Bacalah tanpa harus menerima begitu saja.
Berfikirlah tanpa harus bersikap sombong.
Yakinlah tanpa harus bersikap fanatik.
Dan, jika anda memiliki pendapat,
kuasai dunia dengan kata-kata.
"Kesalahan terbesar yang paling sering dilakukan oleh banyak orang, adalah mereka tidak pernah mengatakan apa yang sebenarnya mereka rasa dan inginkan"
maka ia tidak ingin begitu. kepadaku ia bercerita, sambil duduk menghadap mata, hampir-hampir saja keluar salju dari mata beningnya, lalu ia menggigit bibir, berharap tidak ada yang basah. "Biar saja hatiku yang basah," tuturnya sendu, sendu yang berbalut tawa yang entah.
aku menatapnya, penuh tanya dan heran. benarkah ia baik-baik saja? tanyaku dalam hati. benarkah ia setegar karang, benarkah ia seperti yang terlihat? ceria, senyum dan penuh semangat?
"banyak hal yang bisa membuat manusia menangis, tetapi dengan menangis semuanya tidak akan menjadi lebih baik. maka, tidak menangis adalah pilihan yang paling baik". ia berdiri, matanya menatap lepas. mungkin ia memandangi jalan yang ramai, atau manusia yang hilir mudik, kadang ia tersenyum, kadang menghela napas. tapi aku tahu, ia menyimpan sesuatu.
aku tahu, tidurnya sering gelisah akhir-akhir ini. nafasnya sering tertahan. matanya sering merah, tetapi ia mengaku hanya karena debu. maka, begitu kejam debu itu, mungkinkah ia hadir di tengah malam buta, ketika ia terjaga dari tidurnya?
maka, ia kembali menunggu april, untuk kembali mengatakan betapa ia sangat mencintai, betapa ia sangat merindu. ia ingin bernostalgia, ketika sejak pertama kali ia mengatakan cinta "Betapa aku mencintaimu melebihi siapapun."
dan, tak ada yang lebih membuatnya bahagia, ketika ia menyentuh wajah, memeluk pinggang, dan mencium mesra pipi kekasihnya. dengan mata mesra penuh cinta ia berujar lirih "Kamu adalah lelaki yang pantas kusebut jiwa..."
aku hanya menyaksikan, betapa besar cintanya, betapa kuat perasaannya, betapa kata-katanya tak pernah berubah, sejak beberapa tahun yang lalu. sejak pertama kali ia mengatakan ia mencintainnya. "Karena aku tak ingin menjadi salah bagi jiwa dan batinku, aku tak ingin menjadi pembohong bagi hatiku." demikian selalu ia menegaskan.
aku mendengarkan, tuturnya begitu mempesona. ia begitu pandai menyimpan rasa, pandai memindai luka, ia begitu pintar meredam emosi. "Karena kemarahan tak pernah menyelesaikan apa-apa." lagi-lagi aku hanyut dalam tuturnya.
lalu, ketika pada suatu waktu, ia berkata bahwa ada cinta lain yang menggerogoti jiwanya, aku terhenyak, sibuk pada wajahnya yang satir dan pias. kuperhatikan, ingin kubertanya, tetapi sikapnya menjawab semua gundahku.
ia membalut murung dengan senyum, memintal kecewa dengan semangat, dan menambah ingat dengan pepatah-pepatah bijak yang tidak pernah kumengerti seperti apa maknanya. "Berilah obat kepada orang lain, bila kita ingin mengobati diri sendiri." mengertilah aku mengapa ia selalu tegar dan teguh. "Dan jangan pernah memandang sesuatu dari sisi yang sama..."
ia kembali duduk. matanya kembali berbinar. aku heran. secepat inikah ia mengobati dirinya? padahal aku tahu baru saja ia sangat kesakitan.
kadang aku mengikutinya, menelisik apa saja yang ia lakukan, mengintip ke bilik hatinya. ada siapa saja di sana. sungguh...bertabur nama-nama yang panjang dan unik. ia memang pencinta yang bisa mencintai siapapun...
jika pada akhirnya aku kembali jatuh cinta, siapa yang salah? keadaan yang membawaku pada liku yang unik, atau diri yang memang menginginkan cinta itu kembali ada? lalu, bila itu benar terjadi, kepada siapa pertanggung jawaban dicari?
hidup ini memang seperti kumpulan puzzle yang rumit, kadang terlihat biasa saja tetapi membutuhkan tenaga ekstra untuk bisa menyelesaikan setiap kepingannya. kadang, ia terlihat sangat rumit, tetapi padahal sangat biasa, dan memang biasa.
