Bacalah tanpa harus menerima begitu saja.
Berfikirlah tanpa harus bersikap sombong.
Yakinlah tanpa harus bersikap fanatik.
Dan, jika anda memiliki pendapat,
kuasai dunia dengan kata-kata.
Zal, debar jantungku; aku kangen kamu, aku kangen semua kebersamaan kita, waktu-waktu yang penuh kalimat panjang, canda tawa, penuh tautan untuk selalu bersama, saling berbagi dan mempermainkan waktu sebagai tali yang memintali percakapan kita.
Aku kangen tawamu, jerit dan marah manjamu. kangen suaramu yang masih disisai kantuk, juga jeda diantara tawa kita yang acap pecah bersama.
Aku rindu pagi Sabtu di bulan April itu, Zal. Mungkin kita tak perlu mengulangya di pagi sabtu bulan April berikutnya. Sebab semua hari adalah sabtu, dan semua bulan adalah april. dan setiap waktu adalah kerinduan. kerinduan yang tak pernah pupus. kerinduan yang selalu hadirkan harapan. dan harapan yang selalu hijaukan cinta.
Aku kangen kamu, kangen tawamu, yang begitu menggeletarkanku, kangen semua kicaumu, yang meski hanya dua patah kata, tapi selalu memantik api semangat dalam jiwaku, mengubah hari-hariku. kangen dengan pertanyaan-pertanyaanmu, yang kadang tak sepenuhnya bisa kujawab.
Zal, aku kangen kamu, kangen semuanya, semuanya...semua-muanya!
“The world hates change, yet it is the only thing that has brought progress- Dunia benci perubahan, sayangnya hanya itu yang akan membawa kemajuan” – George Kettering-
Pepatah di atas terlihat sederhana, tetapi untuk meresapi setiap katanya jelas membutuhkan kematangan akal dan pikiran yang tidak sederhana. Apalagi bila ingin mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari, jelas membutuhkan latihan dan kerja keras. Barulah perubahan yang akan membawa pada kemajuan itu terwujud.
Tulisan ini bukanlah hasil dari penelitian yang ilmiah, tetapi muncul murni karena adanya keresahan yang mendalam dalam benak diri penulis.
Lama berkecimpung dalam masyarakat tampaknya dapat memberikan sedikit jawaban atas teka-teki mengapa mayoritas dari masyarakat kita susah menjadi maju atau berkembang.
Perubahan itu sendiri sifatnya umum, tergantung dari perspektif apa kita melihat dan menelaahnya. Tetapi dalam konteks ini marilah kita menyamakan sudut pandang bahwa perubahan itu sendiri adalah kesuksesan. Yang dapat meningkatkan integritas dari setiap individu, dan dapat membawa para pelakunya pada enam aspek kehidupan yang ideal dan seimbang yaitu spiritual, mental, keluarga, sosial, fisik, dan kemapanan secara finansial.
Kita semua tentu sepakat bahwa untuk mencapai kesuksesan yang ideal mencakupi enam aspek tersebut tidaklah mudah. Tetapi bukan tidak mungkin, artinya bila sedikit saja kita mau keluar dari zona nyaman pasti kita dapat meraihnya. Hanya saja untuk dapat keluar dari zona nyaman tersebut dibutuhkan sarana dan prasarana yang cukup seperti lingkungan dan informasi yang positif serta sikap antusiasme untuk bekerja keras dan bekerja pintar.
Kesuksesan milik semua orang, tetapi realitanya hanya sedikit orang yang mau memperjuangkannya. Ini tidak terlepas dari pemikiran bahwa untuk menjadi sukses hanyalah milik orang-orang mampu saja. Padahal untuk menjadi sukses tidak begitu rumit dan hanya dibutuhkan sedikit tenaga untuk mengeluarkan diri dari rasa kemalasan dan egoisme. Ada beberapa hal yang dirasa cukup mempengaruhi apakah seseorang bisa meraih keberhasilan ata tidak dalam hidupnya yaitu:
Impian. Bagi sebagian besar kita tentu masih merasa asing dengan kata-kata impian. Itu tidak seluruhnya salah sebab selama ini pembicaraan mengenai impian hanya terbatas pada tingkat Sekolah Dasar saja. Setelah dewasa kita bahkan menjadi lupa pada hal-hal besar yang ingin kita capai. Kita cenderung mengikuti kemauan lingkungan tempat di mana kita tumbuh dan berkembang.
