MALAM beranjak renta. Bungkuknya hampir serupa perempuan penikmat
purnama itu. Dengan kaki yang dijulurkan ke tangga rumahnya, mata
berselaput abu-abu milik perempuan itu tak sedetik pun melepaskan
pandangannya dari langit.
Angin berhembus kuat, menusuk hingga ke tulangnya yang telah
berpuluh-puluh tahun diserang reumatik. Tapi ia tak peduli, sebab pendar
purnama itu telah demikian mujarabnya menyembuhkan semua luka di
hidupnya.
Perempuan itu bersandar ke pintu, duduknya serupa patung yang tertancap
dalam liang tanah yang padat. Sesekali ia meraba wajahnya yang keriput,
merasakan serat-serat kulit tangannya yang kasar melekat di sana.
Wajah kaku dan dingin yang telah menyaksikan banyak luka, air mata dan
juga amis darah, juga kesepian maha panjang yang telah mendera hingga ke
dasar ulu hatinya.
“Akan tiba suatu malam di mana engkau menginginkan purnama segera berakhir,” kata lelaki suaminya berpuluh-puluh tahun lalu.
Perempuan itu tidak segera menjawab. Di bawah perak bulan ia meraih
cangkir kopinya dan menyesapnya perlahan. Di bawah bayang-bayang pohon
dikunyahnya ubi rebus secara perlahan. Di tengah kepungan belantara tak
ada lagi yang membuatnya bahagia kecuali bisa bersama suaminya.
“Purnama tidak akan pernah berakhir,” ucapnya sepotong.
Lelaki itu tersenyum simpul.