tetapi siapa sangka, kebiasaan itulah yang sering menjebak, karena rupanya yang tak jelas. dan rupa itu sering berubah-ubah wujud, kadang ia seperti malaikat yang menawarkan sejuta kedamaian dan salju yang sejuk, tetapi ia sedang menjebak. lain waktu ia berubah menjadi menyeramkan dan menakutkan, tetapi sebenarnya itulah yang nyata.
ketakutan kadang-kadang membawaku pada harapan yang aku sendiri sukar mewujudkannya. membawaku pada telikungan dan kelokan tindakan yang aku sendiri kadang tidak menginginkannya. tetapi darisanalah kenikmatakan terkadang bersumber. perselingkuhankah ini? mungkin iya, atau tepatnya perselingkuhan batin. tetapi janin yang mulai tumbuh bukan hasil dari buaian batin.
kenapa langit tiba-tiba berubah warna, ia tak lagi jernih, terpantul dari pikiranku yang gelap dan kalut. aku gelisah, seperti musafir yang rindukan oase. sementara hati semakin jerang, merindukan salju yang benar-benar putih. jika saja, sesuatu yang sudah terbentuk bisa kembali keasalnya. atau ia berusaha untuk mengerti seperti apa gelisahku, pastinya ia akan berfikir biarlah aku tak berwujud saja.
ini bukan kegelisahan biasa. ini gelisah yang dibalut dengan bahagia dan rumit. ketika sesuatu membelit dalam perut yang belum terbentuk, menerjang seperti ombak yang menyergah karang. maka jiwa inilah sakitnya. redamnya seperti serbuk yang ditumbuk dengan puluhan alu-alu panjang.
ketika aku berharap penyelesaian. bukan hanya soal iya dan tidak. karena sebenarnya kata tak lagi berarti bila diri telah terlanjur terjadi sesuatu. pantaslah bila ini kuberi nama Bahagia yang Tak Indah. menyenangkan tetapi juga meregam nyeri yang amat sangat. melesak seperti batu yang melesat dari ketapel tua yang hampir patah. maka...ketika cinta itu benar-benar datang...cinta siapa yang harus disambut? yang memberi kehidupan, atau yan menginginkan kematian????
*catatan seorang ibu, yang jatuh cinta lagi ketika usianya tak lagi muda.
ada badai yang bergemuruh dalam jiwa meliukkan seluruh pertahanan dan kebersahajaan ada gelombang yang bertali saling menghempas memukul dan menerjang tanpa permisi
kukurung matahari dalam ceruk batin lalu ia mendidih melahirkan amarah dan sengat dan diri terkulai penuh dalam lengkung yang hampir patah
inikah perjalanan buah dari fikir dan jiwa yang akan besar
Aku mengenal perempuan ini disebuah kafe, lima belas hari sebelum hari ini. Saat itu aku tengah berputar-putar mencari bangku kosong ditengah hiruk-pikuk orang-orang yang sama sekali tak peduli padaku. Kalau bukan karena sebuah suara, aku sudah akan meninggalkan tempat itu. Barangkali mungkin aku tidak diijikan menikmati semburan lampu sorot yang menjerla menelan awan, dengan segelas kopi khas kafe ini malam itu.
Aku berpaling diantara sekian banyak kakah-kakah tawa laki-laki, aku melihat seorang perempuan malambaikan tangannya padaku. Aku mendekat.
Hatiku berlonjak girang. Bukan apa, terbayang mengeluarkan motorku dari area parkir saja sudah membuatku lelah dan capek. Tapi perempuan itu, tawarannya, seyumnya, melucuti seluruh gerah dan lelahku selama seharian tadi.
“Terimakasih kamu baik sekali” jawabku tulus.
Aku menarik kursi berkaki pendek berwarna hijau luntur. kuletakkan pantatku pada kursi yang tak empuk itu menghadapnya, perempuan! Nama yang unik, dan berani. Seberani dirinya yang menawarkan tempat duduk untukku. Itu jarang sekali terjadi di sini. Dimana para perempuannya masih banyak yang malu-malu (atau malu-maluin). Aku menduga-duga perempuan itu pastilah aktivis, aktivis perempuan, ataukah ia seroang feminis ?
“Sudah banyak yang bilang begitu,” jawabnya merasa tak berarti dengan pujianku.
“Oh ya ? Aku orang ke berapa yang mengatakan itu ?” Goda ku.
Perempuan itu tertawa lebar. Manalah mungkin ia mengingat semuanya. Tapi aku kagum, takjub, sekaligus heran, terbuat dari apa dirinya? Aku mengedarkan pandangan. Semua laki-laki, ya laki-laki, aktivis laki-laki. Politikus laki-laki, pengusaha laki-laki. Semuanya laki-laki. Walaupun ada perempuan satu-satu, mereka terlihat bersama pasangan atau temannya. Tapi dia ? Perempuan yang bernama Perempuan itu ?