Bagi mereka-mereka yang ingin terjadi perubahan berarti dalam hidupnya akan mustahil terjadi tanpa adanya impian. Impian adalah visi jangka panjang. Hal mendasar yang harus dipunyai oleh personal maupun lembaga tertentu yang ingin tetap terus bertahan di muka bumi ini.
Pikiran. Kedengarannya memang sederhana, tetapi percayalah segala sesuatu yang besar dimulai dari pikiran. Pikiran yang positif akan melahirkan tindakan yang positif, tindakan yang positif akan melahirkan kebiasan yang positif sehingga dengan sendirinya akan mengubah karakter diri seseorang. Nah, karakter positif inilah yang akan membawa kita pada perubahan sesuai dengan yang kita inginkan.
Kita akan sulit maju dan berkembang bila mempunyai pemikiran yang sempit seperti halnya kepesimisan yang bisa melanda siapa saja. Rasa putus asa yang tinggi ataupun munculnya rasa tidak percaya diri yang bisa menghambat proses bertumbuhnya diri seseorang.
Pikiran yang positif ini akan membuat kita terfokus pada pemecahan masalah setiap mengalami kendala tertentu dalam menjalankan aktivitas. Berbeda dengan orang-orang yang berfikiran negatif, mereka lebih terfokus pada masalah sehingga banyak hal-hal yang seharusnya bisa dicapai menjadi tidak mungkin.
Kepercayaan dan nilai; Keberagaman beliefe dan value yang dianut oleh masyarakat juga sangat menentukan apakah mereka bisa mencapai perubahan itu atau tidak. Sebagai contoh misalnya, ketika kita beranggapan bahwa dunia politik itu kejam dan licik maka jadi kejam dan liciklah politik itu sendiri. Sehingga akan sulit untuk mewujudkan iklim perpolitikan yang bersih.
Sama seperti halnya ketika kita beranggapan bahwa seseorang yang memiliki uang banyak akan menjadi sombong dan angkuh, maka kita akan takut untuk menjadi kaya. Kepercayaan dan nilai tersebut akan melekat di alam bawah sadar kita sehingga akan membentuk prilaku. Uniknya, manusia hidup dengan kepercayaan dan nilai yang berbeda pada setiap individu, oleh karena itu tidak ada yang benar dan tidak ada yang salah dalam hal memandang sesuatu. Kondisi ini membuat kita tidak bisa sembarangan dalam menghakimi seseorang.
Goals; setiap dari kita tentu sudah sangat familiar dengan kata ‘misi’. Misi selalu bersanding dengan ‘visi’. Artinya sebesar apapun visi yang kita rancang untuk hidup kita maupun untuk organisasi tertentu, akan menjadi tidak berarti bila tidak ada misi. Misi dan goal mempunya arti yang sama. Goal adalah target jangka pendek di mana dalam penentuan target tersebut ada tenggang waktu yang dibuat. Misalnya bila seseorang mempunyai visi menjadi seorang penulis terkenal, misinya adalah ia harus menghasilkan karya dalam jangka waktu tertentu.
Kegiatan harian; banyak orang yang menyepelekan hal yang satu ini, tetapi tanpa daily activity yang jelas sebesar apapun impian dan sebagus apapun goal yang sudah dirancang akan hancur berkeping-keping. Daily activity ini adalah proses latihan yang perlu dilakukan berulang-ulang secara terus menerus hingga menjadi kebiasaan. Siapapun yang mempunyai impian besar harus bisa mengatur jam demi jam waktu yang mereka punyai setiap harinya. Sehingga jelas apa saja yang mereka lakukan untuk mencapai target yang sudah ditentukan.
