Jangan Menangis di Kota Ini
By : Ihan Sunrise
Ini bukan pertama kalinya Cut Arafah melakukan perjalanan ke luar kota. Di usianya yang ke 32 ia bahkan sudah menjelajahi ke lima benua. Hampir semua keajaiban di dunia pernah ia kunjungi. Bahkan ia pernah melakukan perjalanan ke Alaska dengan menggunakan Cruise termewah dan termahal. Ia telah mendapatkan begitu banyak kesenangan yang tidak semua orang bisa mendapatkannya.
Tapi perjalanan kali ini adalah perjalanan luar biasa. Yang sampai kapanpun seumur hayatnya ia tidak bisa melupakan setiap detik kejadiannya. Perjalanan yang telah melahirkan risau dalam jiwa keperempuanannya. Perjalanan yang telah menggrafir luka yang tak berkesudahan baginya, sebagai perempuan, sebagai istri, sebagai ibu. Ara, begitu ia dipanggil, akan selalu mengingat perjalanan ini.
Ara tahu, alam tengah mencoba menghiburnya. Bahkan bintang berkelip lebih banyak dari biasanya. Bulan berbentuk sabit persis seperti mulut peri yang tengah menyungging senyum untuknya. Pohon-pohon berdesau bagai desisan mesra yang kerap hinggap di telinganya. Dan yang selalu ingin didengarnya.
Namun badai dalam jiwanya telah memasungnya begitu kuat. Memaku bibirnya untuk terkatup rapat. Menambat pandangannya pada patri yang tak jelas. Ia memandang, dengan kedip yang jarang. Dengan bulir bening mengambang. Dalam kegelapan. Dalam kesunyian. Dalam keterkurungan perjalanan yang akan membawanya pada sebuah kota.
Tangannya bergetar saat ia menyentuh tangan lelaki yang lelap di samping kanannya. Air matanya yang tadi kristal kini mengalir bagai mata air yang keluar dari bebatuan. Sejuk basah pada kelopak matanya. Dikecupnya kepala lelaki tersebut dengan ciuman yang hangat dan dalam. Seperti yang ia lakukan pada malam-malam sebelumnya. Ketika lelaki itu ingin terbang menjemput mimpi. Dipeluknya agar lelaki itu mendapat hangat dari seorang perempuan yang telah memberikan seluruh cinta untuknya.
“Tidurlah pangeranku sayang...tidurlah dengan damai.” Bisik hati Ara.
Ara berusaha menyatukan hati mereka dengan perekat sunyi yang syahdu. Agar pada malam-malam berikutnya tak ada kesepian diantara mereka. Agar pangeran selalu mendengar bisik mesra pengantar tidurnya. Meski bukan ia yang akan mengucapkan.
***
“Tunggulah sampai anak kita lahir, Cut Bang. Kata dokter waktunya tidak lama lagi. Aku tidak mungkin melahirkan anak kita tanpamu di sampingku.” Suara Ara terdengar lirih.
Ara bukanlah perempuan manja yang tak bisa jauh dari suaminya. Tetapi dengan kondisi hamil besar ia sangat membutuhkan Zal di sampingnya. Ia tak punya siapapun selain Zal, suami yang amat sangat dicintainya. Bahkan bila ada Zal, ia bisa melahirkan tanpa bantuan bidan. Kira-kira begitulah kekuatan yang bisa ia dapatkan dari lelaki suaminya.
“Aku pasti ada di sampingmu saat kamu melahirkan, Cut Dek.” Seperti biasa suara Zal yang lembut dan mesra terdengar begitu menyenangkan. Tetapi kali ini Ara merasakan kekosongan dari kelembutan suaminya.
“Aku tak yakin.” Jawab Ara dingin.
“Mengapa kamu tidak percaya dengan suamimu sendiri, Cut Dek?” tanya Zal dengan suara yang masih sama.
Sama seperti bertahun-tahun silam. Suara Zal yang dewasa dan lembut telah berhasil membuat Ara menambatkan hatinya pada lelaki itu. Begitu juga saat mereka menjalani hari-hari sebagai dua orang yang saling mencintai. Tak pernah ada sikap Zal yang membuatnya kesal. Zal begitu sempurna dalam pandangannya dan selalu bisa membuatnya jatuh cinta.
Cinta yang besar, rindu yang banyak telah membuatnya bagai putri berhati lembut. Tak pernah berkeluh kesah meski mereka jarang bertemu. Ia tak pernah menggerutu meski Zal jarang mengabarinya. Sebuah perubahan sikap yang ia sendiri tak pernah bisa memaknainya mengapa.
Tetapi pada malam ini entah mengapa ia menjadi sukar untuk mempercayai suaminya. Ia tahu Zal tak akan berbohong tetapi hatinya yang lain mengatakan Zal tak sepenuhnya benar. Zal hanya sedang berusaha menyenangkan hatinya saja.
“Aku telah mempercayai Cut Bang sejak bertahun-tahun yang lalu, sejak aku belum menjadi istrimu, bahkan setelah aku menjadi istrimu, Cut Bang. Tapi entah mengapa malam ini perasaanku mengatakan bila aku tak dapat mempercayaimu.” Jawab Ara tenang.
