LAMRIA berdarah lagi!
Kali ini dengan luka yang cukup serius, menganga, dalam, dan mengeluarkan banyak darah. Tapi pada luka kali ini Lamria seperti tak merasakan apa-apa. Lamria tak meringis, mengaduh, apalagi menangis.
Pada luka kali ini Lamria membiarkan kekasihnya yang berpredikat sebagai dokter itu membersihkan luka-lukanya yang telah mengering, dengan tubi-tubi pertanyaan dan keheranan yang hanya dijawabnya dengan diam yang panjang.
Tapi hingga kali ini lelaki kekasihnya itu tak pernah tahu mengapa Lamria seringkali terluka, yang ia tahu Lamria selalu datang ke kliniknya dengan luka darah yang telah mengering, dengan beberapa beling yang masih menempel, selalu di tangan yang sama, namun pada diam Lamria yang maha dan mata yang tak menjelaskan apapun lelaki itu tak dapat memaksa. Sebab ia terlalu cinta pada Lamria.
“Ada apa denganmu, Lamria?” tanyanya berulang-ulang. “Ini kali ke tiga aku mengobati luka yang sama di tanganmu.”
Lamria masih diam. Matanya mengerjap-ngerjap, bibirnya menarik segaris senyum, datar. Menatap mata kekasihnya, mengapa tak lagi ada getar seperti dulu, kemana larinya debar yang kerap membuatnya salah tingkah. Bibirnya bergerak-gerak, ingin menjelaskan sesuatu, tetapi ia hanya sanggup tercekat. Lamria menggeleng perlahan.
“Aku tak apa, hanya kecelakaan kecil saja.” Jawabnya pendek.
“Lamria, kau sebut ini kecelakaan kecil? Nadimu hampir saja putus.” Protes lelaki itu.
“Untuk itulah kau ada bukan? Untuk menyambung kembali nadiku yang sering hampir putus.”
Lelaki itu tersenyum, pada Lamria ia tak suka beradu argumentasi, karena ia tahu Lamria tak suka berbasa-basi. Dan pembicaraan tentang luka berakhir sampai di situ.
Lamria kembali pada dunianya. Ia telah membeli cermin baru, dengan ukuran yang sama persis seperti yang sebelumnya. Ia juga menggantungnya di tempat yang sama, di sebelah kanan ranjang tidurnya, sehingga begitu ia bangun di pagi hari ia bisa langsung melihat dirinya dengan utuh.
Pada mata yang masih belum sempurna terjaga itulah Lamria mabuk pada prosesi sakral yang membuatnya menjadi perempuan sebenarnya. Dan pada prosesi pagi itulah ia mengembalikan embrio getar dan debar yang tak lagi ia dapati pada diri kekasihnya.
Lagi-lagi, hanya pada ritual pagi itu yang membuat matanya berbinar, seperti purnama yang selalu ditunggunya, membuat bibirnya tersenyum, melengkung seperti sabit serupa senyum para peri.
Hanya di depan cermin itulah Lamria mendapatkan kesenangannya, kebahagiaannya, dan juga janin cintanya. Lamria mematung serupa arca yang menjadi prasasti, dengan kedua tangan berkacak di pinggangnya, dengan kaki kanan yang sedikit ditekuk. Mata Lamria tertumbuk pada sekerat benda yang meliliti pinggangnya, kalung dengan bandul berbentuk hati yang telah membuatnya seolah menjadi begitu sempurna sebagai perempuan, karena hanya itu satu-satunya aksesoris yang melekat di tubuhnya.
Di puncak prosesi itulah Lamria sering tak sanggup menahan diri, napasnya tersengal-sengal menahan gemuruh yang menggulung jiwanya, hatinya berdebar-debar seperti vibrasi alam yang meruntuhkan gedung-gedung, Lamria terduduk, terkulai lemas karena menahan sesak rindu yang begitu kuat. Kepada seorang lelaki bukan kekasihnya.
“Pakailah kalung pinggang itu untukku.” Begitu lelaki itu memintanya beberapa waktu lalu.
Lamria menyadari ketika ia meng-iyakan permintaan lelaki itu maka ia telah mengkhianati cinta kekasihnya. Yang tak pernah kering mencintainya, yang tak pernah protes mengapa akhir-akhir ini Lamria tak lagi mau dikecup keningnya di akhir perjumpaan.
Lamria terombang-ambing, oleh amuk dahsyat perasaannya sendiri, meski satu persatu dinding perahu jiwanya berceceran di gemuruh ombak, ia tetap bertahan, untuk terus mencintai lelaki kekasihnya, dengan rasa yang terus menghambar, dengan gelora yang terus memadam.
Tapi setiap kali ia tak berhasil mengumpulkan perasaannya, itulah puncak kemarahannya, entah pada siapa, mata Lamria berkaca-kaca, serupa lilitan kalung yang bercahaya di pinggangnya ketika bertemu dengan simpul cahaya, dan setiap kali perasaannya berhenti di bandul berbentuk hati itu membawanya pada satu keyakinan; bahwa ia telah jatuh cinta pada lelaki asing itu.
