Bacalah tanpa harus menerima begitu saja.
Berfikirlah tanpa harus bersikap sombong.
Yakinlah tanpa harus bersikap fanatik.
Dan, jika anda memiliki pendapat,
kuasai dunia dengan kata-kata.
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari air mata yang tumpah. Kau lihat air terjun itu? Jatuhnya seperti air matamu, dan tebingnya adalah kelopak mata. Tempat air berkumpul. Bukankah menyenangkan bagi orang-orang yang merasakan sejuknya? Membuat damai telinga yang mendengar gemericiknya. Menenangkan bagi yang menikmati tetesnya. Kabutnya melenakan pandangan. Juga jiwa.
Jangan khwatir, sebab hidup diawali dengan air mata dan diakhiri dengan air mata pula. Kau ingat cerita bayi yang baru lahir dan seorang tua yang melepaskan nafas terakhirnya? Semuanya mengundang tangis. Melelehkan air mata. Seperti yang pernah kuceritakan kepadamu. Tapi, kehidupan tak pernah berhenti sampai di situ.
Air mata bukanlah simbol kelemahan. Bukan pula pertanda atas ketidak berartian. Apalagi perlambang kesialan seperti yang banyak diartikan orang-orang. Mereka-mereka itu tidak pandai bersyukur. Sedang kau, aku tahu kau bukan seperti mereka. Menangislah, sebab air matamu adalah terjun yang damaikan semua orang. Terutama aku. Tangismu adalah keikhlasan. Sendumu adalah sumber kekuatan. Maka menangislah. Karena di sana aku dapatkan kehidupan yang sempurna.
Seperti sungai-sungai yang bermuara ke laut. Semuanya berasal dari air yang di keluarkan kelopak gunung bertebing. Bumi-bumi yang selalu lembab akan kasih sayang. Maka akulah yang paling merindukan semua itu. Air matamu. Maka menangislah, di sini, di pangkuanku. Dan aku akan menjadi orang yang paling beruntung. Sebab kamu hanya akan menangisi orang-orang yang paling kau cintai. Selain ayahmu, tentu saja aku lelaki itu. (*)
Entah sejak kapan aku mulai tak lagi merasakan kenyamanan di rumah ini. Mungkin sejak aroma-aroma aneh itu muncul di rumah kami. Aku tak ingat kapan persisnya. Tapi seingatku, sejak setahun lalu pohon Seulanga yang kutanam di depan rumah kami tak lagi mengeluarkan bau harum. Biasanya wanginya yang khas pelan-pelan akan masuk ke kamar tidur kami. Melalui jendela kecil yang sering kami biarkan terbuka.
Lalu melati-melati kecil yang kutanam di halaman belakang, entah sejak kapan pula tak lagi mau berbunga. Padahal dulu bunganya tak pernah putus. Bila angin berhembus maka wanginya yang menenangkan akan masuk ke dalam rumah kami. Memberikan ketenangan dan kedamaian bagi seisi rumah. Terutama aku, karena akulah yang paling sering menghabiskan waktu di rumah. Aku bahkan tak memerlukan pengharum ruangan untuk membuat rumah kami menjadi wangi.
Seiring dengan itu sering hadir bau-bau aneh yang kadang begitu menyengat. Mengaduk-ngaduk perut hingga membuatku hampir muntah. Rasa mual yang tak terkalahkan kadang-kadang membuatku nyaris seperti orang kesurupan. Menjelajahi setiap jengkal rumah ini, barangkali ada bangkai tikus ataupun kucing yang mati.
Kolong-kolong tempat tidur, di bawah sofa, di bawah lemari, bahkan ke loteng aku memanjat. Tetapi kemudian aku menyerah. Sebab bangkai yang kumaksud tak kutemukan. Dan lagi, kami tidak pernah memelihara kucing, dan rumah ini tidak pernah ada tikusnya.
Tapi dari mana munculnya aroma-aroma aneh itu? Kadang-kadang seperti bau bangkai yang bisa memutuskan bulu hidung. Kadang-kadang seperti bau amis seperti di pasar ikan.Kadang-kadang seperti bau sampah busuk.
Hidungku menjadi lebih peka sekarang. Begitu aroma-aroma tak sedap itu muncul aku langsung mengetahuinya. Anehnya, yang lain seperti tak menyadari perubahan ini. Suami dan anak-anakku tidak pernah mengeluhkan masalah ini. Pembantu di rumah kami juga tidak. Makanya mereka selalu mentertawakanku bila aku mulai membicarakan tentang bau bangkai yang kerap muncul begitu saja.
“Mungkin di rumah kita tumbuh bunga Bangkai, Ma” kata suamiku suatu hari saat aku menyampaikan keluhanku. Aku tahu dia meledekku, sebab bunga Bangkai itu memang tidak pernah tumbuh di rumah kami.
“Mungkin. Tapi kalau memang di rumah kita tumbuh bunga Bangkai, mengapa bau tak sedap itu cuma ada di dalam rumah? Begitu ke luar baunya sudah tidaka ada lagi.” Jawabku dingin.
Suamiku hanya tertawa, begitu juga anak-anakku. Aneh. Mereka seperti tidak mencium bau apapun, padahal saat ini bau bangkai itu begitu menyengat. Mengaduk-ngaduk perutku. Mengusik indra penciumanku. Dan aku hampir muntah. Selera makanku hilang.
Dan entah mengapa, malam ini aku tidak bisa tidur. Padahal rasa kantuk sudah begitu kuat menyerang ke dua mataku. Tetapi setiap kali aku berusaha memejamkan mata yang terjadi malah sebaliknya. Mata ini kian terbelalak.
Sementara itu bau bangkai yang tadinya hanya muncul sesekali sekarang menjadi begitu sangat kuat. Rasa-rasanya seperti ada kucing mati di bawah tempat tidur kami. Tahulah aku sekarang mengapa aku tak bisa tidur. Bau bangkai itu.
Aku mengendus-ngendus seperti kucing yang hendak memangsa tikus. Aku turun dan mengambil senter. Lalu kuarahkan ke kolong tempat tidur. Semuanya bersih. Tidak ada satu bendapun di sana. Aku menjadi kesal. Sebab aroma itu semakin kuat menusuk-nusuk saraf hidungku.
Aku kembali mengendus. Dengan mata tertutup kuarahkan moncongku untuk mencari sumber muasal bau bangkai itu. Dan betapa kagetnya aku begitu hidungku hampir menyentuh dahi suamiku yang sedang tertidur pulas. Sumber bau bangkai itu ada di sana. Aku menciumi seluruh tubuhnya. Mulai dari kepala hingga ujung kaki. Masya Allah! Baunya begitu dahsyat. Bahkan nafasnyapun mengeluarkan bau busuk.
Di kamar mandi aku mengeluarkan semua isi perut. Dengan kepala pening terhuyung-huyung seperti perempuan hamil muda. Akumenuju ke tempat tidur untuk kembali beristirahat. Dan lagi-lagi aku gagal. Tubuh suamiku bau bangkai.
Dan entah sejak kapan aku mulai tak lagi merasakan ketentraman di rumah ini. Pertengkaran makin sering terjadi. Semuanya dipicu oleh bau bangkai yang makin kerap muncul di rumah kami. Anehnya, hanya aku yang merasakannya.