“Cut Dek... Ara sayang...jangan pernah bicara begitu lagi ya. Abang yakin kamu tahu mengapa abang menikahi kamu. Dan itu sudah menjadi jaminan bagi abang untuk tidak pernah meninggalkanmu.”
***
Ara terbangun dari tidurnya yang tak nyenyak. Perjalanan ini benar-benar telah memberikan siksaan batin yang dahsyat baginya. Wajah Zal tujuh tahun silam hadir begitu nyata dalam ingatnya. Setiap detil dialognya muncul bagai naskah kuno yang akan dimuseumkan. Kenyataan itu membuat hatinya seperti dikerat-kerat gigi yang tajam. Nyeri hingga ke ulu hati.
“Beri aku kekuatan ya Allah!” teriaknya dalam hati.
Tujuh tahun bukanlah waktu yang lama. Tetapi juga tidak terlalu singkat. Ara memaki dirinya dalam keterpekuran. Cinta yang besar, rindu yang banyak telah membuatnya terkungkung dalam kerangkeng perasaan yang tak berujung. Ia bagai tersesat dalam labiran cinta yang pernah diberikan Zal padanya.
Tujuh tahun bukan waktu yang lama. Tetapi juga tidak terlalu singkat. Apalagi untuk menanggung sepi dan rindu yang bisa hadir kapan saja. Amarah dan benci yang sering melahirkan dendam dalam jiwanya yang mulia. Hanya lelaki kecilnya, pangeran kecilnya yang berhasil membuatnya keluar dari kebencian itu. Lelaki kecil yang hadir karena cinta yang diinginkan.
Hanya Amar, pangeran kecilnya yang telah memberinya kehidupan selama bertahun-tahun. Suara nyaringnya adalah jelmaan suara Zal yang mampu meluluhkan emosi dalam setiap tindaknya.
“Cinta ini harus dibagi.” Pekik Ara dalam hati sambil memeluk pangeran kecilnya. Dalam gelap. Dalam sunyi. Dengan air mata yang mengkristal bagai intan di kelopak matanya.
***
Langkah kaki pertama yang dipijakkan Ara di kota ini setelah tujuh tahun silam. Sudah banyak yang berubah. Matanya segera menuju ke pojok terminal tua ini, sebuah pohon Angsana besar masih berdiri kokoh di sana. Bunga-bunganya yang kuning berguguran seperti permadani. Tetapi kursi yang dulu pernah ia duduki sudah berubah, sudah berganti dengan kursi yang terbuat dari besi yang bagus.
Amar kecil hanya menurut ketika tangan ibunya mengajaknya duduk di bawah pohon Angsana tersebut. Tak ada kata dalam langkah mereka. Hanya suara degup langkah yang teratur terdengar begitu berirama.
“Kita akan ke mana Bunda?” tanya Amar setelah lama diam merenggut ucapnya.
Ara tak langsung menjawab. Jantungnya berdegub kencang. Wajah Amar dan wajah lelaki yang dicintainya berseliweran dalam benak dan pandangannya. Seolah-olah itu adalah pertanyaan Zal beberapa tahun silam.
“Kita akan pergi ke mana cinta membawa kita.” Jawab Ara datar. Matanya jauh memandang langit-langit yang biru.
Amar kecil mengernyit, tak mengerti dengan apa yang diucapkan oleh ibunya.
“Bunda?” tanya Amar menyentuh lengan ibunya. Matanya yang bening menatap lekat pada wajah sang ibu.
“ee...iiyaa...ada apa sayang?” Ara tergagap.
Ah, ia merasa bodoh sekali. Bukankah itu jawaban yang ia berikan pada Zal sepuluh tahun yang lalu, saat mereka masih menjalin cinta.
“Kita akan ke mana?”
“Bunda akan mengantarkanmu pada seseorang yang telah mengirimkan kamu kepada Bunda.” Jawab Ara dengan bahasa yang sulit dicerna untuk anak sekecil Amar. Amar kecil hanya melongo mendengar jawaban ibunya. “Sebab cinta ini harus Bunda bagi Amar.” Lanjut Ara dengan air mata yang menetes di pipinya. “Dengan seseorang yang telah menitipkanmu dalam rahim bunda.” Lanjutnya dalam hati.
“Bunda...”
Amar memeluk pinggang ibunya. Ada kegalauan yang tiba-tiba dirasakan oleh bocah tersebut. Ia merasakan sesuatu yang tidak dimengertinya. Seperti rasa hampa dan rasa takut yang hadir begitu saja.
Ara memeluk Amar dengan hati terluka. Ia tersedu tanpa suara dengan air mata mengalir. Wajah tenang Zal kembali hadir menghampirinya. Memacu detak jantungnya berirama tidak seperti biasanya. Benci dan cinta telah menyatu dalam hatinya.
“Mengapa harus seperti ini caranya membagi cinta, Zal?” desisnya.