Kegiatan harian ini merupakan hal-hal kecil hasil penjabaran dari goals yang telah dibuat. Namun dalam pelaksanaannya tidak semua orang mampu melakukannya dengan baik, karena itu dibutuhkan impian yang besar dan kuat untuk menggerakannya. Kita tahu bahwa hanya kebiasaan-kebiasaan kecil yang berkelanjutan saja yang bisa membawa dampak besar bagi pelakukanya, siapapun anda.(*)
tulisan ini pernah dipublikasikan di Majalah Potret edisi 29, november 2009
Mati! Kata yang begitu mengerikan bagi seseorang seperti saya. Walaupun usia masih muda tetapi penjemputan oleh Izrail bisa terjadi kapan saja. Bisa siang, bisa malam, bisa pagi bisa sore, bisa di rumah, bisa di jalanan. Bisa ketika terang, bukan tak mungkin ketika dalam gelap gulita. Apalagi dengan bekal yang masih nol besar. Ketakutan itu sering sekali menghantui. Apalagi ketika sendirian. Membayangkan kubur yang gelap, binatang tanah yang liar, dan siksa kubur yang azab. Dan Malaikat-malaikat yang tak kenal ampun. Sungguh pembayangan yang memerindingkan bulu roma.
Anehnya, aroma kematian itu kerap menghinggapi saya dalam seminggu terakhir ini. Mengaduk-ngaduk ingatan untuk terus mengingatnya, memikirkannya, hingga melahirkan ketakutan berulang-ulang. Semoga ini bukan pertanda bahwa kematian akan menemui saya dalam jarak yang begitu dekat. “Bekal saya masih nol besar ya Allah”.
Tapi ini sungguh mengganggu.
Bermula jumat siang (13/11) ketika seorang teman mengirimkan pesan singkat, mengabarkan kematian ayah seorang teman yang telah lama mengidap penyakit. Sejenak aku terpana, menatap layar kecil hand phone-ku. Baru beberapa hari yang lalu kami berkunjung ke rumah teman tersebut. Ah, betapa cepatnya waktu berproses.
Aku mengabaikan pesan tersebut, dan terus melanjutkan pekerjaan.. Mengecek barang-barang pesanan. Lalu mengirimkan email.
Tak lama berselang seorang teman dekat menelefon. Mengajak berkunjung ke rumah duka. “Tunggu lima belas menit lagi.” Kataku.
***
Malamnya suasana kematian semakin lengkap. Sosok ayah teman yang terbujur kaku hadir dalam mimpi. Tertidur dalam ranjang terakhirnya. Menampakkan ketirusan wajahnya dalam balutan kafan yang putih. Padahal dalam kehidupan nyata, saya bahkan tidak pernah melihatnya sekalipun.
Saya berdamai dengan diri sendiri. Tetap mengawali Sabtu dengan keceriaan seperti biasa. Melakukan rutinitas dengan penuh semangat. Mencoba melupakan segala hal menyangkut dengan kematian.
Menjelang pukul sepuluh pagi saya ke luar dari Tempat Biasa, ban sepeda motor saya mencium setapak demi setapak aspal hitam yang lembab. Terus melaju hingga berpuluh kilo meter jauhnya ke luar dari kota Banda Aceh. Di area persawahan Samahani, mendekati pasar Samahani yang kecil, sebuah gubug kecil sungguh menarik perhatian saya. Karena di gubug itu dijual ikan bakar dan ikan kayu.
Dari kejauhan aromanya telah mengusik indra penciuman saya. Menghadirkan rasa lapar yang begitu kuat. Ikan-ikan Tongkol dijerangkan di atas pemanggangan. Asapnya mengepul. Aromanya mengitari jagat sekitar. Membayangkannya saja sudah membuat air liur menetes.
Tetapi saya tidak berhenti di situ. Sebab tujuan saya memang bukan ke tempat itu. Melainkan ke desa Tumbo Baroe, Samahani.