Orang-orang di rumah mulai menganggapku aneh. Suamiku lebih sering menjauhiku, anak-anakku mulai jarang berbicara denganku. Pembantuku juga, ia lebih memilih untuk tak banyak berurusan denganku. Mungkin mereka pikir aku sudah gila. Tapi bau bangkai itu memang benar adanya.
Aku memandangi tanaman melatiku yang subur tanpa bunga, beribu tanda tanya menggalau dalam hati. Melati-melati ini tidak lagi berbunga sejak bau bangkai itu hadir di rumah kami. Dan itu berarti sekitar dua tahun lalu. Dan itu berarti sejak suamiku menjadi anggota parlemen di ibu kota Provinsi.
Aku mulai merunut. Sejak saat itu suamiku menjadi orang paling sibuk di rumah ini. Setiap hari waktunya hanya habis untuk rapat demi rapat. Bahkan malam haripun ia lebih sering menghabiskan waktunya di luar rumah, bersama teman-teman se parlemennya. Untuk rakyat, begitu selalu kilahnya ketika aku tanya ke mana.
“Pergilah usai magrib Bang, kita sholat berjamaah dulu.” Kataku suatu hari ketika kulihat suamiku sudah berkemas. Bajunya sudah rapi. Rambutnya disisir klimis. Badannya sudah wangi.
“Tidak bisa, sudah telat. Rapatnya dimulai jam tujuh.” Kilahnya cepat sambil meraih handphonenya di meja.
“Abang tidak sholat?”
“Kan bisa di qadha nanti.” Jawabnya santai.
“Apa? Mana bisa. Memangnya abang musafir.” Jawabku tak senang. Ah, sejak kapan suamiku mulai alpa pada jadwal sholatnya? Kemarin saat aku tanya mengapa ia tidak sholat asar dia bilang sudah dijamak ketika zuhur. Sejak kapan ia mulai menggampang-gampangkan kewajiban.
“Pergi dulu ya. Sudah telat.” Katanya terburu-buru.
“Bang !”
Percuma. Suamiku sudah menghilang di balik pintu. Beberapa menit kemudian kudengar suara mobilnya melesat pergi. Ada nyeri di ulu hatiku. Nyeri yang tidak bisa aku katakan.
“Untuk apa abang mencalonkan diri menjadi anggota legislatif. Bukannya aku tidak setuju, aku tahu abang punya potensi, tapi kalau sekedar untuk gaya-gayaan ya buat apa.” Kataku beberapa tahun yang lalu saat suamiku mengutarakan niatnya ingin menjadi anggota legislatif.
“Gaya-gayaan bagaimana?” Dia agak tersinggung rupanya. Aku diam saja.
“Kalau alasannya ingin membantu orang banyak kan tidak mesti dengan menjadi anggota dewan Bang. Dengan kehidupan kita sekarang juga bisa kok. Apalagi yang mau kita cari? Ketenaran? Materi? Untuk apa?”
“Bukan itu Ma, lembaga itu butuh orang-orang muda seperti kita, yang energik, punya ide-ide kreatif, visi dan misi yang jelas. Dengan begitu keinginan kita untuk mewujudkan kehidupan masyarakat menjadi lebih baik akan mudah diwujudkan.”
Aku tak banyak berdebat. Yang kutahu selanjutnya suamiku tetap melanjutkan niatnya. Bagaimana prosesnya akupun tidak tahu persis.
“Aku cuma khawatir abang berubah setelah menjadi anggota legislatif nanti.” Akhirnya aku menyampaikan isi hatiku yang sebenarnya. Dia hanya tertawa..
Ya, setelah itu. Setelah dia terpilih menjadi anggota legislatif aku mulai merasakan kelainan di rumah ini. Kebekuan mulai menjalar pada setiap penghuninya. Tak ada lagi keriuhan apalagi canda tawa di pagi Minggu. Kehangatan yang dulu terjalin menjadi cair dan mungkin sebentar lagi akan menghilang. Tidak ada lagi sholat berjamaah, tidak ada lagi acara makan malam bersama.
Suamiku menjadi orang paling sibuk di dunia ini. Rapat demi rapat. Agenda demi agenda. Proyek demi proyek. Ah, proyeknya semakin banyak saja.
Dan pagi ini, aku mendapati bangkai babi di bawah tempat tidur kami. Sementara suamiku meringkuk di atasnya. Persis di atas bangkai babi itu.
Masih ingat sepotong lagu yang pernah kau dengar? Yang kemudian membuat kita saling mencintai? Yang kemudian kusenandungkan di telingamu. Di tengah malam setelah bangunku dari tidur. Di tengah kesepian. Di temani kesyahduan. Yang memerindingkan bulu roma. Menggetarkan telinga kita. Menyipukanku dalam malu karena sebelumnya tak pernah kulakukan itu. Dan aku menyelesaikannya untukmu. Lagu itu begitu sempurna.
Masih ingat percakapan-percakapan selanjutnya setelah itu? Setelah kita saling mencintai. Setelah kita saling merindui. Setelah kita mengucapkan janji. Bukan untuk sehidup semati. Bukan untuk saling menelikung. Bukan untuk saling memiliki atau apapun. Tapi perjanjian untuk saling menghargai, saling menghormati, saling mencintai, saling menyayangi, saling merindui. Perjanjian untuk saling mengingat, ketika kita dilingkupi kejauhan, ketika kedekatan membekap kita. Melintasi ruang dan waktu.
Masih ingat kan?
Pengulangan itu terjadi, ditemani rintik hujan, ditemani senyap yang syahdu, ditemani kerinduan yang maha dahsyat. Maka aku kembali menyenandungkannya untukmu, Cinta. Dan angin mengirimkan pesannya untukmu, melodinya membelah langit, nadanya menyapu jagat, iramanya menyentak hatimu. Kita mengulangi ikrar cinta.
Adakah yang lebih istimewa dari mencintaimu? Tidak ada. Adakah yang bisa membuatku tidak mengingatmu sejenak saja? Tidak ada. Adakah yang bisa memaksaku untuk menceritakan tentangmu? Tidak ada. Semoga saja lelaki yang menanyaiku menjelang magrib itu tak pernah tahu tentangmu, Cinta. Sebab diamku di depannya adalah pertanda bahwa aku tak menginginkan pertanyaan itu.
Zal, debar jantungku; aku kangen kamu, aku kangen semua kebersamaan kita, waktu-waktu yang penuh kalimat panjang, canda tawa, penuh tautan untuk selalu bersama, saling berbagi dan mempermainkan waktu sebagai tali yang memintali percakapan kita.
Aku kangen tawamu, jerit dan marah manjamu. kangen suaramu yang masih disisai kantuk, juga jeda diantara tawa kita yang acap pecah bersama.
Aku rindu pagi Sabtu di bulan April itu, Zal. Mungkin kita tak perlu mengulangya di pagi sabtu bulan April berikutnya. Sebab semua hari adalah sabtu, dan semua bulan adalah april. dan setiap waktu adalah kerinduan. kerinduan yang tak pernah pupus. kerinduan yang selalu hadirkan harapan. dan harapan yang selalu hijaukan cinta.
