Oleh: Ihan Sunrise
Angin selalu bertiup seperti ini. Dingin. Beku. Sepoi yang kirimkan sendu dan kemirisan. Leguhan kesakitan yang tak pernah usai.
Tatkala mataku tertahan pada kerlip lampu nelayan di tengah lautan, akumulasi kesedihan dan kemarahan mengorgasme dalam jiwa. Pemberontakan yang tak pernah menemukan jalan keluar. Sebab bunda selalu bisu. Bungkam atas setiap tanya yang kulontarkan. Mulutnya terkunci. Mungkin juga pikirannya.
Maka aku merasa tak lebih hidup sebagai pecundang yang sarat keraguan. Imajinasi yang terus menerus tersekat perasaan. Aku tak bisa berkhayal dengan sempurna. Hidupku tak bergradasi.
Tiap kali kudapati bundaku mematung di ambang pintu, maka setiap kali pula resah menggelantung dalam benakku. Tanda Tanya besar menggelinjang-gelinjang dalam pikiran. Apakah yang disaksikan bunda saban hari dari ambang pintu itu? Tak pernah kutemukan jawabannya selain diam-diam kulihat ia menyeka air matanya.
Lain waktu, aku berdiri di tempat yang sama. Membuang jauh pandanganku ke tengah laut. Tidak ada apa-apa. Sejak belasan tahun yang lalu hanya itu-itu saja yang kudapati. Gundukan pulau-pulau di seberang sana. Apakah itu yang selalu menarik perhatian bunda?
Bila pada akhirnya aku harus menitikkan air mata bukanlah karena rasa sedih dan kecewa, tetapi karena kemuncak kekesalan yang terjadi atas semua ini.
Dan kegalauan itu begitu memuncak ketika kudapati wajah bunda dibalut kemendungan yang muram. Matanya sembab dan tatapannya begitu pias. Mukanya pucat seperti mayat. Tangannya sedikit bergetar, mungkin campuran rasa takut entah dengan apa. Ia bahkan tak berani memandangku yang tak bergerak di hadapannya.
“Laut.” Katanya sepatah.
Lalu ia kembali diam. Aku menunggu. Apalagi yang akan diceritakan bunda tentang laut.
Laut. Sesuatu yang tak asing lagi bagiku. Ketika lahir, bahkan sebelum mendengar suara azan aku sudah mendengar deburannya. Sebelum bunda memberiku makanan nasi bercampur pisang aku sudah lebih dulu mengecap asinnya air laut. Laut adalah hidupku. Jiwaku. Rasanya tak ada yang tidak kuketahui tentang lautan.
“Laut adalah…” lanjut bunda terbata.
“Laut adalah apa bunda?” sergahku tak sabar.
Kali ini kudapati air mata mulai menggenang di matanya yang bulat. Aku tak sampai hati karena telah memaksanya berbicara. Harusnya kubiarkan saja bunda dengan diamnya tadi.
“Laut adalah ayahmu.”
“Ayah?” mataku membulat.
***
Ayah. Adalah kata yang selalu membuatku tersekat. Yang mendindingi alam hayalku. Yang menggunting imajinasiku. Yang selalu membuatku berhenti setiap kali berfikir tentang kelengkapan sebuah keluarga. Yang selalu membuatku menangis diam-diam ketika memikirkannya. Yang sering membuatku berbeda dengan teman-teman sepermainan.
Seperti apa ayah? Lelakikah atau perempuan? Pertanyaan bodoh yang kerap menghinggapi pikiran masa kanakku. Dan juga tatapan kosong ibu yang selalu kuingat setiap kali aku merengek-rengek minta diceritakan tentang ayah.
Ah…ternyata begini rasanya mempunyai ayah. Senang. Bahagia. Takjub. Lega.
“Laut adalah jelmaan ayahmu, Mala.” Kata bunda kemarin pagi.
Maka kubiarkan tubuhku dipeluk ayah. Basahnya yang hangat masuk hingga ke pori terdalamku. Rambutku dipenuhi sisik-sisik pasir yang mistis. Maka kubiarkan saja semuanya. Aku pasrah dalam kerinduan yang panjang dan melelahkan selama ini. Kubiarkan jilatan ombak bergantian menerpa tubuhku. “Karena ayah sedang memelukku dengan kasihnya.”
“Apakah ayah berasal dari pulau yang selalu bunda pandang dari ambang pintu rumah kita?” tanyaku menyelidik melawan kegusaran. Bunda mengangguk. Pelan.
Seperti inikah senangnya ketika dulu bunda bertemu dengan ayah? Mereka yang bertemu dan berpisah di lautan. Ayah yang begitu mencintai laut, setengah hidupnya adalah gemuruh lautan, setengah jiwanya adalah debur ombak. Laut adalah pengasuh sejatinya. Maka ia relakan laut menjadi saksi bagi pernikahan jiwa mereka yang tak pernah terputuskan. Ayah dan bundaku. Pun ketika laut menenggelamkan jasadnya. Bunda tak marah. “Laut adalah reinkarnasi setelah kematianku. Datanglah kapan saja kau mau untuk melepas kerinduanmu.” Begitu dulu ayah pernah berpesan kepada bunda.
Mengertilah aku sekarang, mengapa bunda rutin mengunjungi lautan. Karena ayah selalu menantinya di sana dengan penuh cinta. Mereka begitu mesra, berdialog, mereka basah bersama deburan ombak, mereka larut dan kilauan pasir putih yang suci. Mereka bercinta dengan cara yang hanya mereka sendiri yang bisa memaknainya.
Barulah aku mengerti ternyata prosesi itu adalah pengulangan kesakralan cinta mereka. Hingga lahirlah aku. Jilatan buih-buihnya yang pecah kini kupahami bukan sekedar buih pantai yang tak berarti. Tapi buih yang lain. Buih cinta yang ke luar dalam jasad mereka.
“Maka temuilah ayahmu Mala. Perkenalkan dirimu.”
Kuturuti kata bunda tanpa sepotongpun bantahan. Pertemuan ini adalah penantian panjang belasan tahun. Maka aku tak ingin menundanya barang sedetikpun.
Mengertilah aku kini mengapa bunda kerap marah acap kali aku memaki lautan. Atau ketika wajahku murung ketika menghadapi lelautan. Atau ketika aku membuang sesuatu yang tak berharga di atasnya. Mengertilah aku kini. Semuanya.
“Ayah, perkenalkan aku Mala. Anakmu yang lahir tanpa kau ketahui hadirnya dalam rahim bunda.”
Aku melihat ayah mengangguk. Tangannya menggapai-gapai melalui ombak menyentuh kulitku. Bibirnya tersenyum, menyusuti butiran pasir yang terkikis. Matanya berbinar, adalah pantulan cahaya yang membentuk kilauan-kilauan maha dahsyat. Di lautan.(*)
Ihan Sunrise
Bilik hati, 5 april 2010
* Cerpen ini sudah pernah dimuat di koran Harian Aceh, edisi Ahad, 09 mei 2010
0 komentar:
Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)