Ini adalah hari ketiga di mana ia tak bisa memejamkan mata, apalagi tidur, badannya terasa letih, tapi ia tak berhasil mengistirahatkannya. Namun semua itu tidaklah terlalu berarti bila dibandingkan dengan penat yang dirasakan oleh pikiran dan batinnya. Ia tak menemukan jalan keluar atas gundah yang memasung jiwanya dan kalaupun ada pasti akan menyulitkan salah satu dari mereka; dirinya atau ibunya!
Itulah yang membuatnya gulana tiga hari ini. Sebagai anak, tentu saja ia sangat menyayangi ibunya walaupun ia tak pernah mengatakan itu secara langsung, seingatnya ia tak pernah bersikap kasar dan melawan ibunya. Meskipun ia diam-diam sering berontak. Dan kali ini, apakah ia akan tetap menuruti kemauan ibunya? Dan bila iya maka itu sama saja dengan bunuh diri. Menggadai masa depan dan mengkebiri kreativitasnya. Mandul!
Minah bangkit dari tidurnya, hujan deras sejak pagi membuatnya tak bisa beraktivitas seperti biasanya, ia terkungkung di kamar kecil ini. Ia melangkah ke luar menuju ruang tamu dan berdiri di depan jendela. Matanya menjalar pada setiap butir air hujan. Semuanya putih. Bahkan puncak Seulawah yang biasanya terlihat gagah dari lantai dua kamarnya bagai ditelan oleh hujan. Membungkusnya menjadi kabut yang menghilangkan setiap gurat puncaknya, Minah tercenung, meraba kaca jendela dengan hati berdebar hangat, resah, galau.
Kalau saja bukan karena
Tapi
Ngeri! Hanya itu yang terbayang oleh Minah saat membaca
Kebaikan! Benarkah kebaikan untuk dirinya? Dari sisi apa ibu melihatnya. Minah ingin bertemu Palin, Michele, Gloriya, lalu bagaimana mungkin ini terwujud kalau dia hanya berkutat di ruangan kecil, tanpa meja kerja, tanpa pekerjaan yang menantang, oh... Nyaris tidak ada orang yang mengenalnya.
“Minah…. Kamu anak perempuan pertama, ibu ingin melihatmu bahagia, masa depan terjamin, bisa menjadi contoh bagi adik-adikmu, ibu ingin melihatmu sukses,”
Tulis ibu pada paragraph ke dua suratnya, minah tersenyum, ia sepakat dengan ibunya, ia ingin sukses bukan hanya membahagiakan dirinya saja tapi juga ibu dan adik-adiknya. Tentu saja ia akan menjadi teladan bagi adik-adiknya, dengan menunjukkan keuletannya dalam bekerja, memacu semangat untku mewujudkan eksistensinya di ibu
Sampai di sini Minah sempat berhenti membaca
“Ibu ingin orang-orang menghormatimu, apalagi kalau kamu sudah menikah nanti, jangan sampai dijadikan pembantu di rumah sendiri oleh suami”
Minah menarik nafas. Semua orang ingin dihormati, dihargai, pun dirinya tapi untuk bisa dihormati dan dihargai bukankah kita harus mempunyai sesuatu? Kewibawaan yang cerdas! Sesuatu yang membuat kita beda dari yang lainnya, itulah yang sedang berusaha dilakukan minah.
“Ibu ingin kamu jadi pegawai negeri, pakai seragam, rasanya bangga sekali…”
Sampai disini, Minah bagai tercekat, ia segera ingat, sekarang adalah masa-masa penerimaan CPNS. Apakah karena itu ibu menyuratinya?
“Ibu….ibu ….” Desis minah berkali-kali, tidak berminat untuk meneruskan bacaan suratnya.
Mata minah masih tertuju pada bulir-bulir hujan, dingin menguap menyentuh inderanya, tapi tidak dengan hatinya, panas dan kering. Kepalanya pusing, sesak dengan isi surat ibu, umurnya sudah 23 sekarang tetapi mengapa ibunya masih sangat leluasa mengatur hidupnya, bukan hanya sekali ini. Minah tak ingin jadi pegawai negeri!
25 nov 2008
0 komentar:
Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)