Aku kangen kamu, kangen tawamu, yang begitu menggeletarkanku, kangen semua kicaumu, yang meski hanya dua patah kata, tapi selalu memantik api semangat dalam jiwaku, mengubah hari-hariku. kangen dengan pertanyaan-pertanyaanmu, yang kadang tak sepenuhnya bisa kujawab.
Zal, aku kangen kamu, kangen semuanya, semuanya...semua-muanya!
“The world hates change, yet it is the only thing that has brought progress- Dunia benci perubahan, sayangnya hanya itu yang akan membawa kemajuan” – George Kettering-
Pepatah di atas terlihat sederhana, tetapi untuk meresapi setiap katanya jelas membutuhkan kematangan akal dan pikiran yang tidak sederhana. Apalagi bila ingin mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, jelas membutuhkan latihan dan kerja keras. Barulah perubahan yang akan membawa pada kemajuan itu terwujud.
Tulisan ini bukanlah hasil dari penelitian yang ilmiah, tetapi muncul murni karena adanya keresahan yang mendalam dalam benak diri penulis.
Lama berkecimpung dalam masyarakat tampaknya dapat memberikan sedikit jawaban atas teka-teki mengapa mayoritas dari masyarakat kita susah menjadi maju atau berkembang.
Perubahan itu sendiri sifatnya umum, tergantung dari perspektif apa kita melihat dan menelaahnya. Tetapi dalam konteks ini marilah kita menyamakan sudut pandang bahwa perubahan itu sendiri adalah kesuksesan. Yang dapat meningkatkan integritas dari setiap individu, dan dapat membawa para pelakunya pada enam aspek kehidupan yang ideal dan seimbang yaitu spiritual, mental, keluarga, sosial, fisik, dan kemapanan secara finansial.
Kita semua tentu sepakat bahwa untuk mencapai kesuksesan yang ideal mencakupi enam aspek tersebut tidaklah mudah. Tetapi bukan tidak mungkin, artinya bila sedikit saja kita mau keluar dari zona nyaman pasti kita dapat meraihnya. Hanya saja untuk dapat keluar dari zona nyaman tersebut dibutuhkan sarana dan prasarana yang cukup seperti lingkungan dan informasi yang positif serta sikap antusiasme untuk bekerja keras dan bekerja pintar.
Kesuksesan milik semua orang, tetapi realitanya hanya sedikit orang yang mau memperjuangkannya. Ini tidak terlepas dari pemikiran bahwa untuk menjadi sukses hanyalah milik orang-orang mampu saja. Padahal untuk menjadi sukses tidak begitu rumit dan hanya dibutuhkan sedikit tenaga untuk mengeluarkan diri dari rasa kemalasan dan egoisme. Ada beberapa hal yang dirasa cukup mempengaruhi apakah seseorang bisa meraih keberhasilan ata tidak dalam hidupnya yaitu:
Impian. Bagi sebagian besar kita tentu masih merasa asing dengan kata-kata impian. Itu tidak seluruhnya salah sebab selama ini pembicaraan mengenai impian hanya terbatas pada tingkat Sekolah Dasar saja. Setelah dewasa kita bahkan menjadi lupa pada hal-hal besar yang ingin kita capai. Kita cenderung mengikuti kemauan lingkungan tempat di mana kita tumbuh dan berkembang.
Bagi mereka-mereka yang ingin terjadi perubahan berarti dalam hidupnya akan mustahil terjadi tanpa adanya impian. Impian adalah visi jangka panjang. Hal mendasar yang harus dipunyai oleh personal maupun lembaga tertentu yang ingin tetap terus bertahan di muka bumi ini.
Pikiran. Kedengarannya memang sederhana, tetapi percayalah segala sesuatu yang besar dimulai dari pikiran. Pikiran yang positif akan melahirkan tindakan yang positif, tindakan yang positif akan melahirkan kebiasan yang positif sehingga dengan sendirinya akan mengubah karakter diri seseorang. Nah, karakter positif inilah yang akan membawa kita pada perubahan sesuai dengan yang kita inginkan.
Kita akan sulit maju dan berkembang bila mempunyai pemikiran yang sempit seperti halnya kepesimisan yang bisa melanda siapa saja. Rasa putus asa yang tinggi ataupun munculnya rasa tidak percaya diri yang bisa menghambat proses bertumbuhnya diri seseorang.
Pikiran yang positif ini akan membuat kita terfokus pada pemecahan masalah setiap mengalami kendala tertentu dalam menjalankan aktivitas. Berbeda dengan orang-orang yang berfikiran negatif, mereka lebih terfokus pada masalah sehingga banyak hal-hal yang seharusnya bisa dicapai menjadi tidak mungkin.
Kepercayaan dan nilai; Keberagaman beliefe dan value yang dianut oleh masyarakat juga sangat menentukan apakah mereka bisa mencapai perubahan itu atau tidak. Sebagai contoh misalnya, ketika kita beranggapan bahwa dunia politik itu kejam dan licik maka jadi kejam dan liciklah politik itu sendiri. Sehingga akan sulit untuk mewujudkan iklim perpolitikan yang bersih.
Sama seperti halnya ketika kita beranggapan bahwa seseorang yang memiliki uang banyak akan menjadi sombong dan angkuh, maka kita akan takut untuk menjadi kaya. Kepercayaan dan nilai tersebut akan melekat di alam bawah sadar kita sehingga akan membentuk prilaku. Uniknya, manusia hidup dengan kepercayaan dan nilai yang berbeda pada setiap individu, oleh karena itu tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah dalam hal memandang sesuatu. Kondisi ini membuat kita tidak bisa sembarangan dalam menghakimi seseorang.
Goals; setiap dari kita tentu sudah sangat familiar dengan kata ‘misi’. Misi selalu bersanding dengan ‘visi’. Artinya sebesar apapun visi yang kita rancang untuk hidup kita maupun untuk organisasi tertentu, akan menjadi tidak berarti bila tidak ada misi. Misi dan goal mempunya arti yang sama. Goal adalah target jangka pendek di mana dalam penentuan target tersebut ada tenggang waktu yang dibuat. Misalnya bila seseorang mempunyai visi menjadi seorang penulis terkenal, misinya adalah ia harus menghasilkan karya dalam jangka waktu tertentu.
Kegiatan harian; banyak orang yang menyepelekan hal yang satu ini, tetapi tanpa daily activity yang jelas sebesar apapun impian dan sebagus apapun goal yang sudah dirancang akan hancur berkeping-keping. Daily activity ini adalah proses latihan yang perlu dilakukan berulang-ulang secara terus menerus hingga menjadi kebiasaan. Siapapun yang mempunyai impian besar harus bisa mengatur jam demi jam waktu yang mereka punyai setiap harinya. Sehingga jelas apa saja yang mereka lakukan untuk mencapai target yang sudah ditentukan.
