Memutuskan untuk menjadi bahagia itu mudah, seperti saya yang memutuskan untuk menghabiskan sabtu (21/5) sore bersama dua orang sahabat saya, Cacan dan Martha. Kami terbawa pada arus komplikasi perbincangan yang membuat kami lupa pada waktu, kami bercerita tanpa sekat-sekat rahasia, tertawa tanpa perlu merasa terganggu, sekalipun kami sedang berada di tempat ramai, tak apa, sabtu malam itu milik kami; milik Cacan, Ihan dan Martha.
“Saya rasa kita bertiga mempunyai kisah cinta yang hampir mirip,” kata Martha, jumat (15/5) petang yang lalu, sore itu kami menghabiskan waktu di sebuah Kafe di seputaran Simpang Lima, kami bertiga tertawa, tergelak dan mungkin sibuk dengan pikiran masing-masing, mungkin saja. Dan kami tetap tak peduli pada mata-mata heran yang melirik ke arah kami.
Namun tanpa ada ikatan kimiawi apapun, Cacan, Ihan dan Martha tentu tidak akan menjadi sahabat seperti sekarang ini, dan itu terjawab kemarin sore, ketika Cacan bilang; “Saya lahir di Langsa.”
Ahay, Martha tertawa. Dia merasa takjub, karena secara geografis kami bertiga ternyata berasal dari tempat yang sama. “Saya menghabiskan sebagian waktu saya di Rantau.”kata Martha. “Saya dari Idi,” Kata saya menjawab pertanyaan Cacan.
Puzzle tentang kami bertiga mulai tersusun rapi, bukan hanya latar belakang geografis, ternyata kebiasaan yang kami lakukan pun banyak yang sama, “Jangan suruh saya bicara, kalau saya sedang tak ingin bicara, dalam kumpulan orang ramaipun saya sanggup untuk tak terlibat pembicaraan,” kata saya di sela-sela obrolan kami, “Ya ya…benar, saya di rumah juga tak banyak bicara.” Sambung Cacan.
“Apalagi saya, jangan sekali-kali usik saya dalam sebuah perjalanan. Saya ingin menikmatinya dengan cara saya sendiri.” Martha ikut terlibat, dan kami semuanya setuju. Bukankah mudah sekali menjadi bahagia? Bukan hanya itu, untuk inspirasi hidup ternyata kami juga terikat oleh inisial-inisial, soal inisial ini biarlah tetap menjadi rahasia hati kami. Juga tentang keluarga, pengalaman pribadi, sampai pada hal-hal mistis yang membuat kami percaya tidak percaya.
Barangkali, inilah yang membuat kami akhirnya menjadi satu dalam Tiga Hati, Tiga Rasa, Satu Cinta. Dan kami ingin itu terjadi di sepanjang hidup kami.
Sabtu malam yang indah, kami tak perlu menuntaskan kewajiban sebagai pasangan kekasih untuk menuntaskan rindunya, kami tak perlu merasa punya kewajiban untuk mengirimkan short message service pada orang-orang istimewa bernama kekasih, sebab kami mempunyai kerinduan yang lebih besar dari sekedar kerinduan pada seorang kekasih untuk dituntaskan. Adalah kerinduan pada Tiga Hati, Tiga Rasa, Satu Cinta.
Atau, memang di antara kita bertiga belum mempunyai seseorang yang layak disebut sebagai kekasih? Entahlah.
22-may 2011
10.38 am
0 komentar:
Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)