Bacalah tanpa harus menerima begitu saja.
Berfikirlah tanpa harus bersikap sombong.
Yakinlah tanpa harus bersikap fanatik.
Dan, jika anda memiliki pendapat,
kuasai dunia dengan kata-kata.
sore ini, ketika kebingungan lelah membungkus diri arti sebuah kemenurutan dapat kupahami dengan utuh seolah-olah ini adalah penjabaran dari apa yang kutuliskan malam kemarin lalu ketika tergopoh-gopoh aku mengirimkan kepadanya
malamnya, tatkala aku berpesan, ingin membacakan untuknya dan aku akan menunggunya dengan sepenuh cinta
hari ini, ketika matahari baru saja melewati dhuha catatan itu telah kubacakan namun tidak dengan suara nyaring seperti biasanya tetapi dengan kecemasan dan rasa bingung dan juga ketidak mengertian
tetapi sore ini, aku telah memahami semuanya dengan sempurna tak ada cinta tanpa keikhlasan untuk mendengarkannya
Suatu malam di bulan april, pada tahun ke lima belas usia perkawinan kita. Aku ingat sekali pada malam itu hujan turun membasahi bumi. Dan malam itu benar-benar menjadi basah, bukan hanya karena hujan tetapi juga karena air mata. Air mataku dan air mata milikmu istriku.
Aku tahu, apa yang aku sampaikan pada waktu itu telah membelah hati keperempuananmu. Mungkin juga telah mengoyak-ngoyak hatimu sebagai istri dan memerah jiwamu selaku ibu bagi anak perempuan kita yang telah beranjak remaja.
Ingin rasanya ketika itu, aku menggandeng tanganmu dan mengajakmu berkeliling mengitari waktu lima belas tahun silam. Jauh sebelum kita menikah, aku dan kamu hanya mempunyai waktu tiga hari untuk saling menyemai benih. Dalam diriku, hanya bibit cinta yang bisa kusemai ketika itu. Mungkin bagimu, bencilah yang menjadi pilihan hingga kau membawanya pada ijab kabul dan benih itu terus tumbuh hingga memasuki tahun-tahun berikutnya usia perkawinan kita.
Aku tak berani menerka-nerka, juga tak ingin berandai-andai. Tapi sikap dan penolakanmu adalah pertanda dari isyarat yang dikirimkan oleh hatimu. Aku sadar dengan sepenuhnya sadar, bahwa setelah ijab kabul diantara kita sudah tidak ada dinding, tidak ada tabir yang menghalangi sekalipun untuk kulit putih bersihmu.
Cinta yang kusemai terus tumbuh, dan aku terus merawatnya, berusaha untuk tidak melukai hatimu, juga hatiku sendiri. Kau, adalah perempuan yang telah kusebut sebagai istri, yang kelak kuharapkan bisa melahirkan anak-anak manis dari hasil cinta kita yang sakral. Maka wajarlah jika kemudian aku ingin menjadikanmu bidadari di hatiku. Ingin membuatmu senang, ingin membuat matamu berbinar. Tapi itu hanya keinginan.
Aku tak memperoleh jawaban apakah kau mencintaiku atau tidak, apakah kau mulai menaruh rasa sayang padaku atau tidak. Yang kutahu, setiap kali aku berusaha menyentuhmu selalu ada tepisan-tepisan halus yang kadang-kadang berubah seperti seringai yang menakutkan. Tiga bulan bukan waktu yang panjang, tetai juga tidak terlalu singkat untuk menyemai kasih. Namun aku tahu tak sedikitpun kau berusaha untuk menumbuhkan rasa itu dalam hatimu. Dan selama itu pula aku berusaha menuruti keinginanmu; untuk tidak kusentuh.
Ketika malam telah larut, dan selimut tebal telah menggulungmu mengantar pada alam mimpi yang aku tidak tahu seperti apa wujudnya. Aku sering terpekur, memikirkan apa yang tengah terjadi dalam hatiku dan dalam hatimu. Aku tahu, ada dua jiwa yang sedang terluka, ada dua raga yang sedang terpasung dan ada dua hati yang tengah meronta. Jiwaku dan jiwamu. Ragaku dan ragamu. Hatiku dan hatimu.
Cinta adalah cinta. Yang tak berubah sekalipun ia berganti nama. Seperti halnya aku. Cinta untukmu tetap tak terbendung. Tetap tak terkalahkan meski setiap kali kau memasang tabir yang begitu tebal untukku. Dan, maafkan aku jika akhirnya aku memperlakukanmu dengan cara yang tidak kau inginkan.