Akhirnya saya sampai juga ke tempat tujuan. Tak ingin membuang waktu, sebab saya masih harus ke kecamatan Simpang Tiga. Begitu bertemu dengan orang yang saya inginkan, transaksi segera dimulai. Proses pembayaran terjadi begitu cepat. Dua puluh menit saya di situ. Setelah itu kembali ban sepeda motor saya bergumul dengan hitamnya aspal yang lembab. Sebab langit telah kirimkan rintik.
Tetapi ada yang aneh dengan suasana di sekitar gubug yang saya lewati tadi. Bukan karena aroma ikan bakarnya yang berubah. Bukan pula karena ikan-ikan kayu itu tergeletak di atas penjerangan. Berwarna putih. Putih! Entah mengapa tiba-tiba saya kembali teringat pada prosesi kematian. Mungkinkah ada orang tenggelam di irigasi di sepanjang jalan persawahan Samahani? Melihat begitu panjangannya antrian di sisi kiri dan kanan badan jalan.
Tetapi sepertinya bukan orang tenggelam. Sebab kerumunan orang-orang bukan di pinggir irigasi melainkan di ruas jalan. Ah, aku melihat polisi dari kejauhan. Serta merta hatiku menjadi lebih cepat berdetak. Apakah kemungkinan ada rajia besar-besaran? Bila benar, mungkin kali ini aku harus merelakan uang seratus atau dua ratus ribu melayang. Sebab aku belum mempunyai Surat Ijin Mengemudi atau SIM. Pengendara nekat!
Ugh! Hatiku semakin kacau, sebab jarak dengan polisi-polisi itu semakin berdekatan. Aku mengantri di antara pengendara-pengendara lainnya. Ban sepeda motorku lebih cocok dibilang merayap, dengan kecepatan tak melebihi kecepatan Siput berjalan.
Tapi, tampaknya bukan rajia. Tapi apa? Wajah orang-orang terlihat ketakutan dan pias. Mereka semua menoleh ke sebelah kanan badan jalan menuju Banda Aceh. Ada apakah gerangan?
Kembali kematian menjalari ingatan. Dan aku semakin yakin. Pasti telah terjadi sesuatu. Segera kubuang pandangan dibalik kerumunan orang-orang. Dan oh! Innalillah! Sesosok orang tergeletak di pinggir jalan. Ia tersungkur. Dengan helm tergeletak di sampingnya. Ia mengenakan celana jeans berwarna biru, dan di kakinya berbalut sandal gunung. Entah merk apa. Pastilah ia seorang laki-laki pikirku. Aku mencari-cari kepalanya. Tapi tak kudapati. Mungkinkah kepalanya hancur? Dan yang bercecer di sampingnya adalah otak yang selama ini menempati cangkang kepalanya. Aku ngeri. Baru kali ini sejak tujuh tahun di kota ini aku menyaksikan kecelakaan di jalan raya. Dan lagi-lagi kematian begitu merajai.
***
Kematian milik siapa saja. Wajib hukumnya bagi yang hidup. Dan Tuhan selalu mengingatkan kita melalui apa saja. Melalui kejadian orang lain ataupun kejadian yang kita alami sendiri. Malam harinya, melalui sebuah jejaring social saya kembali mendapati kabar bahwa teman nenek saya siang tadi juga meninggal dunia. Ah…akhir pekan yang begitu mistis.
Dan sepertinya kemistisan itu masih berlangsung di awal pekan ini. Sebab pagi-pagi sekali sebelum terbangun sebuah sms masuk, juga mengabarkan berita kematian seseorang.
Dan siangnya, ketika saya hendak makan siang lagi-lagi berita kematian muncul melalui layanan short message service.
***
Begitulah. Segala sesuatu tidak terjadi dengan sendirinya. Semua sudah digariskan oleh Allah di Lauh Mahfud sana. Bahkan untuk selembar daun yang jatuh dari pohon. Begitu juga dengan kematian.
Jika saja manusia sama seperti hewan yang dapat melihat kematian. Tentu dunia ini tidak akan riuh dan gegap gempita dengan berbagai kegemerlapan duniawi. Manusia akan seperti Gagak yang sebentar-sebentar berteriak “Kwak kwak kwak” karena bisa melihat kubue teuhah.
