Bulan.Tak ada bulan malam ini, kulangkahkah kaki ke luar kamar menuju jendela, sekedar untuk memastikan bahwa tidak ada bulan malam ini. Jendela yang tak pernah ditutup berderit kecil ketika angin menamparnya tanpa ampun. Hujan yang tak kenal iba nyaris membuat seluruh badannya menjadi ostheophorosis. Mataku liar pandangi langit yang gelap. Benar tak ada bulan malam ini. Sinar merah menyala dari atas tower salah satu milik perusahaan telekomunikasi terbesar di negeri ini. Cahayanya redup dan lemah. Sama sekali tak sanggup gantikan bulan yang memang tiada.
Bulan. Sesuatu yang sering aku ingat belakangan ini. Mungkin sejak beberapa tahun yang lalu. Sejak aku mulai memahami bentuk dan warnanya. Lingkaran keperakannya selalu berikan kepuasan tersendiri ketika mata ini menatapnya tanpa kedip. Saputan awan yang kadang membuatnya timbul tenggelam seolah menyiratkan bahwa semuanya adalah perjuangan. Untuk tahu bentuk bulan saja mengapa harus cinta penyebabnya.
Sebab bulan telah diam dalam hatiku.
Hampir setiap purnama aku mengingatnya. Sebab ketika itu bulan seperti peri cantik yang pendarkan seluruh keanggunan dan keistimewaannya. Semuanya membuatku terpesona dan terlena, mengusik adrenalin dan menyeret jemariku untuk menuliskan sesuatu sebagai bentuk kekaguman dan kecintaanku.
Hampir setiap purnama aku lahirkan puisi. Lalu pelan-pelan ia pindah, hingga suatu hari aku melihatnya ada di matamu. Berbinar dan menyala. Itulah yang kemudian terus melekat dalam ingatku. Bahwa purnama adalah perintah untuk terus menyetiai-mu. Mengingat purnama berarti mengingat ikrar untuk menerima apa adanya seperti apa yang sudah aku ketahui jauh sebelum purnama itu hadir.
Bulan tak pernah lahirkan janin. Sebab bintang tak pernah lahir dari rahim bulan.
***
Kasur. Hanya kasur ini yang mengerti dan memahami apa itu kesetiaan. Menanti berjam-jam lamanya untuk kemudian direngkuhnya kembali tubuh ini yang sering datang dengan lelah. Kadang-kadang ditinggalkan dengan begitu saja tanpa dibenahi sprainya yang kusut, apalagi untuk meletakkan bantal dan selimutnya seperti yang ia inginkan.
Hanya kasur ini yang mengerti benar apa itu keikhlasan, tanpa pernah mengeluh mengapa kerap kali pemiliknya pulang ketika tanggal hampir berganti. Karena dengan begitu berarti berkurang pulalah kebersamaannya dengan tuannya.
Dan hanya kasur ini yang mengerti apa artinya menyimpan rahasia. Tanpa pernah berfikir bagaimana memanjangkan bibirnya untuk menceritakan apa yang diketahuinya kepada seluruh benda lainnya.
Ketika pemiliknya pergi ia buru-buru melipat gelisah yang tertinggal lalu menyelipkannya ke bawah dirinya. Ketika ada sedih yang berderai-derai ia menampung semua itu dan mengulumnya hingga kadang-kadang kapas dalam dirinya menjadi basah. Tak jarang ia menulikan telinganya ketika mendengar isakan-isakan kecil yang menoreh jiwanya. Dan ia akan berbinar senang ketika kemesraan dan kata-kata cinta bertebaran di atas dirinya.
Kasur ini tak pernah berkhianat. Sebab ia tak pernah membuka hatinya kepada selain pemiliknya.
***
Nama. Namamulah yang baru kudapatkan malam ini. Dengan keheranan dan ketakjuban. Saking lenanya diri ini hingga tak pernah timbulkan tanya punyakah kau rumah serupa itu? Segaris senyum membentuk membayangkan betapa alpanya aku terhadap sesuatu itu. Tak sabar rasanya menunggu esok untuk segera mengabarinya kepadamu.
Terbayang seperti apakah lelahmu malam ini? Tentu tak sama dengan lelahku sebab kau telah bergelar menjadi sesuatu.
Lelahku menggulung ketika sesuatu kau kirimkan kepadaku, lalu dengan tergesa-gesa aku membukanya dan segaris senyum kau kirimkan dalam kotak kecil melalui sejumput kata yang tak biasa.
Nama adalah prasasti. Sebab hati ini mampu membuat pahatan yang lebih kukuh daripada pahatan otak yang tak berseni.
00:08 pm
18 juni 2009
0 komentar:
Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)