Aku tahu itu amat menyakitkan untukmu, bagi seorang perempuan, bagi seorang istri, juga untuk diriku sendiri. Tapi aku ingin menjadikanmu ibu dari hasil persetubuhan yang tak istimewa itu. Aku ingin kau menjadi perempuan sempurna dengan adanya janin yang tumbuh dan berkembang dalam rahimmu. Dan aku ingin menyelamatkan kita dari berbagai pertanyaan orang-orang terkasih di sekeliling kita.
Dan yang paling penting, aku ingin menyelamatkanmu dari laknat malaikat yang menyerapahimu sepanjang malam sampai pagi. Istriku, jika saja kau tahu itu, jika saja kau tahu apa yang bergumul dalam hatiku. Tapi sayangnya kau tak pernah mempertanyakan, dan kau juga tak pernah mengatakan apa yang bercokol dalam hatimu.
Istriku, kekasih hatiku. Sampai kapanpun kau adalah kekasih jiwaku. Yang kucintai dengan kepenuhan cinta yang utuh. Bila pada malam yang basah itu aku terpaksa melukai jiwamu, bukan karena aku ingin membalas.
Istriku, aku hanya ingin kau merasakan bagaimana rasanya bila seseorang yang kau cintai memendam rindu dan kasih untuk orang lain. Aku ingin kau merasakan bagaimana lukanya melihat dan membayangkan orang yang kita cintai merindui orang lain sepanjang hidupnya.
Istriku, sekali lagi aku hanya ingin kau tahu. Ini bukanlah pembalasan atas belasan tahun yang telah kita jalani selama ini. Aku tahu malam itu kau menangis, kau memintaku untuk tidak menduakamu, aku tidak tahu yang sebenarnya, apa itu karena kau mulai mencintaiku atau karena kau takut dirimu menjadi tak berarti lagi dalam pandanganku. Tapi aku ingin kau tahu, cinta, apapun bentuknya tetaplah cinta.(Ihan)
Tentu aku tidak akan mengatakannya kepada siapapun, hari-hariku yang sibuk sudah sangat membantu untuk mengulum semua apa yang ada dalam benakku. Cukuplah ritme kerja sebagai fatamorgana yang sempurna untuk menghadirkan pelangi dengan senyum terkembang seperti lancang kuning.
“Ingat sayang, umurmu sudah 24 sekarang. Kapan kau akan menikah?” sebuah suara yang nyaring, yang tawanya selalu berderai menanyaiku penuh goda. Pada sebuah sore yang hampir terbenam.
Hatiku kesal dan penuh sebal. Mengapa selalu pertanyaan itu? Apakah salah diusia yang sudah 24 ini aku belum ingin menikah?
“Belum terfikirkan untuk menikah!” jawabku ketus disambut gelak tawa yang membuatku semakin manyun. “Aku masih geli membayangkan diusiaku yang sekarang harus sudah menggendong bayi, tangisnya di tengah malam tentu akan mengganggu tidurku…” jawabku antara serius dan tidak.
“Hei, ada apa denganmu hah?! Kalau kau sudah menemukan laki-laki yang tepat ajak saja dia untuk menikah. Sekarang bukan saatnya lagi untuk menunggu.”
Pernyataan itu terdengar sangat konyol di telingaku. Tidak terlalu sulit untuk mengajak seseorang menikah. Tapi juga tidak mudah untuk menjatuhkan pilihan. Keputusan untuk menikah dengan siapa itu butuh pertimbangan.
“Seseorang itu sudah ada, tapi tentu saja aku tidak akan mengajaknya menikah. Bukankah cinta tidak harus berakhir dengan pernikahan? Bukankah cara memiliki cinta seseorang tidak selamanya harus melewati ijab Kabul?” kali ini aku menjawab dalam hati.
Tentu saja aku tidak akan menceritakan kepadanya. Tentang se sosok laki-laki yang begitu gagah di hatiku, yang begitu sempurna dalam pandanganku, yang aku sendiri tidak tahu mengapa harus memberikan seluruh hatiku kepadanya.
Tentu ia juga tak harus tahu mengapa aku berbohong, siapa bilang aku tak berfikir untuk menikah. Aku telah memikirkannya jauh-jauh hari, jauh setelah hatiku tertambat pada hati seorang lelaki. Karena itulah aku tak lagi berfikir untuk menikah.
Akupun tak perlu menceritakan kepadanya, bila aku menikah, tentu saja aku tidak bisa memberikan pasir yang telah aku janjikan kepada seseorang yang aku cintai. Bila aku menikah, itu berarti aku telah mengkebiri hatiku sendiri untuk merindui lelaki yang telah mengajarkan aku tentang sebuah cinta dan perasaan. Dan, bila aku menikah, itu berarti aku telah menjadi pengkhianat sejati, pengkhianat diri dan perasaan. Ia tentu saja tak perlu tahu bila itu terjadi, akulah yang paling terluka.
