mungkin, ini adalah penyampaian paling kurang ajar, seyogyanya aku ingin mengucapkannya sambil mencium takzim tanganmu, dan sambil mengecup mesra pipimu yang lembut, selembut salju yang turun di tepi kutub, bersih, sejuk, mendamaikan. Lalu, aku katakan seperti ini di telingamu; Selamat ya cinta, atas prestasi besar dan perjuanganmu, aku yakin dan percaya engkau bisa berikan yang terbaik untuk dunia.
Tapi, lagi-lagi kali inipun kita harus berdamai dengan keadaan, berjuang menahan ego diri; untuk harapan yang lebih lama dan panjang, sebab mencintaimu bukan untuk usai.
Di kota ini, aku berharap terjadi keajaiban, entah apa, tapi seperti aku tiba-tiba terlempar di hadapanmu, untuk melihatmu berjalan, melintasi rerumun manusia, menerobos kebisingan, menghalau pikuk, untuk berdiri tegak dan gagah. Kusenyumi engkau seperti senyum yang selalu engkau beri untukku.
Aku memang tersenyum, untukmu yang sedang berbunga hatinya, untukku yang tak mendapati keajaiban itu, aku masih di kota di mana kita pernah memiliki ruang dan waktu secara bersamaan, keadaan adalah milik kita ketika itu.
Selamat ya cinta, karena untuk bisa melihat wajah bahagiamu ketika itu bisa di mana saja, Tuhan memberiku cara terindah untuk menikmatinya, bahkan aku...bisa mencium wajah lembutmu selama yang aku inginkan, menatapmu dalam diam yang menakjubkan.
Cinta, selalu saja kau bisa membuatku jatuh cinta, dengan cara paling sederhana sekalipun. Kelak, jika aku mati dan Tuhan menanyaiku siapa orang yang paling penting dalam hidupku aku akan jawab; Kamu. Bukan karena aku mencintaimu tetapi karena kamu pantas untuk dipentingkan. (I&Z)
Medan
12 Maret 2011
10:20 am
0 komentar:
Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)