Duduk seorang diri, ditemani segelas kopi dan beberapa bungkus kacang, dan buku. Di tengah kerumaunan laki-laki. Tidakkah ia merasa jengahkikuk, atau malu? Malu, apakah perempuan itu mengerti yang namanya malu? Semacam perasaan tak nyaman yang timbul karena berada pada situasi dan keadaan yang tidak tepat.
“Tapi kau sungguh berani” rasa penasaranku tak dapat kutahan lagi. Aku menunggu-nunggu jawabannya. Tanganku mengetuk-ngetuk meja.
“Atas dasar apa kau menilaiku begitu? “ perempuan balik bertanya.
“Lihat! Bukankah ia sungguh pemberani. Tanpa diberitahupun, aku yakin dia tahu kalau usia kami terpaut bebrap tahun, mungkin juga belasan tahun. Tapi coba dengar, dia memanggilku dengan “kau”.
“Tawaranmu,” jawabku apa adanya.
Perempuan itu tertawa datar, atau sinis?
“Apa karena di negeri ini ada undang-undang khusus yang mengatur tentang pola hidup, proses adaptasi dan bersosialisasi?” Tanyanya tanpa senyum
“Bukan… bukan itu maksudku,” jawab kaku.
Sial! Tatapan tajam penuh selidiknya membuatku bagai terjerat oleh situasi
“lalu apa?” Kejarnya.
Lalu apa? Aku berfikir-fikir, mencari jawaban yang cocok dan masuk akal. Perempuan ini pasti aktivis, ia sungguh pandai membelit keadaan.
“Tidak ada sejarah yang menulis tentang kepengecutan perempuan-perempuan aceh. Tapi kau beda, keberanianmu lain. Aku salut, takjub dan iri.”
Lagi-lagi perempuan itu tersenyum datar, aku jadi malu hati, jawaban itu terdengar konyol. Dan lugu. Pasti telah menggelitik urat syarafnya, makanya ia tersenyum, walau datar.
***
Perempuan bernama Perempuan itu, benar-benar telah mengusik ruang hatiku. Ia mampu mengendalikan pikirannku hingga aku terus memikirkannya. Bukan hanya memikirkan, tapi lebih dari itu, aku rindu! Ya, rindu! Tapi mungkinkah? Rindu pada pertemuan pertama, bagaimana kalau bukan rindu, tapi cinta?! Cinta ?
Aku menggeliat-geliat tak tenang, nyaring suara tawanya seperti berderai-derai pada liang gendang telingaku, memaksa mataku untuk terpejam, tapi bukan untuk tidur, melainkan untuk memikirkannya, ah, Perempuan!
Resah itu terlalu panjang, menderaku bagai pesakitan yang terpasung. Aku berontak, bangkit dari tidur, mencari air dari wastafel yang ada di dapur, lalu membasuh muka, mengapa wajahku lesu sekali. Karena terus memikirkannya kah? Permpuan itu.
Kuambil jaket yang tergantung di belakang pintu kamar, kusangkut di bahu, lalu kuseret kakiku menuju garasi.
“Mau kemana?” Istriku bertanya dari balik selimutnya.
“Ngopi.”
“Tapi ini sudah malam.” Protesnya
“Baru jam sepuluh”
Aku tak peduli,. Bertemu dengan istriku masih bisa nanti-nanti. Melepas kerinduan dengannya bisa pada malam-malam berikutnya, aku masih punya banyak waktu dengannya. Dan telah menghabiskan banyak waktu bersamanya. Jadi, biarkan malam ini aku menikmati apa yang tengah berkecamuk dalam diriku, rindu!
Ini adalah pertemuan ke dua kami setelah pertemuan yang pertama, lima belas malam yang lalu. Saat aku berputar-putar mencari sesosok diri tiba-tiba “hey” dari mulut seseorang membuatku terlonjak, girang, bahagia, dan … aku segera menarik kursi warna hijau luntur. Duduk persis di hadapannya, persis seperti pada pertemuan pertama.
“Puan, kemana saja kau ?” Tanyaku memandang matanya lekat.
Puan tersenyum, matanya ia buang jauh-jauh, mungkin lebih jauh dari pencaran lampu sorot yang tengah ia pandang. Mengapa ia tidak berani memandang ku.