Tapi lagi-lagi, ucapan –lebih tepatnya peringatan- itu terulang kembali dan kembali terulang. Pada sebuah percakapan dengan seorang teman di sebuah kafe. Hampir saja selera makanku hilang ketika itu. Lagi-lagi aku harus berbohong. “Belum terfikirkan untuk menikah.” Jawabku sambil menyeduk nasi yang disajikan dalam nyiru kecil.
“Nanti kamu nyesel, Dek. Seperti kakak, sudah umur 27 tahun tapi belum memiliki anak.”
Aku tersenyum, mungkin tafsiran dari kegetiran.
“Aku sudah menikahkah jiwaku dengan jiwa seseorang. Aku sudah mentasbihkan diri dalam pikiran seseorang.” Hatiku menjawab lantang.
Bila dengan menikah akan mengobati hati banyak orang, aku akan menikah, tetapi setelah aku menunaikan apa yang telah aku janjikan. Untuk memberikannya pasir dari kota bersejarah yang telah aku torehkan dalam buku impian sadar dan alam bawah sadarku.(*)
Di kamar ini, dalam ruangan kecil yang tak terlalu lapang, sangat sering aku menatap langitnya yang coklat. Dengan mata menerawang menelanjangi seluruh isi kamar. Lamat-lamat hingga akhirnya aku tertidur di atas sepotong kasur yang tak begitu empuk.
Di samping kasur, sebuah alat elektronik berbentuk tipis petak berwarna hitam, bermerk Axio kadang kubiarkan menyala dengan bait-bait lagu yang menjadi pendongeng hingga akhirnya mata ini mengatup pelupuknya.
Seperti samar, kadang-kadang wajah lelakiku datang, mulutnya bergumam-gumam menyenandungkan lagu-lagu yang mengalun pelan. Membisikkannya pada telingaku sebelah kanan, aku mendengarnya penuh selaksa. Kubiarkan ia menyentuh dahiku dengan jemarinya yang lembut dan hangat. Pada saat itu setengah diriku tak tidur sempurna. Aku tahu itu seperti mimpi tetapi seperti mimpi yang menjadi nyata. Aku pernah merasakannya, dan mimpiku mengulangnya dengan sempurna.
Di kamar ini juga, kadang dengan kelelahan yang membalut seluruh diri. Sering kupertanyakan tentang cinta yang sedang menggulung seluruh jiwa dan hatiku. Adakah orang lain merasakan cinta yang sama seperti ini? Betapa beratnya cinta bila benar begitu. Berat yang tak berat, tapi juga tak ringan untuk dipikul oleh sekeping hati perempuan sepertiku.
Tak ringan memang bila cinta mampu memberikan kekuatan bagi pemiliknya untuk berbohong selama bertahun-tahun. Pada suatu malam, entah senja yang keberapa sejak aku mengenal cinta, rintik-rintik embun menetes dengan irama yang teratur. Dan aku mengatakannya hanya karena debu yang tak sengaja hinggap pada bola mata ini. Debu! Begitu hebatkah debu hingga ia bisa membuat pemiliknya menangis tanpa suara? Itulah cinta, yang selalu samar kumengerti definisinya.
Ini adalah hari ketiga di mana ia tak bisa memejamkan mata, apalagi tidur, badannya terasa letih, tapi ia tak berhasil mengistirahatkannya. Namun semua itu tidaklah terlalu berarti bila dibandingkan dengan penat yang dirasakan oleh pikiran dan batinnya. Ia tak menemukan jalan keluar atas gundah yang memasung jiwanya dan kalaupun ada pasti akan menyulitkan salah satu dari mereka; dirinya atau ibunya!
Itulah yang membuatnya gulana tiga hari ini. Sebagai anak, tentu saja ia sangat menyayangi ibunya walaupun ia tak pernah mengatakan itu secara langsung, seingatnya ia tak pernah bersikap kasar dan melawan ibunya. Meskipun ia diam-diam sering berontak. Dan kali ini, apakah ia akan tetap menuruti kemauan ibunya? Dan bila iya maka itu sama saja dengan bunuh diri. Menggadai masa depan dan mengkebiri kreativitasnya. Mandul!
Minah bangkit dari tidurnya, hujan deras sejak pagi membuatnya tak bisa beraktivitas seperti biasanya, ia terkungkung di kamar kecil ini. Ia melangkah ke luar menuju ruang tamu dan berdiri di depan jendela. Matanya menjalar pada setiap butir air hujan. Semuanya putih. Bahkan puncak Seulawah yang biasanya terlihat gagah dari lantai dua kamarnya bagai ditelan oleh hujan. Membungkusnya menjadi kabut yang menghilangkan setiap gurat puncaknya, Minah tercenung, meraba kaca jendela dengan hati berdebar hangat, resah, galau.