Kegiatan harian ini merupakan hal-hal kecil hasil penjabaran dari goals yang telah dibuat. Namun dalam pelaksanaannya tidak semua orang mampu melakukannya dengan baik, karena itu dibutuhkan impian yang besar dan kuat untuk menggerakannya. Kita tahu bahwa hanya kebiasaan-kebiasaan kecil yang berkelanjutan saja yang bisa membawa dampak besar bagi pelakukanya, siapapun anda.(*)
tulisan ini pernah dipublikasikan di Majalah Potret edisi 29, november 2009
Mati! Kata yang begitu mengerikan bagi seseorang seperti saya. Walaupun usia masih muda tetapi penjemputan oleh Izrail bisa terjadi kapan saja. Bisa siang, bisa malam, bisa pagi bisa sore, bisa di rumah, bisa di jalanan. Bisa ketika terang, bukan tak mungkin ketika dalam gelap gulita. Apalagi dengan bekal yang masih nol besar. Ketakutan itu sering sekali menghantui. Apalagi ketika sendirian. Membayangkan kubur yang gelap, binatang tanah yang liar, dan siksa kubur yang azab. Dan Malaikat-malaikat yang tak kenal ampun. Sungguh pembayangan yang memerindingkan bulu roma.
Anehnya, aroma kematian itu kerap menghinggapi saya dalam seminggu terakhir ini. Mengaduk-ngaduk ingatan untuk terus mengingatnya, memikirkannya, hingga melahirkan ketakutan berulang-ulang. Semoga ini bukan pertanda bahwa kematian akan menemui saya dalam jarak yang begitu dekat. “Bekal saya masih nol besar ya Allah”.
Tapi ini sungguh mengganggu.
Bermula jumat siang (13/11) ketika seorang teman mengirimkan pesan singkat, mengabarkan kematian ayah seorang teman yang telah lama mengidap penyakit. Sejenak aku terpana, menatap layar kecil hand phone-ku. Baru beberapa hari yang lalu kami berkunjung ke rumah teman tersebut. Ah, betapa cepatnya waktu berproses.
Aku mengabaikan pesan tersebut, dan terus melanjutkan pekerjaan.. Mengecek barang-barang pesanan. Lalu mengirimkan email.
Tak lama berselang seorang teman dekat menelefon. Mengajak berkunjung ke rumah duka. “Tunggu lima belas menit lagi.” Kataku.
***
Malamnya suasana kematian semakin lengkap. Sosok ayah teman yang terbujur kaku hadir dalam mimpi. Tertidur dalam ranjang terakhirnya. Menampakkan ketirusan wajahnya dalam balutan kafan yang putih. Padahal dalam kehidupan nyata, saya bahkan tidak pernah melihatnya sekalipun.
Saya berdamai dengan diri sendiri. Tetap mengawali Sabtu dengan keceriaan seperti biasa. Melakukan rutinitas dengan penuh semangat. Mencoba melupakan segala hal menyangkut dengan kematian.
Menjelang pukul sepuluh pagi saya ke luar dari Tempat Biasa, ban sepeda motor saya mencium setapak demi setapak aspal hitam yang lembab. Terus melaju hingga berpuluh kilo meter jauhnya ke luar dari kota Banda Aceh. Di area persawahan Samahani, mendekati pasar Samahani yang kecil, sebuah gubug kecil sungguh menarik perhatian saya. Karena di gubug itu dijual ikan bakar dan ikan kayu.
Dari kejauhan aromanya telah mengusik indra penciuman saya. Menghadirkan rasa lapar yang begitu kuat. Ikan-ikan Tongkol dijerangkan di atas pemanggangan. Asapnya mengepul. Aromanya mengitari jagat sekitar. Membayangkannya saja sudah membuat air liur menetes.
Tetapi saya tidak berhenti di situ. Sebab tujuan saya memang bukan ke tempat itu. Melainkan ke desa Tumbo Baroe, Samahani.
Akhirnya saya sampai juga ke tempat tujuan. Tak ingin membuang waktu, sebab saya masih harus ke kecamatan Simpang Tiga. Begitu bertemu dengan orang yang saya inginkan, transaksi segera dimulai. Proses pembayaran terjadi begitu cepat. Dua puluh menit saya di situ. Setelah itu kembali ban sepeda motor saya bergumul dengan hitamnya aspal yang lembab. Sebab langit telah kirimkan rintik.
Tetapi ada yang aneh dengan suasana di sekitar gubug yang saya lewati tadi. Bukan karena aroma ikan bakarnya yang berubah. Bukan pula karena ikan-ikan kayu itu tergeletak di atas penjerangan. Berwarna putih. Putih! Entah mengapa tiba-tiba saya kembali teringat pada prosesi kematian. Mungkinkah ada orang tenggelam di irigasi di sepanjang jalan persawahan Samahani? Melihat begitu panjangannya antrian di sisi kiri dan kanan badan jalan.
Tetapi sepertinya bukan orang tenggelam. Sebab kerumunan orang-orang bukan di pinggir irigasi melainkan di ruas jalan. Ah, aku melihat polisi dari kejauhan. Serta merta hatiku menjadi lebih cepat berdetak. Apakah kemungkinan ada rajia besar-besaran? Bila benar, mungkin kali ini aku harus merelakan uang seratus atau dua ratus ribu melayang. Sebab aku belum mempunyai Surat Ijin Mengemudi atau SIM. Pengendara nekat!
Ugh! Hatiku semakin kacau, sebab jarak dengan polisi-polisi itu semakin berdekatan. Aku mengantri di antara pengendara-pengendara lainnya. Ban sepeda motorku lebih cocok dibilang merayap, dengan kecepatan tak melebihi kecepatan Siput berjalan.
Tapi, tampaknya bukan rajia. Tapi apa? Wajah orang-orang terlihat ketakutan dan pias. Mereka semua menoleh ke sebelah kanan badan jalan menuju Banda Aceh. Ada apakah gerangan?
Kembali kematian menjalari ingatan. Dan aku semakin yakin. Pasti telah terjadi sesuatu. Segera kubuang pandangan dibalik kerumunan orang-orang. Dan oh! Innalillah! Sesosok orang tergeletak di pinggir jalan. Ia tersungkur. Dengan helm tergeletak di sampingnya. Ia mengenakan celana jeans berwarna biru, dan di kakinya berbalut sandal gunung. Entah merk apa. Pastilah ia seorang laki-laki pikirku. Aku mencari-cari kepalanya. Tapi tak kudapati. Mungkinkah kepalanya hancur? Dan yang bercecer di sampingnya adalah otak yang selama ini menempati cangkang kepalanya. Aku ngeri. Baru kali ini sejak tujuh tahun di kota ini aku menyaksikan kecelakaan di jalan raya. Dan lagi-lagi kematian begitu merajai.
***
Kematian milik siapa saja. Wajib hukumnya bagi yang hidup. Dan Tuhan selalu mengingatkan kita melalui apa saja. Melalui kejadian orang lain ataupun kejadian yang kita alami sendiri. Malam harinya, melalui sebuah jejaring social saya kembali mendapati kabar bahwa teman nenek saya siang tadi juga meninggal dunia. Ah…akhir pekan yang begitu mistis.
Dan sepertinya kemistisan itu masih berlangsung di awal pekan ini. Sebab pagi-pagi sekali sebelum terbangun sebuah sms masuk, juga mengabarkan berita kematian seseorang.
Dan siangnya, ketika saya hendak makan siang lagi-lagi berita kematian muncul melalui layanan short message service.
