, cemas dan dongkol kepada suaminya. Dongkol karena ia tidak diberitahu kemana Bang Din pergi, dua hari yang lalu Bang Din Cuma bilang kalau ia akan ke kebun.
Tapi dengan cepat hati Ras yang lain membantah, mana mungkin bila cuma ke kebun tidak pulang-pulang sampai dua hari. Memangnya apa yang ditunggui oleh suaminya di kebun mereka? Padahal sekarang sedang tidak musim Durian, bila musim Durian tiba kadang-kadang Bang Din memang kerap menunggui kebunnya karena bila tidak ditunggui akan diambil pencuri.
Pada saat yang bersamaan kelebat-kelebat jahat cepat menyerang hati Ras hingga membuatnya berburuk sangka kepada suaminya, mungkinkah suaminya punya istri selain dirinya dan sudah dua malam ini ia pulang ke rumah istri barunya tersebut?
Ah, Ras lemas, hatinya berdegub kencang diliputi kecemburuan yang tak terbendung kepada Bang Din. Tanpa sadar ia memegangi kulit mukanya yang mengendur, beberapa kerutan dibawah mata dan bintik-bintik hitam yang sukar dihilangkan di wajahnya. Ia semakin yakin kalau Bang Din diam-diam selama ini punya perempuan lain yang tentu saja lebih muda darinya, kulitnya masih kencang sehingga enak dipandang. Dan kepergiannya selama dua hari ini adalah puncak dari semua itu.
Ras menghela napas dalam-dalam, kepalanya terasa berat dan pusing, perutnya juga terasa mual karena asam lambungnya meningkat. Perempuan itu menidurkan kepalanya ke meja makan, matanya dengan terpaksa ia pejamkan dengan harapan semua beban di benaknya bisa menghilang. Tapi lagi-lagi bayangan suaminya melambai-lambai membuat matanya malah terbelalak.
“Mak….”
Ras menengadah, anaknya yang diberi nama Bungsu memanggilnya dari dekat pintu kamar. Mukanya menunjukkan kebingungan atas sikap ibunya yang uring-uringan sudah dua hari ini. Bocah kecil berumur delapan tahun tersebut berdiri sambil memintal-mintal penutup pintu berwarna kuning yang tersebar tahi lalat berwarna hitam.
“Mak Pakoen…” tanya Bungsu tanpa beranjak dari tempatnya berdiri.
Ras menoleh ke samping, menarik napasnya sekali lagi kemudian menatap bola mata hitam milik perempuan kecilnya, ia bingung bagaimana caranya menjelaskan kegundahan hatinya kepada sang anak yang masih belia. Apa yang akan ia sampaikan bila Bungsu bertanya kemana ayahnya.
Namun belum sempat Ras menjawab pertanyaan Bungsu ketukan pintu depan yang keras dan berulang-ulang sambil meneriaki namanya membuat Ras tersentak dan segera bangkit. Ia meraih Bungsu yang refleks berlari kearahnya dan mereka segera berjalan menuju ke pintu depan. Perasaan Ras tidak enak, dadanya berdebar kencang, mendadak ia merasa takut dan seluruh persendiannya terasa lemas dan tak bertenaga. Ras menuntun Bungsu menuju pintu depan.
“Peu na?” Tanya Ras kepada orang-orang yang berdiri di depan rumahnya. Matanya menatap awas kepada orang-orang tersebut, mereka semua adalah tetangga Ras. Tetapi ada keperluan apa mereka ramai-ramai mendatangi rumahnya. Tidak biasanya seperti ini. Kalaupun biasanya ada satu dua orang yang sering berkunjung ke rumahnya, tidak seperti ini caranya, bukan dengan wajah tegang dan napas tersengal-sengal.
“Ada apa Pak Keuchik?” Tanya Ras kepada seorang laki-laki yang terlihat lebih tua dari yang lainnya. Laki-laki itu menunduk, lalu menoleh kepada teman disebelahnya.
“Kenapa diam? Ada apa ini, katakan kepada saya.” Ras semakin cemas melihat wajah orang-orang menunduk dan diam.
“Tenang Ras, Bapak minta kamu tenang ya?” jawab laki-laki itu pelan.
“Tenang untuk apa?” Ras tak puas dengan ucapan pak Keuchik.
