Seperti biasa, pagi itu Nek Limah bersiap-siap untuk melakukan rutinitasnya, ia mengunci semua pintu, menutup jendela lalu keluar dengan sebuah ember hitam ditangan kanannya. Selembar kain panjang yang sudah pudar melingkar menutupi urat-urat lehernya yang menonjol, songkok hitam yang sudah bertahi lalat menutupi rambut-rambutnya yang memutih, dan sebagiannya kelihatan. Untungnya songkok tersebut berwarna hitam sehingga tahi lalatnya tidak kelihatan.
Nek Limah meletakkan kunci rumahnya diatas toek-toek yang dicat dengan dua warna; merah dan putih. Namun sudah terkelupas disana-sini dan hanya tinggal bekasnya saja, maklum itu peninggalan beberapa tahun yang lalu. Kendatipun Nek Limah tidak mengunci rumahnya bisa dipastikan tidak ada pencuri yang masuk kerumahnya karena tidak ada barang berharga apapun dirumah yang layak disebut gubuk.
Dengan agak tertatih dan sedikit bungkuk Nek Limah segera berjalan menuju kearah barat, tujuannya tidak lain adalah kebun melinjo milik Haji Banta yang terkenal kaya dan mempunyai kebun melinjo yang luas. Disanalah sehari-hari Nek Limah menghabiskan waktunya dengan bekerja sebagai pemilih buah-buah melinjo yang rontok untuk kemudian dikumpulkan dan dijadikan sebagai kerupuk melinjo atau emping.
Karena matanya yang sudah agak rabun Nek Limah tidak bisa maksimal melakukan pekerjaannya, ia sering tertinggal dengan teman-temannya yang lain karena buah-buah melinjo itu sering tersusup dibawah-bawah daun yang kering. Pun begitu perempuan tua itu tidak pantang menyerah. Ia terus mengumpulkan biji-biji melinjo yang merah dan ranum dan sore harinya ia membawa pulang satu ember biji melinjo, atas hasil jerih payahnya itu ia dibayar sepuluh ribu oleh Haji Banta, tapi ia sering mendapat bonus dan tambahan dari pengusaha kampung itu. Dari uang itulah ia memenuhi kebutuhannya sehari-hari, membeli beras, ikan asin atau telur sebagai lauk makan.
“Ho neu meujak Nek?” tanya Hamid tetangganya saat berpapasan diujung jurong dengan Nek Limah.
“Lon neuk jak u lampoh Haji Banta” jawabnya sambil membernarkan lilitan kain di lehernya.
“Hari ini tidak usah bekerja saja Nek, nonton tipi saja kita,”
“Apa? Nggak dengar saya”
“Nggak usah kerja hari ini Nek, nonton tipi aja kita, udah damai hari ini”
“Hana meuphom, kajak keudeh”
Hamid tertawa melihat Nek Limah yang menyuruhnya pergi, perempuan setua dia mana ngeh kalau sudah berbicara soal yang begituan pikirnya. Ia pun pergi meninggalkan Nek Limah.
“Ya sudah saya pamit dulu Nek.”
“Ya, bilang sama istrimu agar nanti sore mengambil telur asin pesanannya kerumah saya”
“Kajeut”
Nek Limah pun berlalu meneruskan perjalanannya menuju ke kebun Haji Banta, saat matahari tepat berada ditengah-tengah kepalanya ia pulang karena tadi lupa membawa minum, kerongkongannya terasa kering dan panas karena haus. Keringat memenuhi dahi dan bagian lain tubuh tuanya, ia mengipas-ngipas dengan kain panjangnya.
“Ada apa rame-rame?” tanyanya saat ia membeli sayur diwarung, laki-laki dan perempuan ramai berkumpul disana. Berkerumun menatap ke kotak kecil 21 inc berwarna. Tak ketinggalan anak kecil hingga bayi ada disana.
“Ka damai Nek,” ucap seorang
“Damai apa?” Nek Limah bertanya kepada pemilik warung.
“Orang GAM dengan TNI, mereka hari ini sedang teken MOU”
“Awak GAM nyoe?”
Seketika perempuan itu terkenang pada masa dua puluh tahun silam, saat ia bertugas sebagai tukang masak orang-orang gerakan yang pada saat itu masih disebut GPK. Nek Limah sendiri sampai sekarang tidak tahu apa kepanjangan GPK yang dia tau dari dulu adalah mencari kayu bakar dan memasak untuk mereka, dan berkali-kali ikut berlari saat markas mereka terendus aparat.
Meskipun sekarang ia sudah tua dan jarang berhubungan dengan dunia luar tetapi saat nama GAM disebut ia langsung connect. Rasanya tidak ada yang tidak langsung nyambung saat nama itu disebut.
