seperti pohon besar, yang pada awalnya hanya kecambah dari biji kecil yang nyaris tidak terlihat, lalu tumbuh dan berkembang, membentuk daun dan ranting, menjadi cabang yang kokoh dan besar, sehingga mampu menjadi tempat berteduh bagi para musafir.
lalu, seperti apa bentuk lara itu sendiri? seperti daun-daun berguguran, karena memang sudah masanya gugur, atau seperti kuncup yang patah karena kepakan sayap yang terlalu kuat.
lalu, bila itu lara, apa penawarnya?
seperti apa rupanya? katakan di mana letak jejaknya, mungkin suatu hari, aku akan mendiamkannya dalam hati, menyemayamkannya menjadi jasat yang tak bergerak. biarlah membatu, lalu pelan-pelan menjadi prasasti yang akan selalu terkenang.
bahwa, pada suatu hari, suatu masa, pernah ada persinggahan yang teramat singkat, dengan cara yang amat sederhana, dengan ritme yang biasa, tetapi mampu menghasilkan riak sepanjang sejarah usia. perkelahian batin, persengketaan amuk amarah, dan riuh gemuruh rindu yang bercokol mengendap.
ini bukan akhir, juga bukan awal, ini adalah fase, yang harus dilalui sesulit dan seberat apapun.
bahwa segala sesuatu yang diputuskan secara sadar, akan melahirkan konsekwensi yang tidak ringan. bukan satu dua kerikil yang terpijak, tapi mungkin puluhan, berkumpul menjadi kelemahan-kelemahan diri yang sulit diprediksi.
ini bukan kali pertama embun menetes
juga bukan untuk yang terakhir
selama ada perjalanan
selama ada pendakian
ceruk akan selalu ditemui
Sastrawan besar ruapanya...
BalasHapusMembaca tulisan anda membuat saya langsung jatuh hati akan kehebatan mengolah kata seorang....
bukan hanya sastrawan yang perlu tulisan, tetapi orang yang sakit hati juga perlu obat, tulisan bukan hanya obat, tetapi juga supplement, heheh....karena dia supplement, berarti harus dikonsumsi setiap hari, agar hati dan jiwa menjadi tenang.....nah, kalau kurang supplement sering2lah kunjungi blog ini heheheheh
BalasHapus