Tapi tak lama setelah itu Ras teringat akan suaminya, apakah kedatangan orang-orang ini ada kaitannya dengan keberadaan suaminya?
“Ada apa dengan suami saya Pak? Dia baik-baik saja kan?” Ras jadi panik, ia keluar dari pintu dan berlari ke halaman rumah, ia berharap salah satu dari mereka ada suaminya disana. Tapi keinginannya sirna saat ia tak melihat sosok suaminya diantara kerumunan itu. Ras menangis dan menjerit. “Katakan ada apa dengan suami saya?’
“Ras,” Pak Keuchik mendekat dan memegang bahu Ras. “Sabar ya Nak, semua ini adalah ujian dari Allah untuk kita semua.” Ucapnya lirih.
“Ujian? Ujian apa Pak? Apa yang terjadi dengan suami saya, Pak?” Tangis Ras makin besar. Bungsu yang sejak tadi diam jadi ikut-ikutan menangis melihat ibunya menangis. Ia memegang baju ibunya kuat-kuat. Kakinya gemetar.
“Kita ikhlaskan saja kepergian suamimu Baharuddin dan semoga Allah memberikan balasan yang setimpal kepada orang yang sudah mencelakainya, Ras.”
“Tidak….Tidak………..tidak mungkin itu terjadi, suamiku tidak pernah punya musuh Pak, jadi tidak mungkin ada orang yang mencelakainya.” Ras tidak terima mendengar ucapan orang-orang disekelilingnya. Sepengetahuannya Baharuddin adalah orang yang lurus-lurus saja, tidak pernah melibatkan diri dengan urusan orang lain, bahkan pada saat konflik dulu ia jarang mendengar suaminya menceritakan keburukan kelompok-kelompok yang sedang bertikai pada saat itu. Bahkan ia kerap dimarahi oleh suaminya bila kedapatan sedang menjelek-jelekkan orang lain.
“Jangan suka menceritakan keburukan orang lain Ras, nanti binasa sendiri.” Begitulah selalu Baharuddin mengingatkannya. Dan, kalau sekarang Baharuddin celaka pasti karena ada orang lain yang memfitnahnya.
“Pasti ada orang yang memfitnah suami saya Pak, saya tahu betul watak suami saya jadi tidak mungkin kalau ada orang yang mencelakai dirinya. Dia tidak pernah jahat sama orang lain. Pasti ada orang yang tidak senang sama suami saya” Ras menceracau tidak karuan.
Namun raungan Rasmiati kalah dengan suara raungan ambulan yang kian mendekat dan berhenti di halaman rumahnya. Orang-orang berbalik arah dan mendekati ambulans, jasad Baharuddin terbujur kaku berbalut kain putih, bercak-bercak darah masih terlihat segar membasahi balutan tersebut. Bau amis sesekali menguap bersama hembusan angin yang mendadak tak bersahabat.
“Kami menemukan jasad Bapak Baharuddin di perkebunan Kelapa Sawit dengan kondisi sudah tidak bernyawa lagi, Bu.” Kata seorang petugas kesehatan yang mengantar jenazah Baharuddin.
Rasmiati tidak bisa berkata apa-apa lagi, ia sudah tidak tahu harus berbuat apa untuk mengungkapkan kesedihan hatinya. Rasmiati marah besar, bukan saja kepada orang yang sudah mencelakai suaminya tapi juga kepada perdamaian. Apakah damai namanya bila ia harus kehilangan suami dengan cara seperti itu? Apakah damai namanya bila anak-anaknya harus kehilangan ayahnya dengan cara menyakitkan begini? Dan, kemana Ras harus mencari keadilan demi kematian suaminya. Bukankah setelah perdamaian orang-orang tak lagi peduli dengan hak dan kebebasan orang lain sehingga dengan sendirinya perdamaian itu terobek-robek.
Ras berteriak, menyesali dirinya yang telah berprasangka jelek terhadap suaminya. Setengah jiwanya telah pergi sekarang, meninggalkannya bersama ketiga buah cinta mereka. Melepaskannya dalam beban hidup yang berat dengan status baru, janda.