***
Begitulah. Segala sesuatu tidak terjadi dengan sendirinya. Semua sudah digariskan oleh Allah di Lauh Mahfud sana. Bahkan untuk selembar daun yang jatuh dari pohon. Begitu juga dengan kematian.
Jika saja manusia sama seperti hewan yang dapat melihat kematian. Tentu dunia ini tidak akan riuh dan gegap gempita dengan berbagai kegemerlapan duniawi. Manusia akan seperti Gagak yang sebentar-sebentar berteriak “Kwak kwak kwak” karena bisa melihat kubue teuhah.
Dan, tentu saja rumah-rumah ibadah lebih ramai. Kekhusyukan di mana-mana.
Sayangnya, kematian tidak bisa diramal. Bila bisa tentu ayah teman saya itu akan mengatakan kepada anaknya untuk tidak perlu repot-repot mencarikan darah untuknya. “Karena sebentar lagi ayah akan pergi, Nak”. Atau pemuda yang meninggal di pinggir jalan Samahani itu, bila dia tahu Izrail menunggunya di pinggir jalan itu tentu pada hari itu dia tidak akan ke Banda Aceh.
Tetapi kematian tidak dapat diramal. Bila bisa, ingin sekali awal tahun 2008 lalu saya mengatakan “Ayah, sembuhlah, bila ayah sembuh maka ayah tidak perlu ke Meulaboh untuk berobat. Karena di Meulaboh kematian telah menanti. Ayah, teruslah hidup untuk kami, anak-anakmu.”
Tetapi kematian memang tidak dapat diramal. Bahkan ketika jenazah ayah datang saya masih bertanya-tanya “benarkah ayah sudah tiada?”
“Mau ikut minum kopi bareng aku? Mungkin pada segelas kopi kita menemukan jawaban atas masalah kita”.
Melalui short message service aku mengajakmu. Hanya sebuah basa-basi yang benar-benar basi. Sebab, kalaupun kamu mau sudah pasti itu mustahil kau penuhi untuk saat ini. Jarak yang beratus-ratus kilo meternya adalah jawaban mengapa aku cukup berbasa-basi.
“Tos! Gw juga lagi ngopi kaleng. Sambil mikirin keruwetan ini hahahaha” jawabmu melalui media yang sama.
Setelah saling beradu argumen tadi aku ingin sekali melihat wajahmu. Apakah kau benar-benar bisa tersenyum lega, atau senyum penuh kesatiran seperti yang kulakukan. Senyum untuk mengelabui orang-orang di sekitar kita. Senyum untuk menyembunyikan kelemahan kita. Senyum tegar seorang ayah dan suami. Atau senyum keikhlasan seorang kekasih. Tapi paling tidak seperti yang kukatakan padamu, i feel better today.
“Keruwetan diciptakan Tuhan untuk dinikmati” jawabku lagi.
Gundah ini membatu setelah bertahun-tahun waktu terlalui begitu saja. Aku yang sering terdiam menjemput gelisah setiap kali menjelang tidur. Bahkan mimpi yang datang sebagai bunga tidur tak ada satupun yang bisa membuatku senang. Hingga pagi kesubuhan membuatku terburu-buru untuk segera beranjak lalu segera ke luar untuk memandang matahari. Lelaki bukan suamiku menanti di sana. Dalam wujud yang hanya aku sendiri yang dapat memaknai.
“Setiap kali kamu merinduiku, ke luarlah dan lihatlah matahari pagi. Aku akan ada di sana untukmu. Hanya matahari pagi, Sayang.” Ucapnya belasan tahun yang lalu. Hangat sentuhan tangannya di pipiku masih kurasai sampai hari ini. Mesra tatapannya masih bergelantung dalam pundak ingatku. Nafasnya yang harum masih kuhirup hingga detik ini.
Mematung aku di bawah langit. Hangat merayap menjalari seluruh tubuhku. Kusapu lembut kehangatan itu pada wajahku yang kian kusut. Desir darah mengalir deras dalam nadiku. Ia hadir hinggap di tubuhku; lelaki bukan suamiku.
“Maka aku akan datang untuk redam gejolakmu.” Lanjutnya ketika itu. Aku mengangguk. Pasrah. Menurut. Sebab hanya itu yang bisa membuatku hidup. Dia; lelaki bukan suamiku.
Muram ini membeku sejak belasan tahun yang lalu. Maka kucairkan ia dengan kehangatan matahari pagi sebagai reinkarnasi wujud dari lelaki bukan suamiku. Aku menyebutnya persetubuhan jiwa.
Usai ritual tersebut aku kembali menjadi diriku, istri bagi suami yang harus kuhormati, kupenuhi haknya, kulayani sepenuh hati. Tanpa keikhlasan yang terus tumbuh layaknya usia kami yang terus menua. Tak pernah ada yang tahu. Sebab gelisah ini hanya milik mata yang enggan terpejam meski malam telah tua. Risau yang hanya milik hati yang telah grafirkan inisial lain. Lelah yang hanya milik ingat yang tak pernah gagal dalam mengenang kisah.
Ritual yang telah belasan tahun kulakukan. Tanpa alpa seharipun. Bahkan pada pagi pertama setelah kami melakukan ijab kabul. Ritual ini nafasku. Maka ketika hujan datang, akulah orang paling gelisah. Sebab aku tak menemui wajah kekasihku di pagi hari. Sebab aku tak bisa mencium aroma tubunya yang hadir dalam burai-burai perca cahaya. Sebab tangannya tak bisa hinggap di tubuhku. Sebab ia tak datang bersamaan dengan hujan.
“Aku hanya menikahkan jiwaku sekali saja dalam hidupku, dan itu telah untukmu” Kataku pada saat itu. Belasan tahun yang lalu.
Ketika itu diam adalah jawaban. Isyarat bagi hati yang sedang luka. Protes tak terucap atas keadaan yang tak sanggup ditentang. Hanya mata yang sanggup leraikan kecewa. Menaruh sedikit rasa percaya atas apa yang ditasydidkan hati. Selebihnya adalah gemuruh yang lelehkan bening di kelopak mata.
“Kebahagiaan itu di sini.” Aku menaruh tangannya tepat di dadaku, agar ia bisa merasai bahwa aku berkata benar. Jantung ini berdetak kencang mengiyakan. “Selama kamu ada di sini aku akan selalu bahagia.” Kataku meyakinkan diri.
Maka, ketika pagi ini aku bangun terlambat adalah kekhilafan terbesar dalam hidupku. Matahari telah menerangi setiap celah di kamar tidurku. Aku memicingkan mata. Beranjak bangkit menuju jendela. Kusibak horden berwarna coklat muda berenda penutup jendela kamar tidur kami. Aku dan suamiku. Matahari menerobos liar menyinari tubuhku yang setengah terbuka. Kutarik tirai dan segera kututupi tubuhku.
Mataku menjeling pada sesosok laki-laki yang masih meringkuk di tempat tidur. Dialah suami kehidupan nyataku. Air mataku meleleh. Ada penyesalan yang teramat sangat dalam diri ini. Nyeri yang bertubi-tubi. Jika saja, ah... Seandainya aku tak menuruti permintaan lelaki suamiku usai subuh tadi tentu semua ini tidak akan terjadi. Matahari tentu tidak akan menyelinap masuk untuk menghukumku.
