Meulintee
Oleh: Ihan Sunrise
“Mak tak habis pikir.” Kataku begitu kami tinggal berdua dengan anak gadisku. Nurul.
“Tak habis pikir apanya?” Tanya Nurul, anak perempuanku bingung.
“Dengan jalan pikiranmu.” Kataku cepat
“Memangnya kenapa dengan jalan pikir Nurul?”
“Seperti hana pikeran.”
“Lalu yang punya pikiran itu bagaimana, Mak?” Tanya Nurul agak tersinggung.
“Ya jangan bawa laki-laki itu ke rumah.” Pungkasku
Nurul yang sedang membereskan meja setelah memindahkan gelas dan piring kecil berisi kue untuk tamuanya tadi tak jadi beranjak. Ia duduk di tempat tamu tadi duduk. Di tangannya masih menggantung kain lap kecil yang akan ia gunakan untuk membersihkan meja bekas tumpahan air teh.
“Terus bawa ke mana? Bang Jack kan mau berkenalan dengan Mak. Wajar kan kalau calon menantu mau berkenalan dengan calon Mak Tuannya. Masak Nurul bawa ke pasar dan pos jaga. Apa kata orang nanti? Masak anak gadis mak rayueng-rayueng lelaki ke sana ke mari tanpa mak kenal siapa orangnya.”
“Kalau itu benar terjadi berarti pikiranmu sudah dibutakan oleh dia.”
“Pikiran yang terang itu kiban Mak?”
“Ya tidak usah berhubungan dengan…si…siapa namanya tadi?”
“Bang Jack.”
“Dari namanya saja mak sudah tidak sreg.” Keluhku.
“Nama aslinya Zakaria. Namanya seperti nama Nabi mak.” Bela Nurul.
Kami terus beradu argumentasi. Tak ada yang mau mengalah. Baik aku maupun Nurul anak perempuanku. Bukan aku tidak setuju dia mau menikah, apalagi usianya sudah 24 sekarang. Sudah pantas. Akupun sudah ingin menimang cucu dari anak perempuanku itu. Tapi aku tidak suka bila ia menikah dengan si Jack itu.
Bila ditanya orang-orang siapa menantu Nyak Wa Fath guru mengaji itu? Aku pasti akan kesusahan menyebut namanya. Jack. Sedikitpun tidak mencerminkan keislaman. Namanya yang bagus malah dipelesetkan jadi Jack. Sungguh tak mengerti agama.
Tetapi sebenarnya bukan hanya soal nama. Si jack itu tak pantas dengan anakku karena dia terlihat sangat tua. Mereka terpaut 20 tahun usianya. Nanti kalau mereka menikah dan anakku ikut tua bagaimana? Maksudku, kalau mereka menikah lalu si Jack itu cepat meninggal dan anakku jadi janda bagaimana?
“Mak terlalu jauh seumike.” Protes Nurul
“Memang harus dipikirkan jauh-jauh. Menikah itu untuk sekali seuumur hidup. Mana bisa asal-asalan.” Tukasku.
Sebenarnya si Jack itu tidak demikian buruknya. Ia terlihat sopan, kata-katanyapun terlihat baik dan teratur. Ia datang dengan membawa oleh-oleh buah-buahan yang banyak. Tapi aku tak suka karena ia bekerja di luar negeri. Nanti kalau anakku dibawa jauh bagaimana. Sementara aku cuma punya satu anak perempuan.
Tapi…kengerianku sebenarnya adalah kehidupan si Jack selama ini di luar negeri. Siapa yang menjamin dia orang baik-baik. Kehidupan di luar negeri itu sangat bebas. Tidak ada aturan. Jangan-jangan dia sudah tidak perjaka lagi. Atau mungkin dia sudah pernah menikah dengan gadis-gadis di luar negeri sana. Siapa tahu?
“Kalau mak terlalu selektif Nurul bisa tidak menikah-menikah.” Nurul cemberut.
Aku menghela napas. Berat. Bukannya aku terlalu selektif. Tetapi sebagai orang tua tentu saja aku tidak ingin anakku kecewa nantinya. Di jaman seperti sekarang ini mencari orang yang baik dan bertanggung jawab itu susah. Apalagi yang pemahaman agamanya memadai. Langka.
“Kamu boleh menikah dengan siapa saja, asal bukan dengan si Jack.” Kataku akhirnya.
“Ya sudah, Nurul mau menikah dengan bang Haikal.” Jawab Nurul dingin. Raut mukanya tanpa ekspresi.
Aku terhenyak. Sesosok lelaki tinggi besar bermain di kepalaku. Alisnya tebal. Kulitnya coklat bersih. Matanya tajam dan bersinar. Giginya begitu rapi. Tapi ia agak gemuk dan berperut. Pun demikian tetap tidak mempengaruhi penampilannya yang enak dilihat. Senyumnya menawan.
Tak ada alasan untuk tidak menerimanya sebagai menantu. Ia berpendidikan, hidupnya berkecukupan, jiwa sosialnya tinggi, tetapi hanya satu kekurangannya.
“Mak tidak rela kamu jadi istri ke dua, Nak.” Kataku mengiba
Ada kesedihan di mata anak gadisku. Membicarakan Haikal tentu akan sangat melukai perasaannya. Sekuat apapun ia berusaha menutupi tapi aku tetap dapat melihat kalau ia sangat mencintai lelaki itu. Mata Nurul mengerjap-ngerjap. Kami terbuai dalam diam. Sibuk dengan perasaan masing-masing.
“Mak sayang sama kamu Nak. Mak tidak ingin hidupmu berantakan nantinya. Menikah bukan hanya soal kesenangan materi saja. Tapi kita harus pikirkan kesenangan hati, karena hanya kedamaian hati yang akan membuat kita dapat menikmati hidup.” Aku membelai rambut Nurul yang luruh dalam pelukanku. Tak terasa ia telah begitu cepat bertumbuh dewasa. Rasanya aku seperti baru kemarin menggendongnya dalam pelukanku.
“Bagaimana kalau dengan bang Fahmi mak?” Tanya Nurul sambil melepaskan diri dari pelukanku.
“Si Fahmi yang duda itu?” tanyaku kepalang kaget.
Gadisku mengangguk. Aku lemas. Terbayang wajah si Fahmi yang diceraikan istrinya beberapa bulan yang lalu, karena kerjanya cuma bersyair saja di pos jaga. (*)
Bilik Hati, 11:52 pm
07 april 2010* Tulisan ini sudah pernah dipublish di website www.ababil.org
http://ababil.org/index.php/2010/04/meulintee/