Apakah hidup hanya bermuara pada satu hal bernama pernikahan? Aku selalu tergelitik pada pertanyaan sederhana ini. Sebab kulihat, terutama perempuan akan merasa khawatir bila di usianya yang telah cukup untuk menikah tetapi belum menemukan pasangan yang cocok dan siap menikahi mereka.
Aku perempuan, dan aku sangat memahami bahwa menjadi perempuan terkadang cukup kompleks. Awal mula kompleksitas itu muncul ketika pertama kali kudapati celana dalamku dipenuhi bercak merah yang mengerikan. Kengerian yang kemudian memunculkan sensasi lain; semacam perasaan lega bahwa aku telah benar-benar menjadi perempuan, sebentar lagi payudaraku yang awalnya hanya seperti duri pohon randu akan tumbuh besar, padat, kenyal dan menggemaskan, dan bersamaan itu muncul pula perasaan lain dalam diriku, mungkin sedikit rasa bangga akan sesuatu yang menonjol di dada yang tak lagi bidang.
Menjadi perempuan berarti harus bersiap-siap untuk bermetamorfosis, bersiap-siap ketika tubuh mengirimkan sinyal ragawi, bahwa sebagai perempuan aku memiliki kantung rahim yang suatu saat harus diisi dengan wine memabukkan dari sperma para pria. Dan itu hanya terwujud dengan terjadinya pernikahan.
Oh yeah! Ini selalu menarik, sebab pikiranku selalu jauh dari keinginan untuk menikah. Aku tidak ingin ekstrim, tetapi sejauh ini menikah bukanlah prioritas dalam hidupku.
Lalu, bagaimana dengan wine di kantung rahim itu? Apakah mesti wine? Bagaimana kalau tequila ley.925?
Seperti kebanyakan perempuan lainnya, aku pernah membayangkan kira-kira seperti apa itu pernikahan, dimulai dari resepsi mewah, menjadi raja dan ratu sehari, menerima ucapan selamat dari rekan dan handai taulan, lalu malam pertama yang usai dengan kesan datar, dan kehidupan menjadi seperti biasa saja.
Bayangan-bayangan yang mulai hilang sejak payudaraku (kurasa) mulai berhenti bertumbuh, dan darah di celana dalamku tidak pernah muncul dengan warna berbeda, dan sejak aku memahami bahwa aku memiliki cinta luar biasa pada lelaki kekasihku. Aku tak pernah ingin menikah dan tidak terobsesi untuk menikah sejak aku mengikrarkan bahwa aku akan selalu mencintaimu.
Aku ingin mencintaimu dengan bebas, dengan lepas, tanpa ada tuntutan bahwa kita harus menikahi fisik satu sama lainnya untuk menyempurnakan keindahannya. Aku ingin menikah dengan jiwamu, dan ingin engkau menikahi jiwaku, karena kebahagiaan akan mencapai klimaksnya ketika jiwa dipenuhi kebutuhannya.
Menikah tidak akan pernah menyelesaikan masalah kita, juga kompleksitas kita sebagai manusia.