aku mendapati kabar bahwa ia telah tiada, kesengsaraan jiwa dan berbagai komplikasi penyakit telah membawanya pada kematian yang begitu cepat. seingatku, aku pernah menjenguknya saat lebaran tahun lalu, sebenarnya bukan khusus untuk menjenguknya, tetapi karena ingin bersilaturrahmi dengan seluruh penghuni rumah panggung tempatnya berteduh.
kulihat perempuan itu begitu renta, kulitnya mengering dan mengeriput serupa tanah kering yang tandas dimamah kemarau, ia lapuk dalam tikar usangnya yang sama rentanya dengan jasadnya, ia terbatuk, sesekali meringis dengan mata mengerjap-ngerjap, ia nyaris seperti kanak-kanak yang tak ingin jauh dari sang ibu.
dan perempuan senja yang menjadi ibunya, dengan segala ketertatihan tak pernah mengeluh untuk merawatnya, menggaruk badannya yang terasa gatal, mengipasinya ketika ia mengeluh kepanasan, menyuapinya makan, memberinya minum, bahkan memapahnya untuk sekedar buang air.
kutaksir, ia lahir sekitar awal tahun lima puluhan, karena ia hanya lebih muda sedikit dari usia nenekku, tetapi melihatnya seperti dialah nenekku yang sebenarnya, ia begitu ringkih, dimakan kekurusan jasadnya yang begitu lemah. ia bekerja sebagai seorang guru di madrasah ibtidaiyah di kampungnya, dengan predikatnya itu orang-orang memanggilnya Ibuk.
ia sekarat oleh cinta yang tak kunjung menghampirinya, bertahun-tahun lalu, ketika ia masih muda ia pernah mengenal cinta, pada seorang lelaki yang ingin mempersuntingnya menjadi permasuri hati, tapi waktu itu kasta begitu kuat mengakar adat, orang tuanya tak setuju, ia ingin kawin lari dengan kekasih hatinya, tapi apa daya ia tak berani ambil resiko.
dan setelah itu adalah sepi yang teramat panjang, ia sibuk mengurusi murid-muridnya, mengurusi orang tuanya, mengurusi rumahnya, dan dapurnya. sehingga ia lupa bahwa hatinya masih kosong untuk ditempati oleh cinta.
lama aku tak bertemu dengannya, kami hanya bertemu setahun sekali, hanya untuk bersilaturrahmi ketika lebaran tiba. tetapi ada yang lain di wajahnya ketika kami sering bertemu di awal tahun 2008, ketika itu ayahku sakit dan aku harus menetap lama di kampung halaman, tetapi hingga akhirnya ayah pergi untuk selama-lamanya, aku masih melihat senyum yang sama di wajah perempuan tua itu.
wajah yang berbunga-bunga dan begitu semerbak, senyum yang selalu terpancang serupa layar yang siap berlayar mengitari lautan maha luas. dan ketika ia mengabari hari pernikahannya, di usianya yang senja akhirnya ia kembali bertemu dengan pangeran yang dulu pernah ditolak orang tuanya. mereka telah sama-sama tua. tapi sayang aku tidak dapat menghadirkannya, sebab aku masih ingin menunggui arwah ayahku yang masih bersamaku.
semua orang berlega hati, mengamini kesakralan yang tak terlalu mewah itu, tentu saja kado-kado yang menjadi seserahan dari para pemberi selamat turut memperlengkap kebahagiaannya. hari itu ia menjelma menjadi cinderellah, dan seorang pangeran akan mendampinginya ke mana saja.
tetapi kabar kebahagiaan itu tak terlalu lama kudengar, setelah beberapa bulan aku kembali ke kota tempatku beraktivitas, melalui telepon aku sering menanyakan kabarnya pada ibu, hingga akhirnya kuketahui bahwa pangerannya tak pernah kembali.
bahkan hingga akhirnya ia kembali ringkih dalam sakitnya, dan harusnya ia bisa pergi dalam pangkuan orang yang amat dicintainya itu. tetapi, ia telah menjadi daun yang luruh begitu saja, mengikuti arus angin untuk menerbangkan seluruh luka hatinya. dan sekarang, ia telah kembali pada pemilik cinta yang sebenarnya. semoga saja Tuhan telah menyiapkan pangeran yang sebenarnya untuknya di surga sana.
22 April 2011 jam 11:13