Dan, tentu saja rumah-rumah ibadah lebih ramai. Kekhusyukan di mana-mana.
Sayangnya, kematian tidak bisa diramal. Bila bisa tentu ayah teman saya itu akan mengatakan kepada anaknya untuk tidak perlu repot-repot mencarikan darah untuknya. “Karena sebentar lagi ayah akan pergi, Nak”. Atau pemuda yang meninggal di pinggir jalan Samahani itu, bila dia tahu Izrail menunggunya di pinggir jalan itu tentu pada hari itu dia tidak akan ke Banda Aceh.
Tetapi kematian tidak dapat diramal. Bila bisa, ingin sekali awal tahun 2008 lalu saya mengatakan “Ayah, sembuhlah, bila ayah sembuh maka ayah tidak perlu ke Meulaboh untuk berobat. Karena di Meulaboh kematian telah menanti. Ayah, teruslah hidup untuk kami, anak-anakmu.”
Tetapi kematian memang tidak dapat diramal. Bahkan ketika jenazah ayah datang saya masih bertanya-tanya “benarkah ayah sudah tiada?”
“Mau ikut minum kopi bareng aku? Mungkin pada segelas kopi kita menemukan jawaban atas masalah kita”.
Melalui short message service aku mengajakmu. Hanya sebuah basa-basi yang benar-benar basi. Sebab, kalaupun kamu mau sudah pasti itu mustahil kau penuhi untuk saat ini. Jarak yang beratus-ratus kilo meternya adalah jawaban mengapa aku cukup berbasa-basi.
“Tos! Gw juga lagi ngopi kaleng. Sambil mikirin keruwetan ini hahahaha” jawabmu melalui media yang sama.
Setelah saling beradu argumen tadi aku ingin sekali melihat wajahmu. Apakah kau benar-benar bisa tersenyum lega, atau senyum penuh kesatiran seperti yang kulakukan. Senyum untuk mengelabui orang-orang di sekitar kita. Senyum untuk menyembunyikan kelemahan kita. Senyum tegar seorang ayah dan suami. Atau senyum keikhlasan seorang kekasih. Tapi paling tidak seperti yang kukatakan padamu, i feel better today.
“Keruwetan diciptakan Tuhan untuk dinikmati” jawabku lagi.
Gundah ini membatu setelah bertahun-tahun waktu terlalui begitu saja. Aku yang sering terdiam menjemput gelisah setiap kali menjelang tidur. Bahkan mimpi yang datang sebagai bunga tidur tak ada satupun yang bisa membuatku senang. Hingga pagi kesubuhan membuatku terburu-buru untuk segera beranjak lalu segera ke luar untuk memandang matahari. Lelaki bukan suamiku menanti di sana. Dalam wujud yang hanya aku sendiri yang dapat memaknai.
“Setiap kali kamu merinduiku, ke luarlah dan lihatlah matahari pagi. Aku akan ada di sana untukmu. Hanya matahari pagi, Sayang.” Ucapnya belasan tahun yang lalu. Hangat sentuhan tangannya di pipiku masih kurasai sampai hari ini. Mesra tatapannya masih bergelantung dalam pundak ingatku. Nafasnya yang harum masih kuhirup hingga detik ini.
Mematung aku di bawah langit. Hangat merayap menjalari seluruh tubuhku. Kusapu lembut kehangatan itu pada wajahku yang kian kusut. Desir darah mengalir deras dalam nadiku. Ia hadir hinggap di tubuhku; lelaki bukan suamiku.
“Maka aku akan datang untuk redam gejolakmu.” Lanjutnya ketika itu. Aku mengangguk. Pasrah. Menurut. Sebab hanya itu yang bisa membuatku hidup. Dia; lelaki bukan suamiku.
Muram ini membeku sejak belasan tahun yang lalu. Maka kucairkan ia dengan kehangatan matahari pagi sebagai reinkarnasi wujud dari lelaki bukan suamiku. Aku menyebutnya persetubuhan jiwa.