“Jangan pernah biarkan aku menunggu. Sebab aku akan selalu datang tepat waktu.” Ucap lelaki bukan suamiku belasan tahun yang lalu. Dengan ucapan yang ditegar-tegarkan. Dengan suara yang dinyaring-nyaringkan. Aku mengangguk kala itu.
Maka gundah ini tak lagi sekedar batu biasa. Tetapi ia telah menjadi karang yang begitu kokohnya. Aku telah melanggar janjiku. Dan aku semakin membenci lelaki suamiku yang telah membuatku kehilangan berkali-kali. Dan lagi aku tak kuasa menolaknya pada subuh-subuh berikutnya. Pertemuan yang terus cokolkan benih dalam rahimku.
Dan aku, semakin jauh dengan matahariku. Lama aku tak merasai hangatnya yang menjalari tubuhku, lama aku tak merasai sentuhannya yang mengusik adrenalinku. Lama aku tak merasai harum mulutnya yang hadir dalam burai-burai perca cahaya. Semakin lama dan lama. Hingga akhirnya ia tak datang lagi. Aku kehilangan cintaku.
Karena musim penghujan telah menelan hingga sepanjang tahun ini. Akulah orang paling gelisah itu. Karena setiap malam adalah surga bagi kebencianku. Hujan yang sematkan rintik di mataku. Dan salju yang semakin membeku dalam jiwaku.
Luka yang berkeping-keping. Hukuman yang tak terampunkan. Ke mana aku mencari reinkarnasinya yang lain. Tak mungkin dalam hujan. Sebab ia tak mungkin datang pada waktu yang bersamaan.
Dan entah sejak kapan matahari tak pernah muncul lagi dalam hidupku. Tulang belulangku mulai keropos. Aku tak henti memaki diri. Sesal. Kesal. Aku ingin meraung. Lidah ini mulai kehilangan banyak kata. Sepi suara. Ingatan ini mulai terkelupas, bahkan untuk mengingat wajah lelaki suamiku. Mata ini mulai berkabut. Hingga akhirnya kudapati matahariku dalam wujud yang lain. Api yang menyala merah kebiru-biruan. Membumbung tinggi menjerla ke langit. Terang. Hangat. Matahariku telah kembali. Maka kujejakkan kaki di atas baranya yang merah. Aku tidur memeluk matahari. Selamanya. (Ihan)
00:52
22-10-09
* cerpen ini sudah dimuat di Koran Harian Aceh, edisi Minggu, 08 November 2009
Suatu malam diawal bulan November. Pada tahun ke delapan usia pernikahan kita. Aku ingin hujan turun malam itu. Lalu mengirimkan kabut-kabut kepadaku. Dan hujan benar-benar turun kala itu, tapi di matakuku. Dan kabut benar-benar ada, tapi di hatiku.
Aku terseok pada kebingungan yang menggulana. Nostalgia lama yang kembali melilit setengah jiwa yang telah lama hampa. Aku terdepak dari keputusan akut. Di antara rintik hujan, di antara asap kabut. Di mataku. Di hatiku. Di antara kehadirannya.
Aku tergeletak dalam palung labirin keruwetan keinginan. Rindu yang membabi buta, dan kebersalahan yang membentang dalam ingatan. Setengah hatiku tercabik, dan setengah yang lainnya bertumbuh. Sebagai syukur atas anugerah yang telah Tuhan berikan. Kepadaku; kamu dan anak-anak kita.
Aku gugu dalam diam. Pada malam diawal bulan November tahun ini. Pada tahun ke delapan usia pernikahan kita. Aku ingin hujan turun malam itu. Lalu mengirimkan kabut-kabut. Dan hujan benar-benar turun, untuk mensucikan ingatan dari kejelagaan masa lalu. Dan kabut benar-benar ada, untuk membatasi jarak pandang dengan masa pada waktu itu.
Note;
Kepada seseorang; aku tak berharap persamaan kisah. Bilapun sama, mungkin kita harus banyak berdoa; agar hujan dan kabut lebih banyak turun dalam kehidupan kita.
Lama aku tak mencandaimu, mungkin waktu selama ini lebih banyak milik hening daripada milik kita. Ritme yang tidak teratur sering kali pertemukan kita pada persimpangan yang tidak searah.Dan aku berusaha mengerti. Sebab waktu mungkin memang sedang menguji kita. Aku dan kamu. Kita berhenti untuk kekalahan, atau kita bertahan untuk kemenangan. Dan aku lebih menyukai yang ke dua. Sebab kau selalu ajarkan itu padaku melalui cintamu.
Siang ini, kau membuatku tercenung, diam dalam kebermainan rasa yang menyelubungi benak. Menggoda diri ini untuk terus bertanya pada diri. Mungkinkah sudah ada yang berkurang setelah faselita ini? Apa benar semuanya mulai terlihat tak sempurna? Ataukah memang apa yang ada di hati ini bukan lagi seperti faselita yang lalu.
Tapi sejak semalam aku mengingatmu, semalamnya lagi, semalamnya lagi, aku sering memimpikanmu, aku sering kesal karena setiap hari tidak bisa bilang rindu padamu. Aku sebal karena harus menunggu lama untuk bisa membelai wajahmu. Aku menemukan jawaban; Aku masih mencintaimu persis seperti aku mencincaimu lima tahun yang lalu!
Kampung ini kampung surga. Namun tak pernah kulisankan, sebab surga dalam benak setiap orang adalah perbedaan. Sedang bagiku, surga adalah tempat di mana aku bisa tumbuh dan hidup dengan nyaman, tanpa ketakutan, tanpa tangisan, tanpa air mata. Yang selalu memberi tenang dalam damai. Yang selalu tawarkan tawa.
Tempat di mana setiap bukitnya dapat ditunggangi layaknya kuda Sumbawa yang perkasa. Yang membentangkan permadani rumput hijau. Tempat untuk menyaksikan terbenamnya matahari yang merah. Ketika langit mengulumnya pelan-pelan, dan meninggalkan cupangannya sepetak-sepetak di atas tanah.
Ternak-ternak yang bahagia, karena setiap hari digembalakan oleh anak-anak dari kampung surga. Yang tak pernah memancangkan tali-talinya di patingan permanen.
Tempat di mana setiap lembahnya muncul mata air untuk diminum, dipakai mandi, mencuci atau untuk cebok sekalipun. Untuk berkubangnya kerbau dan babi hutan. Bahkan tempat bagi berkembang biaknya lintah yang menjijikkan.
Surga adalah tanah yang subur bagi segala jenis pohon, bahkan dedaunan tidak bernama yang bisa dimakan untuk lalapanpun dapat tumbuh di sana. Tempat batang-batang pisang beranak pinak. Tempat bagi perdu-perdu tebu yang gemuk dan segar. Dan padang ilalang.
Tanah yang banyak mempunyai jalan setapak tanpa beraspal. Ketika musim kemarau tanahnya kering berdebu dan ketika musim hujan menjadi becek. Dan kami terbiasa hidup tanpa keluhan. Itulah surga, kesederhanaan yang bisa melapangkan jiwa penghuninya. Tempat di mana burung bisa bertelur dan mengeramnya di mana saja. Di pinggir jalan, di semak-semak belakang rumah, di dahan-dahan pohon pinang. Surga memberikan ketenangan untuk tidak mengusik. Hingga burung-burung itu menetas, dan ramaikan kampung surga kami.