“Puan?” Ulang ku
“Ya”
“Aku memikirkanmu, keberanianmu, aku takjub, kagum”
“Sudah lah, tak ada yang istimewa denganku, aku hanya perempuan biasa, hidup dalam kebiasaan yang biasa saja, nyaris tak ada yang dibanggakan dariku, aku orang yang kalah. Kalah dalam keterbiasaanku.”
He! Apa yang dikatakannya, apa maksudnya, siapa yang kalah? Dan siapa yang menang.
“Tidak Puan, kau perempuan hebat, kau telah menemukan dirimu yang sebenarnya. Kau perempuan hebat,. Setiap perempuan iri padamu, aku tahu itu, kamu cerdas, mandiri, sudah mapan, apa lagi …..”
“Maksudmu?” Puan cengah dengan tanyanya, mungkin ia berfikir kalau aku tidak tahu siapa dia. Tapi teknologi informasi, telah membuat orang tidak lagi rahasia. Dan aku menemukan rahasia dirinya,
“Kau tahu semua tentang ku? Tanya Puan pias
Aku mengangguk, beberapa hari lalu tak sengaja kutemukan beberapa catatan-catatan penting puan dalam diary onlinenya.
“Karena itulah aku hadir, untuk bisa kau bagi sedikit resah dan lara mu,” desisku. “tidak semua sih, tapi aku memahaminya, “ ralat ku, aku tidak ingin terlihat sok tahu
“Aku sudah kalah, oleh cinta”.
“Tidak”
“Setiap lima belas hari sekali aku pasti ke tempat ini. Lima tahun yang lalu, aku pertama sekali mengenal cinta di tempat ini. Ketika seorang laki-laki sepertimu menyapaku, semuanya terjadi begitu cepat. Kami saling jatuh cinta, saling melengkapi, saling memberi suka dan duka. Tapi aku mencintai laki-laki yang salah. Dia sudah menikah, bergelar sebagai suami dan ayah. Delapan bulan yang lalu aku mengenal laki-laki ke dua, aku menyukainya, tapi bukan cinta. Sejak itu aku memutuskan untuk tidak lagi memikirkan laki-laki pertama, aku ingin melupakannya.”
“Setelah aku memberi tahu rencanaku, laki-laki pertama tak lagi muncul, selama 4 tahun lebih, kami selalu bertemu di tempat ini, setiap tanggal 15 dan 30, dan sejak 8 bulan yang lalu, aku selalu menghabiskan tanggal 15 dan 30 seorang diri di tempat ini. Sampai kau hadir …”
Aku menarik napas
“Bagaimana dengan laki-laki ke duamu”
“Dia sedang mengurus perceraian dengan istrinya saat ini, rumah tangga mereka telah lama kacau”.
“Lalu kau hadir, dan si lelaki mempercepat prosesnya?”
“Entahlah, aku bingung, aku merasa tak mencitai laki-laki itu sama sekali, aku tak pernah rindu atau kangen. Tidak pernah bilang sayang apalagi cinta.”
Aku diam dalam galau. Bingung harus berkata apa, entah mengapa rindu yang semula begitu menghentak-hentak dada tiba-tiba mengerucut. Aku menjadi takut. Takut menaruh suka dalam jiwanya, takut membuatnya berharap. Apalagi mengantungkan asa, tapi aku ingin, ingin ia selalu hadir dalam hidupku, membuai dan melenakan tidurku.
“Hei! Apa komentarmu dengan ceritaku? Menurutmu, aku perempuan seperti apa?” Kali ini ucapan Perempuan begitu riang, tak lagi sendu, matanya mengerjap-ngerjap memandangku. Indah sekali wajahnya yang hitam manis lebih mirip dengan gadis-gadis pakistan yang anggun dan bersahaja. Tapi bukankah kerajaan Aceh dahulunya dipengaruhi oleh budaya Hindi yang erat? Mungkin Perempuan adalah salah satu garis keturunannya, semua laki-laki pasti akan jatuh cinta padanya dan aku!
“Kamu ? Kamu tetap perempuan hebat, tangguh, yang membuatku takjub, kagum, dan iri,”
“Apa karena aku tidak menangis saat menceritakan ini pada mu?”
Aku terdongak, bagaimana mungkin ia tahu jalan pikiran ku
“ Iya. Apa kau akan tetap seperti ini bila tahu aku seperti lelaki pertama mu?” Ujar ku lirih.
Sejenak perempuan tertegun,meneliti wajah ku, merambat masuk dalam mata dan jantung hati ku, lalu ia mengangguk.
“Walaupun berkali-kali cinta mengalahkanku, berkali-kali pula aku jatuh cinta, pun, kepadamu”
“Pun kepada ku?”
“ Pun kepada mu?”