Usai ritual tersebut aku kembali menjadi diriku, istri bagi suami yang harus kuhormati, kupenuhi haknya, kulayani sepenuh hati. Tanpa keikhlasan yang terus tumbuh layaknya usia kami yang terus menua. Tak pernah ada yang tahu. Sebab gelisah ini hanya milik mata yang enggan terpejam meski malam telah tua. Risau yang hanya milik hati yang telah grafirkan inisial lain. Lelah yang hanya milik ingat yang tak pernah gagal dalam mengenang kisah.
Ritual yang telah belasan tahun kulakukan. Tanpa alpa seharipun. Bahkan pada pagi pertama setelah kami melakukan ijab kabul. Ritual ini nafasku. Maka ketika hujan datang, akulah orang paling gelisah. Sebab aku tak menemui wajah kekasihku di pagi hari. Sebab aku tak bisa mencium aroma tubunya yang hadir dalam burai-burai perca cahaya. Sebab tangannya tak bisa hinggap di tubuhku. Sebab ia tak datang bersamaan dengan hujan.
“Aku hanya menikahkan jiwaku sekali saja dalam hidupku, dan itu telah untukmu” Kataku pada saat itu. Belasan tahun yang lalu.
Ketika itu diam adalah jawaban. Isyarat bagi hati yang sedang luka. Protes tak terucap atas keadaan yang tak sanggup ditentang. Hanya mata yang sanggup leraikan kecewa. Menaruh sedikit rasa percaya atas apa yang ditasydidkan hati. Selebihnya adalah gemuruh yang lelehkan bening di kelopak mata.
“Kebahagiaan itu di sini.” Aku menaruh tangannya tepat di dadaku, agar ia bisa merasai bahwa aku berkata benar. Jantung ini berdetak kencang mengiyakan. “Selama kamu ada di sini aku akan selalu bahagia.” Kataku meyakinkan diri.
Maka, ketika pagi ini aku bangun terlambat adalah kekhilafan terbesar dalam hidupku. Matahari telah menerangi setiap celah di kamar tidurku. Aku memicingkan mata. Beranjak bangkit menuju jendela. Kusibak horden berwarna coklat muda berenda penutup jendela kamar tidur kami. Aku dan suamiku. Matahari menerobos liar menyinari tubuhku yang setengah terbuka. Kutarik tirai dan segera kututupi tubuhku.
Mataku menjeling pada sesosok laki-laki yang masih meringkuk di tempat tidur. Dialah suami kehidupan nyataku. Air mataku meleleh. Ada penyesalan yang teramat sangat dalam diri ini. Nyeri yang bertubi-tubi. Jika saja, ah... Seandainya aku tak menuruti permintaan lelaki suamiku usai subuh tadi tentu semua ini tidak akan terjadi. Matahari tentu tidak akan menyelinap masuk untuk menghukumku.
“Jangan pernah biarkan aku menunggu. Sebab aku akan selalu datang tepat waktu.” Ucap lelaki bukan suamiku belasan tahun yang lalu. Dengan ucapan yang ditegar-tegarkan. Dengan suara yang dinyaring-nyaringkan. Aku mengangguk kala itu.
Maka gundah ini tak lagi sekedar batu biasa. Tetapi ia telah menjadi karang yang begitu kokohnya. Aku telah melanggar janjiku. Dan aku semakin membenci lelaki suamiku yang telah membuatku kehilangan berkali-kali. Dan lagi aku tak kuasa menolaknya pada subuh-subuh berikutnya. Pertemuan yang terus cokolkan benih dalam rahimku.
Dan aku, semakin jauh dengan matahariku. Lama aku tak merasai hangatnya yang menjalari tubuhku, lama aku tak merasai sentuhannya yang mengusik adrenalinku. Lama aku tak merasai harum mulutnya yang hadir dalam burai-burai perca cahaya. Semakin lama dan lama. Hingga akhirnya ia tak datang lagi. Aku kehilangan cintaku.
Karena musim penghujan telah menelan hingga sepanjang tahun ini. Akulah orang paling gelisah itu. Karena setiap malam adalah surga bagi kebencianku. Hujan yang sematkan rintik di mataku. Dan salju yang semakin membeku dalam jiwaku.