***
“Bunda? Rumah siapa ini?” tanya Amar ketika mereka tiba di depan sebuah rumah yang besar. Model minimalis modern dengan warna abu-abu bercampur merah dan hitam jelas sangat menunjukkan selera pemiliknya yang tinggi.
Pohon-pohon hijau yang banyak membuat rumah ini begitu asri dan menenangkan. Ara menahan sesak di dada. Matanya menatap pada sebuah Gazebo berwarna coklat natural di pojok halaman. Entah mengapa tiba-tiba ia jadi membayangkan betapa seringnya Zal menghabiskan waktu bersama perempuan selain dirinya di tempat itu. Hatinya seperti terbakar. Sekuat tenaga ia menahan agar air matanya tidak jauh.
“Rumah seseorang yang telah memberikanmu kepada Bunda sayang.” Jawab Ara dengan senyum yang dipaksakan.
Seorang perempuan tengah baya muncul dari balik pintu. Beberapa kerutan terlihat mengelilingi kelopak matanya. Namun tidak menghilangkan gurat cantiknya yang alami. Wajahnya yang hitam manis terlihat begitu terawat dan segar. Segaris senyum ia lemparkan pada ke dua tamu yang asing dalam ingatannya.
Ara menatap perempuan tersebut dengan degub jantung yang hampir copot. Kakinya terasa lemas dan seluruh persendiannya terasa gemetar. Mulutnya terkatup rapat sementara mata mereka beradu pandang. Tak ada kata yang bisa ia ucapkan sepatahpun. Inikah perempuan yang namanya begitu sering kudengar? Perempuan yang selalu membuatku cemburu?
“Maaf, mau bertemu dengan siapa?” tanya perempuan tersebut ramah
“Maaf, apakah anda ibu Syateela?” tanya Ara memberanikan diri.
Perempuan itu merasa takjub dan senyumnya kembali terkembang. Secepat mungkin ia memutar ingatannya barangkali perempuan yang menanyakan namanya merupakan salah satu kenalannya.
“Iya benar. Tapi maaf...saya benar-benar tidak mengenal ibu.” Jawab perempuan itu.
“Ibu memang tidak mengenal saya. Tapi saya sering mendengar nama ibu disebut-sebut oleh seseorang.”
“Oh ya? Siapa?” tanya perempuan itu penasaran.
“Zal!”
“Zal?” perempuan itu mengulang.
“Iya”
“Dia suami saya.”
“Juga suami saya!” jawab Ara tenang.
Wajah yang sedang tersenyum itupun mendadak redup. Mukanya bersemu menahan kekagetan. Ia berusaha tersenyum menepis apa yang barusaja didengarnya. Baginya ini hanyalah kekonyolan yang baru pertama kali didengar seumur hidupnya.
Bagaimana mungkin suaminya punya istri selain dirinya. Mereka selalu bersama, bahkan nyaris setiap detik mereka bersama.
“Anda jangan bergurau. Saya kenal siapa suami saya. Dia tidak mungkin begitu.”
“Saya juga mengenal siapa suami saya. Karena itu saya datang ke mari setelah tujuh tahun kami tidak pernah bertemu.” Suara Ara bergetar. Sebelah tangannya meraih Amar yang sejak tadi tercenung menyaksikan pembicaraan dua perempuan dewasa di hadapannya.
“Mungkin saya bisa menghilangkan Zal dalam ingatan dan hati saya, bahkan saya telah menganggapnya mati sejak tujuh tahun lalu. Sejak ia mengingkari janjinya untuk menemani saya melahirkan. Saya bisa menerima putusan sepihak tanpa sebab dari suami yang amat kita cintai. Saya rela ditinggalkan bertahun-tahun tanpa saya tahu alasanya mengapa, tanpa pernah saya mencari tahu, tanpa pernah saya mengganggunya. Tapi dia tidak....!!” Ara menunjuk Amar.
“Dia harus tahu siapa ayahnya, karena tidak mungkin seorang anak lahir tanpa ayah.”
Perempuan setengah baya tadi memijit-mijit kepalanya yang tiba-tiba menjadi begitu pusing. Ia terhuyung-huyung dalam kejutan yang melebihi gempa berkekuatan 10 SR sekalipun. Matanya berkunang-kunang dan langit menjadi begitu gelap.
“Amar...ini adalah bundamu untuk saat ini dan seterusnya. Sebab cinta ini harus dibagi sayang...” ucap Ara dengan tersendat-sendat.
“Sudah saatnya Zal merawat cinta yang pernah ada dengan saya.” Ara memandang pada perempuan tersebut.
“Tapi Zal sudah meninggal sejak tujuh tahun lalu dalam kecelakaan pesawat terbang yang membawanya ke luar negeri.” Jawab perempuan tersebut sambil bersandar ke dinding. Tubuhnya terasa lunglai hingga ke belulangnya.
Ara luruh dalam tegaknya. Jiwanya terbang setinggi angkasa mencari ruang tertinggi tempat di mana Zal bersemayam saat ini.
08 mei 2009
Didedikasikan kepada seseorang
0 komentar:
Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)