***
Sudah 5 kali tanggal 15 dan 5 kali tanggal 30 terlewati, begitu saja, seorang diri, berteman sepi, bertelekan rindu, pada rindu dan gelisah. Entah kemana Perempuan. Sms ku tak di balas, telepon ku tak diangkat, e-mailku tak digubris, oh, Puan ! Tahukah kamu aku seperti cacing di padang pasir sekarang.
Mengapa semuanya seperti terbalik, apa yang dulu pernah dirasakan Puan menjadi berpindah padaku. Aku menantinya setiap tanggal 15 dan 30. Hal yang sama yang pernah dilakukan puan saat menunggu lelakinya. Kopi-kopi di sini menjadi tak nikmat, berubah pahit dan pedas, apa karena Puan tak ada?
Lalu, Tuhan seperti mendengar do’a ku, maka malam ini, tanggal 15 yang ke 6 Puan muncul di hadapanku, terduduk lesu dan wajah pasi sepucat rembulan. Matanya tak berbinar.
“Puan? Kemana saja kau ?”
“Bertarung”
“Dengan cinta !”
“Dengan cinta ?”
“Dan aku kalah”
“Dan kau kalah ?”
Puan mengangguk, mengulum rasa berpeluh risau, tangannya memilir bungkus kacang.
“Tadi siang lelaki kedua telah resmi bercerai dengan istrinya”
“Dan itu artinya kau akan segera jadi istrinya, ah....” Aku kecewa, akan tidak ada lagi penantian sperti ini pada setiap 15 dan 30 pada setiap bulannya, tapi... Puan menggeleng ! Alisku mengeryit.
“Tadi siang juga aku bertemu dengan lelaki pertamaku, dengan cintaku, belahan jiwaku”
Hatiku bagai tersanyat nyeri, tak relakah atau cemburu ?
“Lalu ?“
“Aku bertarung, atas nama cinta, betapa tak berartinya diri ini sekarang, aib, cela, dan entah apa lagi, semuanya telah melumuri diriku bercampur nista yang meragam. Dan aku kalah, lan.”
“Dan kau kalah ?”
“Dan aku kalah”
“Tapi kau perempuan hebat, tangguh, yang membuatku takjub, kagum, dan iri padamu,”
“sebab aku tak menangis?”
Aku mengangguk, memeluk sepi yang menyergap dalam resah jiwa-jiwa kami.
09:45 pm
On Fri, 21 nov 2008
*tulisan ini sudah pernah dimuat di koran Aceh Independen edisi minggu, tgl 19 januari 2009
Angin kecil yang berubah menjadi beliung besar tidaklah terjadi dengan sendirinya, begitu juga hujan yang mengikis seluruh tanah dan kerikil. Kepompong yang pada akhirnya memilih menjadi kupu-kupu, juga manusia... yang memutuskan menjadi salah satu dari kumpulan warna-warna...
seperti pohon besar, yang pada awalnya hanya kecambah dari biji kecil yang nyaris tidak terlihat, lalu tumbuh dan berkembang, membentuk daun dan ranting, menjadi cabang yang kokoh dan besar, sehingga mampu menjadi tempat berteduh bagi para musafir.
lalu, seperti apa bentuk lara itu sendiri? seperti daun-daun berguguran, karena memang sudah masanya gugur, atau seperti kuncup yang patah karena kepakan sayap yang terlalu kuat.
lalu, bila itu lara, apa penawarnya?
seperti apa rupanya? katakan di mana letak jejaknya, mungkin suatu hari, aku akan mendiamkannya dalam hati, menyemayamkannya menjadi jasat yang tak bergerak. biarlah membatu, lalu pelan-pelan menjadi prasasti yang akan selalu terkenang.
bahwa, pada suatu hari, suatu masa, pernah ada persinggahan yang teramat singkat, dengan cara yang amat sederhana, dengan ritme yang biasa, tetapi mampu menghasilkan riak sepanjang sejarah usia. perkelahian batin, persengketaan amuk amarah, dan riuh gemuruh rindu yang bercokol mengendap.
ini bukan akhir, juga bukan awal, ini adalah fase, yang harus dilalui sesulit dan seberat apapun.
bahwa segala sesuatu yang diputuskan secara sadar, akan melahirkan konsekwensi yang tidak ringan. bukan satu dua kerikil yang terpijak, tapi mungkin puluhan, berkumpul menjadi kelemahan-kelemahan diri yang sulit diprediksi.
Matahari hampir terbenam, ketika perempuan itu tergopoh-gopoh mendekati kiosku. Dari jauh ia mengirimkan isyarat melalui tatapan matanya agar aku menunggunya sejenak. Karena aku mengenalnya maka kuterima isyarat itu dengan senyuman. Aku mengenalnya. Tapi tak tahu siapa namanya. Apa pekerjaannya, di mana ia tinggal. Aku hanya sebatas mengenal wajahnya. Karena ia sering datang tergopoh-gopoh menjelang senja ke kiosku.