08/08/08
cerpen ini sudah pernah dipublikasikan di koran Aceh Independen
Keberadaan Bang Din lah yang sekarang membuat Ras resah, sudah dua hari suaminya tidak pulang ke rumah, inilah yang membuat Ras cemas karena berpuluh-puluh tahun hidup dengan Bang Din belum pernah sedetikpun mereka berpisah. Tapi kali ini Ras benar-benar kehilangan kata untuk mengungkapkan kegelisahan hatinya. Semua perasaan berkecamuk membaur dalam dirinya, takut, cemas dan dongkol kepada suaminya. Dongkol karena ia tidak diberitahu kemana Bang Din pergi, dua hari yang lalu Bang Din Cuma bilang kalau ia akan ke kebun.
Tapi dengan cepat hati Ras yang lain membantah, mana mungkin bila cuma ke kebun tidak pulang-pulang sampai dua hari. Memangnya apa yang ditunggui oleh suaminya di kebun mereka? Padahal sekarang sedang tidak musim Durian, bila musim Durian tiba kadang-kadang Bang Din memang kerap menunggui kebunnya karena bila tidak ditunggui akan diambil pencuri.
Pada saat yang bersamaan kelebat-kelebat jahat cepat menyerang hati Ras hingga membuatnya berburuk sangka kepada suaminya, mungkinkah suaminya punya istri selain dirinya dan sudah dua malam ini ia pulang ke rumah istri barunya tersebut?
Ah, Ras lemas, hatinya berdegub kencang diliputi kecemburuan yang tak terbendung kepada Bang Din. Tanpa sadar ia memegangi kulit mukanya yang mengendur, beberapa kerutan dibawah mata dan bintik-bintik hitam yang sukar dihilangkan di wajahnya. Ia semakin yakin kalau Bang Din diam-diam selama ini punya perempuan lain yang tentu saja lebih muda darinya, kulitnya masih kencang sehingga enak dipandang. Dan kepergiannya selama dua hari ini adalah puncak dari semua itu.
Ras menghela napas dalam-dalam, kepalanya terasa berat dan pusing, perutnya juga terasa mual karena asam lambungnya meningkat. Perempuan itu menidurkan kepalanya ke meja makan, matanya dengan terpaksa ia pejamkan dengan harapan semua beban di benaknya bisa menghilang. Tapi lagi-lagi bayangan suaminya melambai-lambai membuat matanya malah terbelalak.
“Mak….”
Ras menengadah, anaknya yang diberi nama Bungsu memanggilnya dari dekat pintu kamar. Mukanya menunjukkan kebingungan atas sikap ibunya yang uring-uringan sudah dua hari ini. Bocah kecil berumur delapan tahun tersebut berdiri sambil memintal-mintal penutup pintu berwarna kuning yang tersebar tahi lalat berwarna hitam.
“Mak Pakoen…” tanya Bungsu tanpa beranjak dari tempatnya berdiri.
Ras menoleh ke samping, menarik napasnya sekali lagi kemudian menatap bola mata hitam milik perempuan kecilnya, ia bingung bagaimana caranya menjelaskan kegundahan hatinya kepada sang anak yang masih belia. Apa yang akan ia sampaikan bila Bungsu bertanya kemana ayahnya.
Namun belum sempat Ras menjawab pertanyaan Bungsu ketukan pintu depan yang keras dan berulang-ulang sambil meneriaki namanya membuat Ras tersentak dan segera bangkit. Ia meraih Bungsu yang refleks berlari kearahnya dan mereka segera berjalan menuju ke pintu depan. Perasaan Ras tidak enak, dadanya berdebar kencang, mendadak ia merasa takut dan seluruh persendiannya terasa lemas dan tak bertenaga. Ras menuntun Bungsu menuju pintu depan.
“Peu na?” Tanya Ras kepada orang-orang yang berdiri di depan rumahnya. Matanya menatap awas kepada orang-orang tersebut, mereka semua adalah tetangga Ras. Tetapi ada keperluan apa mereka ramai-ramai mendatangi rumahnya. Tidak biasanya seperti ini. Kalaupun biasanya ada satu dua orang yang sering berkunjung ke rumahnya, tidak seperti ini caranya, bukan dengan wajah tegang dan napas tersengal-sengal.
“Ada apa Pak Keuchik?” Tanya Ras kepada seorang laki-laki yang terlihat lebih tua dari yang lainnya. Laki-laki itu menunduk, lalu menoleh kepada teman disebelahnya.
“Kenapa diam? Ada apa ini, katakan kepada saya.” Ras semakin cemas melihat wajah orang-orang menunduk dan diam.