Kalau saja bukan karena surat dari ibu, barangkali sudah sejak pagi ia melingkar di tempat tidurnya, apalagi yang bisa ia kerjakan selain tidur dengan cuaca hujan seperti ini. Tidur adalah dunianya, yang mampu menenggelamkannya dalam dunia hayal tingkat tinggi. Membawanya berkeliling dunia, mendatangi tempat-tempat indah, menemui orang-orang hebat, Michele Obama, Gloriya, Hillary, Palin. Melakukan apa saja yang ia sukai; berlibur ke Alaska dengan Cruise termewah dan termahal di dunia. Bermain salju di puncak Everest. Maka Minah bertekad mewujudkan semua impiannya.
Tapi surat dari ibu yang diterimanya tiga hari yang lalu benar-benar membuatnya seperti terjerembab. terkubur oleh impiannya yang besar dan banyak. Malangnya, ia tak dapat bangun lagi, dan selamanya harus berkubang disana sampai akhirnya satu-satu mimpi itu hancur dan musnah. Mungkin akan mengurai menjadi sampah dan bakteri jahat. Yang akan terus menggorotinya seumur hidup. Minah tercenung, kreatifitasnya akan mati, tak bisa mengambil keputusan, karir yang jalan ditempat, dan gaji yang tak pernah naik.
Ngeri! Hanya itu yang terbayang oleh Minah saat membaca surat ibunya. Walaupun kata-katanya rapi dan cantik. Tapi isinya seperti monster yang menakutkan. Sekalipun ditulis ibu dengan bahasa yang santun dan penuh nasehat. Minah seperti berada di lorong gelap, dimana ia tak bisa menebak seperti apa masa depannya. Ia takut berandai-andai, takut membuat mimpi. Bila ia harus menuruti semua kemauan ibu, yang beralasan “semua demi kebaikan kamu, Minah” begitu tulis ibu dalam suratnya.
Kebaikan! Benarkah kebaikan untuk dirinya? Dari sisi apa ibu melihatnya. Minah ingin bertemu Palin, Michele, Gloriya, lalu bagaimana mungkin ini terwujud kalau dia hanya berkutat di ruangan kecil, tanpa meja kerja, tanpa pekerjaan yang menantang, oh... Nyaris tidak ada orang yang mengenalnya.
“Minah…. Kamu anak perempuan pertama, ibu ingin melihatmu bahagia, masa depan terjamin, bisa menjadi contoh bagi adik-adikmu, ibu ingin melihatmu sukses,”
Tulis ibu pada paragraph ke dua suratnya, minah tersenyum, ia sepakat dengan ibunya, ia ingin sukses bukan hanya membahagiakan dirinya saja tapi juga ibu dan adik-adiknya. Tentu saja ia akan menjadi teladan bagi adik-adiknya, dengan menunjukkan keuletannya dalam bekerja, memacu semangat untku mewujudkan eksistensinya di ibu kota propinsi. Agar ia tidak tergilas. Ia akan melakukannya dengan sebaik mungkin.
Sampai di sini Minah sempat berhenti membaca surat ibunya, ia tertegun sejenak, membayangkan impian-impiannya. Bibirnya menggurat senyum. matanya terpejam. Ia tengah menikmati pertualangan hayalnya bertemu Palin, Michele dan Gloriya, lalu ia beralih pada impiannya yang lain, bermain sky, naik paralayang duh… indahnya.
“Ibu ingin orang-orang menghormatimu, apalagi kalau kamu sudah menikah nanti, jangan sampai dijadikan pembantu di rumah sendiri oleh suami”
Minah menarik nafas. Semua orang ingin dihormati, dihargai, pun dirinya tapi untuk bisa dihormati dan dihargai bukankah kita harus mempunyai sesuatu? Kewibawaan yang cerdas! Sesuatu yang membuat kita beda dari yang lainnya, itulah yang sedang berusaha dilakukanminah.
“Ibu ingin kamu jadi pegawai negeri, pakai seragam, rasanya bangga sekali…”
Sampai disini, Minah bagai tercekat, ia segera ingat, sekarang adalah masa-masa penerimaan CPNS. Apakah karena itu ibu menyuratinya?
“Ibu….ibu ….” Desis minah berkali-kali, tidak berminat untuk meneruskan bacaan suratnya.
Mata minah masih tertuju pada bulir-bulir hujan, dingin menguap menyentuh inderanya, tapi tidak dengan hatinya, panas dan kering. Kepalanya pusing, sesak dengan isi surat ibu, umurnya sudah 23 sekarang tetapi mengapa ibunya masih sangat leluasa mengatur hidupnya, bukan hanya sekali ini. Minah tak ingin jadi pegawai negeri!
25 nov 2008
cerpen ini sudah pernah dimuat di koran Aceh Independen edisi Ahad, 10 mei 2009