“Satu atau dua?” tanyaku begitu ia menghampiri.
“Dua.” Jawabnya sambil membuka tasnya. Lalu mengeluarkan dompet dan menyerahkan empat lembar ribuan kepadaku. Dan dua Koran lokal kini berpindah tagan. Setelah itu ia pergi setelah mengucapkan terimakasih.
Awalnya, - aku tak ingat lagi kapan pertama kali ia membeli Koran di kiosku- ia hanya membeli satu Koran lokal. Itupun yang baru terbit. Namanya belum popular ketika itu. Tapi selalu Koran itu yang ia beli sampai-sampai aku meneliti setiap halamannya apa yang menjadi kelebihan Koran itu. Rasanya tak ada, usianyapun baru beberapa bulan. Beritanya biasa-biasa saja. Lalu apa?
Minggu berikutnya ia kembali datang menjelang magrib. Tergopoh-gopoh. Pada saat aku menawarkan ‘Satu’ dia malah meminta ‘Dua’. Aku senang sebab dagangan koranku laku satu lagi. Begitu setiap Minggunya, menjelang senja, tergopoh-gopoh, perempuan yang tak banyak suara itu cukup bilang ‘Dua’ saja dan aku segera mafhum. Tapi ia hanya datang menjelang senja saja. Untuk membeli Koran hari Minggu. Seingatku ia bahkan tak pernah bertanya “Apakah ada Koran kemarin?”
Karena begitu rutinnya ia membeli Koran di kiosku, nyaris setiap Minggu. Aku selalu meninggalkan Koran untuknya. Supaya dia tidak pulang dengan kecewa. Dan aku, seperti tak ingin membuatnya kecewa. Melihatnya datang tergopoh-gopoh menjelang senja –kadang dengan rok tersingkap dan menampakkan bulu-bulu halus di kakinya- aku tak tega. Koran hari Minggu sepertinya amat berarti baginya.
Hari ini, lagi-lagi ia terlihat terburu-buru. Seperti sudah hafal kedatangannya, bila biasanya aku menutup kios pukul enam maka bila hari Minggu kuperlambat lima belas menit atau sampai dia datang.
“Dua?” tanyaku memamer senyum. Aku senang bisa mendahului katanya.
Tapi perempuan itu tak langsung menjawab.
“Tambah satu.” Katanya beberapa menit kemudia
“Tiga?”
“Iya.”
“Koran apa?”
Ia menyebutkan nama salah satu Koran nasional. Yang oplahnya menjangkau seluruh pelosok Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Mungkin juga Malaysia, Singapura, Asia Tenggara. Bagaimana kalau seluruh dunia?
Setelah menerima Koran dariku ia tak langsung pulang. Satu-satu dibukanya Koran itu. Entah apa yang dicarinya pada lembaran-lembaran lebar itu. Mungkinkah ia memasang iklan? Atau mencari keluarganya yang hilang? Atau mencari lowongan kerja? Tetapi mengapa tidak sampai di rumah saja.
Aku berdiri mematung. Menunggu reaksinya lima atau beberapa menit kemudia. Ingin kubertanya tapi kemudian urung. Sebab aku tak terlalu mengenalnya. Mengapa pula tak pernah terfikirkan olehku untuk menanyakan siapa namanya. Ah, bodohnya aku. Kalau saja aku menyapanya sebagai teman dengan menyebut namanya barangkali dia akan lebih bersahabat denganku.
“Bang! Coba lihat ini! Namaku ada di ketiga Koran ini.” Serunya berbinar-binar. Tampaknya ia lupa kalau kami tidak saling kenal. Aku melongo dan ikut tersenyum. Kujulurkan kepala.
“Nama?” tanyaku mengulang.
“Iya,” jawabnya sambil menunjukkan Koran.
“Tulisanmu? Ini ceritamu? Wah hebat! Hebat! Kau masuk Koran.” Aku takjub.
“Aku senang sekali.”
Sejak hari itu ia selalu meminta tiga Koran sekaligus. Dua Koran lokal dan satu Koran nasional. Kini bukan hanya dia yang sibuk dengan Koran-koran yang terbit pada hari Minggu tetapi juga aku. Sering aku menemukan namanya disalah satu Koran tersebut. Kadang-kadang disertai dengan foto kecil di sudut halaman. Aku senang menjadi temannya. Dan pada Minggu-Minggu berikutnya, bukan hanya dia yang datang tergopoh-gopoh menuju kiosku. Tapi juga aku yang berdebar-debar menunggunya. Dengan tiga Koran di tangan. Lalu ketika ia datang, sebelum ia sempat buka suara aku sudah siap dengan “Selamat! Aku menemukan namamu hari ini.”