Kampung ini kampung surga. Tapi tak pernah kulisankan. Sebab surga hanya untuk dinikmati, bukan untuk diceritakan. Tetapi ia terus lekat dalam otakku, bahkan sejak aku belum mengerti apa itu surga. Bahkan ketika surga itu pelan-pelan tercabik aku tetap menamainya surga, karena surga itu sebenarnya ada dalam pikiranku.
Di kampung surga ini dulu aku belajar mengaji alif ba ta pada guru ngaji yang juga nenekku, di sekolahnya yang pernah dibakar aku belajar pelajaran Pendidikan Moral Pancasila dan Bahasa Indonesia. Tetapi rupanya gara-gara aku bisa bahasa Indonesialah ada orang yang tidak kukenal pernah memarahiku. Kata mereka itu bukan bahasa kami. Orang-orang itu pastilah tidak tahu pelajaran Pendidikan Moral Pancasila makanya mereka kurang bermoral.
Seingatku, kampung surga tak pernah melarang kami untuk berbahasa apa saja. Jika bisa mungkin kami juga akan diijinkan berbicara dalam bahasa hewan dan tumbuhan. Seperti pada masa jaman Nabi Sulaiman. Bila begitu, alangkah mudahnya menggiring sapi-sapi milik kami setiap sorenya pulang menggembala dari bukit surga. Kemudian aku mengerti, itulah awal prahara bagi kampung surga.
Pun di kampung surga ini aku pernah belajar mengaji mengenai rukun iman dan rukun islam. Tapi keimanan dan keislamankupun sepertinya biasa saja. Alhamdulillah aku masih bisa mengaji, kalau tidak aku akan sangat malu pernah hidup di kampung surga.
Kampung surga kami mengajarkan kemandirian, ciri khas anak-anak kampung. Kemana-mana selalu bersama-sama teman sebaya, menggembala (aku lebih suka menyebutnya ngangon), mencari kayu bakar, mandi, mencuci, pergi sekolah, mengaji, main petak umpet, main pasaran, main rumah-rumahan, main perang-perangan.
Kampung ini tak pernah mengajarkan perkelahian, tetapi mengapa darah akhirnya bisa mencucur dari tubuhnya yang terus dewasa? Tapi yang pasti ini bukan keinginan kami meski kami sering main perang-perangan, yang senjatanya dari pelepah pisang ataupun batang rumbia.
Kampung ini ajarkan kami untuk hidup dengan bekerja keras, membantu orang tua apa saja yang kami bisa, entah memetik coklat di kebun, atau menanak nasi di rumah, mungkin juga membantu mencuci sepatu sekolah kami sendiri.
Rumah-rumah kami adalah pondok-pondok yang dibangunkan Allah untuk kami di atas tanah surga. Tanah yang ditumbuhi pohon-pohon kelapa, pinang, cokelat, dan rerumputan. Rumah-rumah yang diterangi matahari ketika siang dan disinari bintang dan rembulan ketika malam. Ketika lebaran, kampung surga kami ramai diterangi suluh-suluh bambu yang benderang. Dan juga lilin-lilin yang kami pasang di dalam tempurung.
Kampung ini benar-benar kampung surga. Kampung yang telah lekat dalam ingatan, sebab puing-puing kehidupan kami masih berserakan di sana. Di bukit-bukitnya yang anggun, di lembahnya yang menjuntai-juntai, di lorong-lorong jalannya yang mempesona, di sarang-sarang burungnya, di leguhan binatang malam.
Kampung surga adalah kampung yang tidak bisa dilupakan. Meski telah satu dasawarsa surga itu telah berpindah tempat. Bukit-bukitnya menjadi setengah belantara kini. Lembah-lembahnya telah menjadi tempat babi hutan berkembang biak. Mata-mata airnya telah sumbat. Parit-paritnya telah dangkal. Rumput-rumputnya mongering. Sebagian pohon-pohon kelapa kami berganti, menjadi karet dan kelapa sawit. Lalu gajah datang memamah hingga ke akar tunggalnya yang terbenam dalam tanah.
Kampung surga kami kampung ingatan. Karena disanalah aku belajar tentang rasa peduli dan kehilangan. Kampung surga adalah kampung yang selalu hadirkan rindu berkepanjangan. Untuk kembali mencumbui lekuk bukitnya, atau sekedar mencandai keluguannya. Atau untuk merasakan kehangatannya tatkala matahari setinggi dhuha.
Kampung surga adalah kampung kenangan. Tempat tersimpannya bait-bait dialog ketika masa sekolah dan mengaji. Rupa-rupa yang masih menggantung di setiap dinding kampung. Tawa yang masih menggelegar setiap detiknya, riang, sorai, riuh, tanpa beban. Dan cengkerama yang tak pernah usai dalam ingatan.
Aku mencari kampung surga ke mana-mana, tapi tak ada yang sama dengan kampung surga milikku. Kampung yang selalu berikan damai dalam tenang, bahkan dengung nyamuk dan leguhan jangkrik di malam haripun mampu menjelma menjadi kidung yang melenakan. Desau daun, lambaian nyiur dan desis angin adalah teater alam yang tak pernah putus.
Aku ingin bersemedi dalam hatimu. Karena rupanya di sana bermukin segala macam telaga. Bening yang suguhkan damai bagi hati gundahku. Gemericik yang senantiasa pesonakan keteguhan. Untuk selalu berdetik meski sarat gelombang.
Aku ingin tenggelam dalam jiwamu. Jiwa seluas dunia tanpa dinding berkabut. Yang selalu pancarkan sinar harapan meski aku tahu sering kali mendung hinggap di sana. Kekhawatiran dan kecemasan bertubi, layaknya batu yang bertindih-tindih di atas punggung bumi. Tapi kau terus bertahan. Patahkan semua itu dengan senyum dari layar pinisi kehidupan kita.
Aku ingin tidur di pangkuanmu. Meski hanya dalam hayal kupenuhi semua keinginan. Pangkuan yang menenangkan. Sentuhan pada ubun-ubun yang hilangkan gemuruh.
Aku rindu!
Rindu untuk bersemedi di hatimu. Rindu untuk tenggelam dalam jiwamu. Rindu untuk tidur di pangkuanmu.
“Aku masih rindu, dan ingin menciummu sekali lagi”
Dan aku menciummu. Sekali lagi, maka tertebuslah rasa rindu yang telah tertahan seharian ini.
Malam yang berlainan. Kau kembali hadir, dalam ruang diri yang selalu basah. Membuat hatiku seketika bergetar hebat dan otakku berfikir cepat. Meraih sejuk dari sekitar untuk segera tenangkan jiwa yang bergemuruh. Sungguh! Aku rindu. Aku tak bohong. Maka kuminta untuk segera menciumimu.
Bertukarlah cerita seharian ini, aku dengan ceritaku yang semalam, dan kau dengan kisah lemburmu yang menjelang tengah malam. Selalu ada kenikmatan dari pergumulan cerita itu. Seolah seperti bermandikan kembang tujuh rupa, selalu ada kesegaran, wewangian yang menghampiri dan gelora yang memanjangkan asa.