“Itu apa? Kok rame sekali?” tanyanya lagi menunjuk ke tv.
“Itu di Banda Aceh Nek, di depan mesjid Raya, orang-orang datang kesana untuk menyaksikan penandatangan MOU yang saya bilang tadi. GAM dan TNI”
“GPK ya?” ia masih dengan pertanyaan yang sama
“Iya Nek, sekarang sudah damai ngga ada perang lagi” si pemilik warung masih sabar menjelaskan.
“O ya Allah…Allahu Akbar!!! Allahu Akbar!!! Allahu Akbar!!!” Nek Limah bersujud syukur agak kepayahan ditanah. Air matanya mengalir dipipi tuanya yang berkerut.
“Geu that peudeh hudep yoeh watee nyan hai aneuk” ucapnya terbata sambil menyeka air matanya. Napasnya turun naik sehabis bersujud ditanah.
“Lari kesana kemari, kadang lapar kadang kenyang…” sambungnya
“Kadang ada yang sampai tiga hari berturut-turut kami cuma makan buah ubi, minum air sungai…pokoknya tidak bisa diceritakan bagaimana sakit dan pedihnya. Saya kehilangan suami, sekarang sudah tua anak pun tidak ada….” Ia kembali menangis. Perempuan tua itu mengenang hari-harinya yang pahit pada masa itu.
“Kaboeh caplie rayeuk siribe…saya mau pulang” ucapnya kemudian setelah agak tenang. Si pemilik warung mengangguk, ia sudah kehilangan kata-kata dan ikut meneteskan air mata mendengarkan cerita Nek Limah.
Semua yang ada disitu merasa terharu dengan cerita perempuan tua itu, siapapun tahu di desa Meunasah Mawoe ini kalau dulunya Nek Limah termasuk salah satu gerilyawan perempuan, walaupun ia hanya seorang tukang masak. Dan sebuah perjuangan tentu saja tidak akan berjalan tanpa orang-orang seperti Nek Limah.
@@@
“Dengar-dengar orang seperti Nek Limah akan mendapat uang dari orang-orang GAM”
“Duit apa?”
“Ya duit…karena dulu mereka sudah menjadi bagian dari orang GAM”
“Ah, masak sih”
“Iya,”
“Wah, enak sekali Nek Limah, tidak perlu bekerja lagi.”
Nek Limah tidak menyahut apapun, ia hanya mendengarkan saja apa yang dibicarakan oleh teman-temannya. Ia tak mau ambil pusing dengan semua itu, apalagi hanya kabar angin, kalau dapat ya diambil tidak ya sudah. Yang penting banginya setiap hari sudah bisa mendapatkan sepuluh ribu dari hasil kerjanya sebagai pemilih buah melinjo ini. Jangan berharap yang muluk-muluk, begitulah pikirnya.
Tapi hari ini Nek Limah mulai berani sedikit berharap, siang tadi seorang anak muda datang kerumahnya untuk mendata namanya agar ia bisa memperoleh dana reintegrasi alakadarnya. Tapi sehari, seminggu, sebulan, uang yang dijanjikan itu pun tidak kunjung ia terima.
Pun saat menjelang lebaran, saat orang-orang eks gerakan mendapat sie makmeugang Nek Limah cukup berpuas diri dengan seekor ayam kampung yang selama ini dipeliharanya. Ia tidak pernah mendapat apa-apa.
Ia tak protes, dan cukup sadar dirinya dahulu hanyalah seorang tukang masak biasa yang tidak memanggul senjata. Saat para lelaki berlari dengan mengusung senapan ia justru berlari dengan periuk dan belanga menggantung dileher. Dengan dentingan sendok dan pisau dalam kelenditnya.
Hari ini, kembali seperti biasa Nek Limah menenteng ember hitamnya, dengan songkok hitam yang penuh tahi lalat menutupi rambut putihnya. Ia berjalan tertatih menuju kekebun milik Haji Banta disebelah barat.
10:03 pm
14/02/07
*Tulisan ini sudah pernah di muat di koran Aceh Independen edisi Ahad, 21 Desember 2008
Lebih baik bekerja dgn keringat sendiri...
BalasHapuswew kirain karangan sediri
BalasHapusternyata ngetik ulang dari koran tho
oai salam kenal ya *salaman*
ikut tukeran link po'o
kepada aR_eRos....darimana tahu kalau ini ngetik ulang dari koran? memangnya ada tertera, tulisan ini diketik ulang dari koran bla bla dst????
BalasHapushayooooooooooooooo...salam kenal juga deh..yang penting enak di baca lah
BalasHapusSalam kenal...ceritanya bagus enak dibaca
BalasHapus@ baka kelana, salam kenal juga....mudah-mudahan cerita lainnya bisa lebih krispi heheheh
BalasHapus