Aku seperti memberikan bintang untuknya. Ia tersenyum senang. Mukanya lepas dan sumringah. Berkali-kali ia mengucapkan terimakasih padaku dan kujawab “Sama-sama” lalu ia pulang.
Entah pada Minggu keberapa, dan senja yang keberapa, aku lupa. Ia meminta satu Koran lagi. Semuanya menjadi empat. Dua Koran lokal dua Koran nasional. Kalau dulu ia memasukkan Koran-koran tersebut dalam tasnya, maka sekarang aku menghadiahinya sebuah kantong plastik hitam. Tasnya tidak muat menampung dua Koran nasional yang tebal dan berat. Aku senang bisa memudahkannya. Apalagi setelah ia mengangkat aku sebagai salah satu tokoh dalam ceritanya. Aku merasa jadi orang terkenal, padahal aku hanya pedagang Koran. Kalau ada orang yang kebetulan membaca cerita itu dan membeli Koran di kiosku pasti mereka akan bertanya. “Ini kios yang ada dalam cerita ‘perantau’ itu ya?”. Aku mengangguk.
Hari ini tidak seperti biasanya. Perempuan itu datang lebih awal. Aku baru saja selesai shalat Ashar ketika ia datang. Oh ya aku tak pernah menanyakan siapa namanya. Tapi aku tahu namanya; Mentari. Koran-koran itu yang memberi tahuku.
Ia menyebutkan salah satu majalan remaja yang berskala nasional.
“Kamu hebat!” pujiku tulus.
Ia tersenyum. Mukanya merona seperti matahari. Hangat dan bersahabat.
“Kamu mau mengajariku menjadi seperti kamu?” pintaku akhirnya
Mentari menggeleng. Aku kaget. Kenapa ia menolak? Apakah ia pelit ilmu? Apakah aku tidak pantas belajar darinya karena aku hanya pedagang Koran? Ah…
“Bagaimana mungkin aku bisa mengubahnya menjadi perempuan seperti aku.” Jawabnya tenang. Tapi kemudian kami sama-sama tergelak.
“Bukan itu maksudku. Aku mau belajar menulis seperti kamu. Biar terkenal.”
“Kamu ingin terkenal?” tanyanya serius.
“Iya. Seperti kamu”
“Kamu salah pilih kalau begitu. Kalau ingin terkenal jadilah artis, bukan penulis. Penulis Cuma terkenal nama saja.”
“Nama sajapun tak apalah…”
“Oh ya, jangan lupa selalu sisakan Koran untuk saya ya?”
“Pasti! Pasti!”
Hari itu aku senang sekali. Dia, si Mentari benar-benar telah membuat aku menemukan diriku kembali. Semangat hidupku muncul dan menggebu-gebu. Dari ketergopoh-gopohannya aku belejar sesuatu tentang arti hidup.
Akupun jadi menunggu-nunggu senja berikutnya pada hari Minggu. Tapi ketika senja itu tiba Mentari tak hadir. Bahkan pada minggu-minggu berikutnya. Berbulan-bulan dan sudah melangkahi tahun.
Aku mulai putus asa. Menunggunya seperti menanti keajaiban. Dimanakah dia? Sementara ceritanya bukan hanya muncul di lima Koran terdahulu, tapi enam, tujuh, banyak sekali. Dan selalu kukumpulkan. Dengan harapan suatu hari nanti dia datang menjelang senja dengan tergopoh-gopoh.
Tapi lama sekali ia datang. Sampai entah kapan aku menunggunya, dan menunggu, dan menunggu. Dengan tumpukan Koran-koran hari Minggu. Dan selama itu pula aku menuliskan sesuatu, tentang kerisauan, kegalauan, kesedihan. Dengan mencontek cerita-cerita yang pernah ditulis Mentari.
Mulai dari satu cerita lalu kutambah menjadi dua, tiga, empat dan entah berapa. Satu diantaranya kupilih yang terbaik dan menurutku cukup menarik, kutitipkan di rental computer untuk diketik lalu dengan bantuan petugas warnet –aku masih gagap teknologi- kukirim tulisan tersebut pada alamat elektronik sebuah Koran. Seperti yang pernah dilakukan Mentari, maka setiap Minggunya selain menunggu Mentari dan mengumpulkan Koran untuknya aku melakukan hal yang sama untuk diriku. Menunggu-nunggu cemas bila-bila ada namaku di salah satu Koran lokal.