Menjumput-jumput dalam labirin benak, memutar-mutar liang ingat, biarkan aku mencintaimu dengan caraku.
---
Mungkin mengingatmu adalah bara. Tapi dengan bara itu aku hidup. Seperti kepulan asap batubara yang mampu lajukan gerbong kereta melalui lajur-lajur rel yang tajam. Mungkin mengingatmu adalah panas dari matahari yang membakar. Tetapi dengan panas itu mampu munculkan cahaya bagi kehidupan jagat. Mungkin mengingatmu adalah bandang berlumpur. Tapi dengan Lumpur itu mampu menyamak seluruh najis yang bertaburan. Mungkin mengingatmu adalah dosa. Tetapi dengan itupula aku teringat untuk menyeimbangkan hidup ini. (ihan)
Desah mengiring mentari menuju ambang malam, sebentar lagi kalam-kalam suci akan mengepak-ngepak hingga langit ke tujuh. Menyemerbak hantarkan pujian pada sang Rabb pemilik semesta.
Seperti biasa aku menaiki anak tangga sebelum akhirnya sampai pada pintu kamar yang telah kutempati sejak bertahun-tahun yang lalu. Kali ini ada yang berbeda dari hari-hari kemarin, kemarinnya lagi bahkan kemarinnya lagi, bahkan sejak bertahun-tahun yang lalu.
Terang menyambut begitu pintu utama kubuka, rupanya ruang tamu yang dulunya gelap dan telah alih fungsi menjadi motorcycle port kini telah dipasangi lampu. Entah kapan, karena malam kemarin ruangan ini masih kudapati gelap gulita.
Dua kamar kulalui seperti biasa, namun setumpuk benda aneh yang terletak dipinggir sumur mengalihkan perhatianku. Benda yang dulu pernah ada di rumah ini, namun kejadian besar lima tahun yang lalu membuatnya menjadi terkebiri dan tak lagi berfungsi. Iapun telah berganti wujud menjadi besi tua berkarat yang tak lagi dibutuhkan. Benda itu masih tetap bernama pompa air namun aku tak tahu merknya apa, masih berkilat dan baru. ”Tadi sore” jawab teman yang sedang di kamar mandi saat kutanya kapan benda itu dipasang.
Kaki ini melangkah, memijaki tubuh tangga yang begitu pasrah tanpa penolakan. Ada yang berubah dari tatanan rumah ini. Kardus-kardus besar masih berserakan, berisikan perkakas yang belum disusun. Memenuhi sebagian ruangan yang tidak terlalu luas, rak piring, kompor.
Ah...Tuhan mengijabah doa rumah ini sepertinya, yang telah lama kesepian dan merindukan decah kaki yang berlainan. Ia rindukan keriuhan seperti dulu, rindukan asap-asap dari tanakan nasi dan tumisan sayur. Rindukan belaian banyak tangan pada dindingnya yang mulai kusam dan tua. Rumah yang ingin berikan kehangatan pada tubuh-tubuh yang kedinginan dipeluk tangan pagi. Rumah yang rindukan sapuan dari tangan yang berbeda pada setiap lantainya yang terpijak.
Rumah yang telah lama panjatkan doa, ucapkan selamat datang pada dua gadis itu. Biarlah aku yang menepi untuk tak lagi merasai kehangatanmu pada malam-malam yang dingin. Aku mengikhlaskanmu untuk dirawat olehnya, sebab aku tahu, aku tak bisa menjadi sempurna untukmu. Biarlah ia yang selalu membuatmu tersenyum karena ada yang menemani sepanjang hari. (Ihan)
“I will kill him if he leave me, couse he take it my something special in my life. I really love him, i can’t life wihout him”
aku tertegun, mencoba menghadirkan sosok orang yang mengirimkan pesan tersebut, perempuan muda yang tak pernah kukenali seperti apa rupanya, yang kutahu suaranya begitu nyaring dan lembut, apalagi ketika ia sedang menceritakan siksa batinnya.
Kucoba resapi galaunya dengan jiwaku yang tak sepenuhnya berhasil, sebab pikiran ini masih harus terbagi untuk beberapa butir pekerjaan yang belum selesai. Tak ada keputusan dari pemikiran disela ketergesaan ini, antara menyelesaikan pekerjaan dan keputusan untuk memberikannya sepatah dua patah kata yang mungkin bisa membuatnya tenang.
Aku mulai mengantuk, dan tubuhku mulai terasa berat ditambah dengan perut yang lapar belum terisi makanan sejak lepas siang tadi. Penunjuk waktu tepat berada di angka 10.30 pm.
Kukemas ranselku yang masih berat begitu pekerjaanku selesai, aku menoleh ke luar, langit gelap dan jalanan terasa begitu lengang. Bulanpun entah ke mana, dan bintang sepertinya enggan bertandang.
Sesaat setelah itu aku melesat di jalan raya. Masih dalam sepi dan lengang. Kembali ingatanku menjalang, pada beberapa kalimat miris tadi. Terbayang wajah pemiliknya yang gusar dan kalut, mungkin juga rasa sakit hati dan kecewa yang berperbankan kesedihan dan rasa takut.
Ah....
Aku berhenti di depan sebuah gerobak penjual roti bakar di tepi jalan, kupesan satu dan mencari kursi plastik untuk menunggu. Masih ada sisa waktu untuk berfikir sebelum pesananku selesai. Berfikir untuk segera pulang dan menikmati roti bakar berisikan selai nanas dan strawberry, sekaligus berfikir kepada seseorang yang mengirimkan pesan tadi.
Benarkah ia akan membunuhnya? Tapi, apakah itu tidak berlawanan dengan kata hatinya? Bahwa ia sangat mencintai seseorang itu. Lalu mengapa ia ingin membunuhnya? Bukankah cinta –dari sumber apapun- selalu mengatakan bahwa sesuatu yang begitu sakral dan berharga, tumbuh atas dasar kerelaan dan sikap mau menerima tanpa pengecualian.
Lalu mengapa akhirnya timbul kebencian dan rasa sakit yang tak terperi, bukankah seharusnya mengikhlaskan sajajika cinta tidak lagi sesuai dengan keadaan yang diinginkan oleh pikiran, hati, mungkin juga nafsu.
Dua menit kurang dari pukul sebelas aku sampai ke rumah. Pikiran tentang sosok perempuan itu masih mengiang dalam ingatan.
Jika saja aku mengenalnya, jika saja ia ada di hadapanku sekarang, jika saja kami bisa berdialog saat ini. Aku ingin sekali bertanya padanya, ingin belajar, ingin berdiskusi, aku ingin diajarkan cara membunuh yang tulus.
Cara membunuh tanpa paksaan, tanpa kebencian, tanpa sakit hati apalagi kecewa. Aku ingin diajari cara membunuh perasaan yang kadung bercokol dalam diri ini. Yang tak lekang meski saban hari aku menggerusnya, yang tak pernah usang meski faselita demi faselita terlewati.
Perempuan yang entah! Ajari aku cara membunuh ingatan agar aku bisa meninggalkannya dengan sempurna., maka akan kuajari kau cara menyederhanakan hidup agar kau bisa mencintai dengan keikhlasan. (Ihan)