Luka yang berkeping-keping. Hukuman yang tak terampunkan. Ke mana aku mencari reinkarnasinya yang lain. Tak mungkin dalam hujan. Sebab ia tak mungkin datang pada waktu yang bersamaan.
Dan entah sejak kapan matahari tak pernah muncul lagi dalam hidupku. Tulang belulangku mulai keropos. Aku tak henti memaki diri. Sesal. Kesal. Aku ingin meraung. Lidah ini mulai kehilangan banyak kata. Sepi suara. Ingatan ini mulai terkelupas, bahkan untuk mengingat wajah lelaki suamiku. Mata ini mulai berkabut. Hingga akhirnya kudapati matahariku dalam wujud yang lain. Api yang menyala merah kebiru-biruan. Membumbung tinggi menjerla ke langit. Terang. Hangat. Matahariku telah kembali. Maka kujejakkan kaki di atas baranya yang merah. Aku tidur memeluk matahari. Selamanya. (Ihan)
00:52
22-10-09
* cerpen ini sudah dimuat di Koran Harian Aceh, edisi Minggu, 08 November 2009
Suatu malam diawal bulan November. Pada tahun ke delapan usia pernikahan kita. Aku ingin hujan turun malam itu. Lalu mengirimkan kabut-kabut kepadaku. Dan hujan benar-benar turun kala itu, tapi di matakuku. Dan kabut benar-benar ada, tapi di hatiku.
Aku terseok pada kebingungan yang menggulana. Nostalgia lama yang kembali melilit setengah jiwa yang telah lama hampa. Aku terdepak dari keputusan akut. Di antara rintik hujan, di antara asap kabut. Di mataku. Di hatiku. Di antara kehadirannya.
Aku tergeletak dalam palung labirin keruwetan keinginan. Rindu yang membabi buta, dan kebersalahan yang membentang dalam ingatan. Setengah hatiku tercabik, dan setengah yang lainnya bertumbuh. Sebagai syukur atas anugerah yang telah Tuhan berikan. Kepadaku; kamu dan anak-anak kita.
Aku gugu dalam diam. Pada malam diawal bulan November tahun ini. Pada tahun ke delapan usia pernikahan kita. Aku ingin hujan turun malam itu. Lalu mengirimkan kabut-kabut. Dan hujan benar-benar turun, untuk mensucikan ingatan dari kejelagaan masa lalu. Dan kabut benar-benar ada, untuk membatasi jarak pandang dengan masa pada waktu itu.
Note;
Kepada seseorang; aku tak berharap persamaan kisah. Bilapun sama, mungkin kita harus banyak berdoa; agar hujan dan kabut lebih banyak turun dalam kehidupan kita.
Lama aku tak mencandaimu, mungkin waktu selama ini lebih banyak milik hening daripada milik kita. Ritme yang tidak teratur sering kali pertemukan kita pada persimpangan yang tidak searah.Dan aku berusaha mengerti. Sebab waktu mungkin memang sedang menguji kita. Aku dan kamu. Kita berhenti untuk kekalahan, atau kita bertahan untuk kemenangan. Dan aku lebih menyukai yang ke dua. Sebab kau selalu ajarkan itu padaku melalui cintamu.
Siang ini, kau membuatku tercenung, diam dalam kebermainan rasa yang menyelubungi benak. Menggoda diri ini untuk terus bertanya pada diri. Mungkinkah sudah ada yang berkurang setelah faselita ini? Apa benar semuanya mulai terlihat tak sempurna? Ataukah memang apa yang ada di hati ini bukan lagi seperti faselita yang lalu.
Tapi sejak semalam aku mengingatmu, semalamnya lagi, semalamnya lagi, aku sering memimpikanmu, aku sering kesal karena setiap hari tidak bisa bilang rindu padamu. Aku sebal karena harus menunggu lama untuk bisa membelai wajahmu. Aku menemukan jawaban; Aku masih mencintaimu persis seperti aku mencincaimu lima tahun yang lalu!