“Tenang Ras, Bapak minta kamu tenang ya?” jawab laki-laki itu pelan.
“Tenang untuk apa?” Ras tak puas dengan ucapan pak Keuchik.
Tapi tak lama setelah itu Ras teringat akan suaminya, apakah kedatangan orang-orang ini ada kaitannya dengan keberadaan suaminya?
“Ada apa dengan suami saya Pak? Dia baik-baik saja kan?” Ras jadi panik, ia keluar dari pintu dan berlari ke halaman rumah, ia berharap salah satu dari mereka ada suaminya disana. Tapi keinginannya sirna saat ia tak melihat sosok suaminya diantara kerumunan itu. Ras menangis dan menjerit. “Katakan ada apa dengan suami saya?’
“Ras,” Pak Keuchik mendekat dan memegang bahu Ras. “Sabar ya Nak, semua ini adalah ujian dari Allah untuk kita semua.” Ucapnya lirih.
“Ujian? Ujian apa Pak? Apa yang terjadi dengan suami saya, Pak?” Tangis Ras makin besar. Bungsu yang sejak tadi diam jadi ikut-ikutan menangis melihat ibunya menangis. Ia memegang baju ibunya kuat-kuat. Kakinya gemetar.
“Kita ikhlaskan saja kepergian suamimu Baharuddin dan semoga Allah memberikan balasan yang setimpal kepada orang yang sudah mencelakainya, Ras.”
“Tidak….Tidak………..tidak mungkin itu terjadi, suamiku tidak pernah punya musuh Pak, jadi tidak mungkin ada orang yang mencelakainya.” Ras tidak terima mendengar ucapan orang-orang disekelilingnya. Sepengetahuannya Baharuddin adalah orang yang lurus-lurus saja, tidak pernah melibatkan diri dengan urusan orang lain, bahkan pada saat konflik dulu ia jarang mendengar suaminya menceritakan keburukan kelompok-kelompok yang sedang bertikai pada saat itu. Bahkan ia kerap dimarahi oleh suaminya bila kedapatan sedang menjelek-jelekkan orang lain.
“Jangan suka menceritakan keburukan orang lain Ras, nanti binasa sendiri.” Begitulah selalu Baharuddin mengingatkannya. Dan, kalau sekarang Baharuddin celaka pasti karena ada orang lain yang memfitnahnya.
“Pasti ada orang yang memfitnah suami saya Pak, saya tahu betul watak suami saya jadi tidak mungkin kalau ada orang yang mencelakai dirinya. Dia tidak pernah jahat sama orang lain. Pasti ada orang yang tidak senang sama suami saya” Ras menceracau tidak karuan.
Namun raungan Rasmiati kalah dengan suara raungan ambulan yang kian mendekat dan berhenti di halaman rumahnya. Orang-orang berbalik arah dan mendekati ambulans, jasad Baharuddin terbujur kaku berbalut kain putih, bercak-bercak darah masih terlihat segar membasahi balutan tersebut. Bau amis sesekali menguap bersama hembusan angin yang mendadak tak bersahabat.
“Kami menemukan jasad Bapak Baharuddin di perkebunan Kelapa Sawit dengan kondisi sudah tidak bernyawa lagi, Bu.” Kata seorang petugas kesehatan yang mengantar jenazah Baharuddin.
Rasmiati tidak bisa berkata apa-apa lagi, ia sudah tidak tahu harus berbuat apa untuk mengungkapkan kesedihan hatinya. Rasmiati marah besar, bukan saja kepada orang yang sudah mencelakai suaminya tapi juga kepada perdamaian. Apakah damai namanya bila ia harus kehilangan suami dengan cara seperti itu? Apakah damai namanya bila anak-anaknya harus kehilangan ayahnya dengan cara menyakitkan begini? Dan, kemana Ras harus mencari keadilan demi kematian suaminya. Bukankah setelah perdamaian orang-orang tak lagi peduli dengan hak dan kebebasan orang lain sehingga dengan sendirinya perdamaian itu terobek-robek.
Ras berteriak, menyesali dirinya yang telah berprasangka jelek terhadap suaminya. Setengah jiwanya telah pergi sekarang, meninggalkannya bersama ketiga buah cinta mereka. Melepaskannya dalam beban hidup yang berat dengan status baru, janda.
08/08/08
cerpen ini sudah pernah dipublikasikan di koran Aceh Independen