Hingga akhirnya aku mulai lelah. Lelah menunggu Mentari, meski Koran untuknya tetap kukumpulkan. Lelah menunggu kapan namaku muncul di salah satu Koran tersebut. Meski aku tetap mengirimkannya setiap Minggu. Oh Mentari! Di mana kamu? Mengapa pergi dan menghilang disaat aku sangat ingin menjadi seperti dirimu. Berat hatikah kau? Tak bersediakah mengajariku? Apa karena aku pedagang Koran, atau karena tidak bersekolah tinggi?
Mentari! Setelah berminggu-minggu, berbulan bahkan melangkahi tahun. Akhirnya sore itu, menjelang senja, aku melihatnya tergopoh-gopoh. Menuju kiosku. Benarkah itu Mentari? Matanya berbinar-binar, senyumnya terserlah. Dan aku, bagai tak percaya hanya menatapnya penuh longo yang amat bodoh.
“Kamu telah menjadi aku!” ucapnya dengan derail tawa berdecai-decai. Aku masih gugu dalam ketakjuban. Ini seperti mimpi. Mimpi yang indah. “Lihat, ini ada namamu di sini. Al banna!” sambungnya lagi penuh semangat.
Aku terkesiap. Tak percaya. Bagaimana mungkin semuanya menjadi serba kebetulan. Mentari yang kebetulan muncul bersamaan dengan munculnya namaku di Koran, ataukau namaku yang muncul di Koran kebetulan dengan munculnya Mentari.
“Aku telah menjadi seperti kamu?” tanyaku tak yakin.
“Ya!”
“Bagaimana mungkin, padahal kamu belum pernah mengajarkanku?” tanyaku bingung.
Mentari meletakkan korannya dan duduk di bangku kecil di bawah pohon Angsana. Aku duduk di sebelahnya.
“Dulu saat aku ingin belajar menulis seperti kamu. Terlebih dahulu aku harus belajar tentang sesuatu yang disebut kehilangan. Kehilangan yang amat sangat telah menjadikanku bagai seorang pesakitan yang larut dalam sedih, luka, pilu. Aku kehilangan ayahku, hampir bersamaan waktunya dengan hilangnya kekasihku yang pada waktu itu akan menjadi suamiku beberapa bulan lagi. Rasa sakit yang sangat menjelma menjadi bakteri jahat yang menggerogoti diriku. Aku hampir mati karenanya.” Mentari mulai bercerita.
“Aku mencari obat, tetapi tak ada yang bisa menyembuhkan rasa sakit dan rinduku kepada mereka. Hingga kebosanan itu datang. Lalu aku belajar berbagi pada kertas, aku menangis, mengaduh dan menjerit. Lalu kuberanikan diri mencetak tulisan-tulisan itu dan kikirimkan kepada beberapa Koran lokal. Kebosanan itu datang lagi. Rasa malas mendera-dera. Sebab tak satupun tulisanku diterima oleh Koran-koran itu.
Aku tak lagi menunggu untuk dimuat meski setiap Minggu terus kukirim cerita dengan judul yang berbeda. Aku terlanjur menjadikannya obat sehingga apabila aku tak menulis aku merasa sakit. Obat yang hanya boleh kutelan sendiri, dan tentu saja si redaktur Koran itu. Aku merasa seolah-olah menulis hanya untuk si redaktur. Bukan untuk dimuat apalagi dibaca oleh orang lain. Lama-lama aku merasa malah redaktur-redaktur itu yang sakit, dan tulisanku adalah obat. Karena itu ia tak membiarkan orang lain membaca tulisanku. Mereka tak memberi ruang untukku. Karena tak sekalipun mereka memberi kabar untukku, padahal aku sudah mencantumkan no hp, no telepon rumah dan email.”
“Makanya, waktu kamu minta diajarkan menjadi seperti aku. Tak ada yang terfikirkan olehku selain kamu harus merasakan apa yang aku rasakan, walaupun tidak harus setragis aku. Begitulah caraku mengajarmu. Sebab tidak ada teori khusus yang pernah kupelajari. Aku senang, akhirnya kamu menjadi seperti aku.”
Mentari! Oh Mentari! Berarti selama ini kau tak meninggalkanku? Ah, betapa liciknya aku. Telah berprasangka buruk padamu. Aku janji, akan selalu kusimpan Koran hari Minggu untukmu. Lalu kau datang menjelang senja dengan tergopoh-gopoh dan aku telah siap dengan “Aku menemukan nama kita hari ini!”
11:58 pm
22 Nov 2008
* cerpen ini sudah pernah dimuat di koran Aceh Independen, edisi ahad, 4 januari 2009