TAK mudah memang menjelaskan. Makanya selama ini ia hanya bercerita pada angin atau debu-debu yang menempel di jendela rumahnya. Termasuk pada lelaki itu, yang saban hari tak pernah alpa menyuguhkan senyum dan sepotong canda.
Sederhana, tetapi kadang-kadang
membuat hatinya bergetar. Dan juga berdebar. Kadang-kadang pula, ia berharap
pada hari berikutnya, lelaki itu tidak hanya menyuguhkannya sepotong, tetapi
sepiring senyum yang selalu mengembang di bibirnya.
Semuanya menjadi semakin berat
ketika ia tak lagi melihat wajah lelaki itu. Setelah ia memiliki banyak waktu
untuk merenungi dirinya. Justru di saat ia berharap lelaki itu bisa muncul
dalam imajinasinya. Ia selalu seperti terpental, melemparkan imajinasinya pada
sesosok lelaki yang lain.
Dan seperti biasanya, malam itu
ia kembali tidur dengan pikiran yang kosong tentang lelaki penyuguh senyum itu.
***
Seperti perempuan lainnya, ia
juga senang menatap wajahnya di cermin. Seperti pagi itu, sekali dalam seumur
hidupnya ia mendapati dirinya lain di wajah cermin. Pipinya yang putih kini
menjadi merah dengan sapuan make up yang mencolok. Matanya dilaburi celak warna
hitam pekat, ditambah dengan bulu mata palsu yang lentik.