Lamria mencoba menolak takdir, baginya seluruh perasaan telah habis untuk lelaki kekasihnya, dan tentang perasaan yang macam-macam itu ia hanya menganggapnya sebagai bunga tidur yang akan segera hilang dengan munculnya pagi. Namun ketika cermin besar di hadapannya terus memantulkan lilitan di pinggangnya Lamria menjadi galau, kalut dan tak terkendali, maka ia memecahkan cermin tersebut dengan tangannya, bertubi-tubi hingga ia tak lagi melihat ada bayang kalung yang meliliti pinggangnya terpantul di cermin. Lalu setelah itu ia menemui kekasihnya.
Lamria berdarah lagi!
Kali ini bukan hanya pada luka tangannya, tetapi pada luka hatinya yang kian menganga, tak kunjung sembuh, rindu yang sering membelitnya membuatnya sering terbangun di malam hari, tidur-tidur tak nyenyak yang membawanya pada mimpi-mimpi pagi yang aneh, seperti kantuk dan rindu yang terakumulasi, semuanya mengarah pada lelaki asing itu.
Lamria rindu, pada lelaki yang suaranya serupa renonansi, merayapi gendang telinganya dan kemudian berhenti di hatinya. Lamria rindu, pada suara-suara langkah kaki lelaki tersebut, yang sempat ia dengar dan terasa begitu mistis di belantara sepi yang abstrak, berderap-derap, serupa pijakan sepatu lars dan meninggalkan bekas di hatinya. Lamria rindu, pada semua yang pernah terjadi antara ia dan lelaki asing itu.
“Lamria?”
Lamria tak menjawab, ia hanya menoleh pada lelakinya yang tengah sibuk membersihkan luka-lukanya.
“Aku kehilanganmu.” Lelaki itu tak dapat menyembunyikan kecemasan hatinya, bagaimanapun Lamria adalah setengah jiwanya, bahagia Lamria adalah bahagianya, begitupun jika Lamria terluka, maka sebagian luka itu akan ikut merayapi jiwanya juga.
“Bukankah aku sedang di hadapanmu sekarang?” kilah Lamria.
Lelaki itu menggeleng, ia menyudahi tugasnya sebagai dokter, kapas-kapas bernoda darah telah ia buang ke tempat sampah, begitu juga perlengkapan lainnya. Dan kali ini ia kembali ke hadapan Lamria sebagai seorang kekasih, menyentuh tangannya dan memandang wajah perempuan beralis tebal tersebut.
“Aku rindu.” Katanya
“Rindu?”
“Ya, apakah kamu tidak rindu?”
“Jangan tanyakan apapun tentang rindu, rindu hanya gumpalan kabut yang sebentar lagi akan menguap, bersama angin, bersama matahari.” Jawab Lamria datar.
Dan lelaki itu hanya bisa termangu pada jawaban Lamria yang tak seperti biasanya.
Ah. Lamria menahan kelu, ia paham betul apa artinya rindu. Ada rindu yang membuatnya gigil saban malam Tuhan, mengabutkan hati dan perasaannya, dan ia sering mengaduh untuk itu, dalam diamnya tak ada seorangpun yang dapat menyembuhkannya, kecuali lelaki pengamen hatinya itu.
Begitulah, ia tak pernah tahu sama sekali tentang riwayat rindu yang tiba-tiba membuat gigil itu, dan selalu melahirkan beku, menggemeretakkan tulang belulangnya, dan selalu, hanya pada cermin di sebelah ranjangnya itu ia melarikan seluruh gundah hatinya.
Karena hanya pada apa yang terpantul di dalamnya ia dapat menghadirkan lelaki itu, mula-mula serupa suara langkah kaki yang terdengar begitu samar, melewati lorong-lorong gelap dan sunyi, lalu lambat laun terdengar suara gitar dan suara beratnya yang begitu merdu, lembut merayapi angannya, hingga akhirnya lelaki itu benar-benar datang dan mereka menuntaskan kerinduan dengan cara tak biasa, dan Lamria sadar bahwa lelaki itu tak pernah datang sebagai dirinya sendiri ketika ia telah mencapai klimaks halusinasi, ketika ia telah lelah dan luruh dalam keringat emosi.
Lamria masih berdarah!
Kali ini ia mengobati luka dengan caranya sendiri, ia menyusuri lorong-lorong sepi yang panjang, menyeret takdirnya pada lekuk-lekuk cahaya dari purnama yang tesangkut di pucuk-pucuk semesta, hingga akhirnya ia sampai di tepi pantai dengan purnama membumbung di langit Tuhan.
Pada setiap pergantian purnama Lamria selalu mempunyai kisah sendiri, juga pada kali ini, ia sepertinya sedang tidak berhalusinasi. Lamat-lamat di dengarnya suara petikan gitar, dengan suara berat yang menyanyikan potongan-potongan lagu pendek yang disukainya. Lamria terkesiap, darahnya berdesir-desir hebat, melemaskan otot-otot tungkainya, ia memejamkan mata berharap suara itu kalah dengan debur ombak. Hatinya terlanjur nganga dan ia tak berharap siapapun darang sebagi lelaki asing itu.
Tapi pada purnama kali ini Lamria tak sanggup menolak, suara itu mencencang nalurinya, mengusik batinnya, Lamria menangis. Dan Lamria benar-benar terluka ketika ia melihat bahwa lelaki itu hanya pengamen jalanan yang sedang menunggu pecahan rupiah darinya. (*)
Punie, April – May 2011.
Ihan Sunrise;
pemangku blog www.ihansunrise.blogspot.com dan pengelola Komunitas Smart Shooper Banda Aceh dan Aceh Besar
(*)
telah dipublikasikan di;
0 komentar:
Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)