Apa yang terjadi denganku? Kemana hilangnya geletar-geletar yang dulu muncul ketika aku
bertukar sapa dan pesan dengannya.
Aku sering gelisah akhir-akhir ini, tapi bukan gelisa yang sering aku ceritakan kepadanya, aku
sering khawatir, tetapi bukan rasa takut karena rinduku untuknya sering tersangkut di etalase jarak.
Aku mencoba mengingat, dalam resah panjang yang membeliakkan mata, dalam leguhan
panjang yang mengenyahkan kantuk, dan dalam geliat yang melunglai memamah sendi-sendi.
Aku terkapar dalam pengulangan takdir yang tidak biasa, mungkinkah, setelah bertahun-
tahun, aku bahkan nyaris telah lupa bagaimana perasaanku saat jatuh cinta dulu. Aku bahkan tak
lagi dapat mendefinisikan tentang rindu kembali.
Tapi ini rindu yang melesak-lesak, merusak alam ingatku untuk terus menghadirkan imajinasi,
hingga ketika aku tak lagi sanggup berfikir, kubiarkan kepala ini berdenyut-denyut menentang
keinginannya, mata yang mulai mengerjap-ngerjap, namun simpul syarafnya terus memaksa untuk
bersikap anti tesis.
Tak satupun kalimat yang dapat menyembuhkan, bahkan tidurpun tidak, getarku telah hilang,
hatiku mengatup, perasaanku melabirin, pada takdir aku meminta maaf, mungkin memang sudah
waktunya seperti ini.
Sebentar lagi, kesepian panjang akan menghinggapi, dia yang memilih untuk kembali ke
tanahnya, adalah yang selama ini menjadi guci tempatku menyembunyikan cerita-cerita tentang
gemuruh perasaanku. Dia yang di malam-malam terakhirnya terus mendesak-desak agar sekali
waktu aku berlaku jujur untuk diriku sendiri. Dia bilang “bersikaplah egois untuk sekali saja dalam
hidupmu,”
Kukatakan, bahwa aku telah egois sejak pertama kali menaruh rindu untuknya, hanya pada
beberapa kali percakapan setelah aku mengenalnya. Telah banyak keegoisan yang kulakukan,
memaksanya untuk mendengar keluhan-keluhan rinduku, memaksanya terlibat dalam imajinasiku,
aku yang meliarinya tanpa sekat. Aku telah egois, ketika kukatakan padanya bahwa aku memang
egois.
Aku berharap hujan turun untuk membilasi seluruh jelaga rindu yang menempel di dinding
hati, tetapi sampai hari ini tak sebutir hujanpun yang turun. Sementara jelaga rindu ini terus
merambati di setiap ruang keperempuananku.
Aku juga telah egois karena tak ingin mengingat apapun tentang malam yang terlampaui
semalam, aku ingin tidur dan tidak kubiarkan apapun hadir menyerupainya dalam mimpi-mimpiku,
juga di mimpi pagiku. Tetapi, ketika dia tetap dating dalam wujudnya yang entah, aku mau
menyalahkan siapa?
Aku telah melewati malam berjeda itu dengan sangat cepat, seperti kecepatan sayatan pisau
yang memutuskan nadi, tetapi tetap saja aku terbangun di setiap waktu yang pernah kugunakan
untuknya.
Jeda malam itu adalah sebentar yang membawanya pada pertemuan panjang yang mabuk,
yang membuatnya lupa pada segala hal, juga padaku. Dan, tidak ada sesuatu yang dapat kukatakan
agar ia bias mengingatku.
Dan aku, benar-benar egois ketika aku hanya bisa diam dalam resonansi waktu yang masih
belum pagi benar. Meskipun ia akan tidur dengan 99 perempuan berikutnya, mestinya aku tidak perlu
tahu tentang itu. Tapi sayangnya, aku tidak bisa tiba-tiba menjadi tuli untuk tidak mau mendengar
apa yang idak ingin kudengar. Dan pemberitahuan tentang itu terus menerus mengiang-ngiang di
sepanjang hari dan malamku.
Kawan, maka keegoisan seperti apalagi yang kau maksudkan?
Aku hanya meminta agar Tuhan menurunkan hujan mala mini, bukan air yang keluar dari
mata yang sembab. Agar aku dapat membilasi semua kecewa yang terselubungi oleh kecubung rindu.
Untuk membilasi semua rasa yang terpendam dan terakumulasi.
Tuhan! Maafkan aku, kurasa aku telah kembali jatuh cinta
Tuhan! Biar kepadamu saja aku bercerita yang sesungguhnya.
11 – 12-May 2011
0 komentar:
Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)