SABANG - Sangat pantas jika Sabang disebut-sebut sebagai the golden island. Setidaknya bagi para pecinta laut, gradasi warna airnya akan membuat siapa pun yang pernah menceburkan diri ke dalamnya jatuh cinta dan ingin kembali lagi.
Pukul 09.30 WIB Kapal Motor Pulo Rondo bergerak meninggalkan Pelabuhan Ulee Lheu Banda Aceh. Langit sedikit cerah, Sabtu 24 Maret 2012 . Nuansa biru diselingi bercak putih awan-awan terlihat hingga ke cakrawala. Dari balik jendela kapal, sebuah pulau tampak di tengah laut. Itu Sabang. Butuh sejam perjalanan dengan kapal motor hingga merapat di Pelabuhan Balohan Sabang.
Begitu kapal merapat, puluhan kuli angkut menyerbu dermaga. Mereka menawarkan jasa membawa barang-barang penumpang. Tapi saya menolak. Ransel kecil masih sanggup saya pikul tanpa perlu bantuan kuli.
Balohan tentu saja bukan tujuan utama. Untuk menuju ke kotanya Sabang dari sini bisa naik angkutan umum. Bentuknya mini bus L300. Sebagian sudah tua. Mobil-mobil angkutan umum di Sabang ini jago di tanjakan. Apalagi jalan-jalan di pulau ini rata-rata menanjak.
Maka sekitar lima menit setelah pelabuhan saya mendengar deru mesin mobil ini yang memekik saat menaiki tanjakan terjal. Orang Sabang kerap menyebutnya tanjakan semen. Asap hitam mengepul. Mobil itu tak mau kalah. Dengan persneling satu mobil pelan-pelan melahap tanjakan. Jantung saya nyut nyut dibuatnya, membayangkan jika sistem persneling gigi mobil macet dan mobil akan mundur teratur ke dalam jurang.
Di Kota Atas Sabang, saya mencari penginapan. Tak lupa menghirup udara segar pulau ini. Jalan-jalannya, terutama di kawasan Kota Atas rimbun oleh pepohonan tua yang berbaris di pinggir jalan. Kala terik matahari menyengat, kanopi pohon-pohon itu berfungsi menahannya.
Rencananya, saya menginap di Sumur Tiga. Setelah menyewa becak dan menuju ke sana ternyata resort atau penginapan penuh semua. Sudah jadi rahasia umum saban akhir pekan Sabang ramai dikunjungi para turis baik lokal maupun mancanegara.
Bahkan meningkatnya jumlah wisatawan terasa sejak di Pelabuhan Ulee Lheu. Untuk mendapatkan tiket mereka rela menunggu antrian panjang di loket penjualan.
Adalah pilihan yang tepat bila berakhir pekan di Sabang. Sebab kota yang pernah terkenal dengan cengkehnya ini lengang dan tenang. Benar-benar bisa menyegarkan otak setelah sekian lama didera rutinitas padat. Bahkan Nadia Vega, artis nasional pemeran film Keumala tak henti-henti mengungkapkan kekagumannya terhadap Sabang. “Kelengangan kota ini sangat cocok untuk bersantai dan me-refresh pikiran kita,” katanya usai pemutaran film Keumala di Lapangan Yos Sudarso Sabang.
Karena eksotisme alamnya yang sangat indah pulalah, Ina Limbong Riung, produser film Keumala memilih Sabang untuk 60 persen lokasi syutingnya. “Supaya anak-anak Indonesia tahu bahwa di negara kita ada pulau seindah Sabang,” ujar Ina Limbong.
Kembali ke Sumur Tiga. Ini merupakan salah satu kawasan wisata pantai di Sabang yang terletak di Kelurahan Ie Meule, Suka Karya. Dinamakan Sumur Tiga karena memang di tempat ini terdapat tiga sumur yang konon katanya peninggalan Belanda. “Tahun berapa dibuat sumur tersebut memang tidak jelas, tetapi usianya yang pasti sudah lebih dari lima puluh tahun,” kata Liza Novia, pegawai di Badan Arsip kota Sabang.
Di sini banyak terdapat resort-resort dengan pemandangan ke laut lepas. Meski tidak mendapatkan tempat menginap di sini, saya tidak ingin ketinggalan momen indah di Sumur Tiga. Saya masuk dan beristirahat untuk makan siang di sebuah café yang ada di Point Resort. Pramusaji mengatakan pemilik resort ini adalah Saifullah, mantan kepala BPKS Sabang dua periode sebelumnya.
Resort ini belum seluruhnya selesai. Namun sekitar 80 persen bangunan sudah berfungsi. Salah satunya bangunan café yang terbuat dari kayu dan rangka besi. Atapnya dari daun rumbia dan lantai papan membuat café ini sejuk.
Dari sini ketika kita melemparkan pandangan ke laut lepas, yang terlihat adalah hamparan air bergradasi biru toska nan indah. Ombak yang diterpa matahari memantul bagai kilauan emas. Kenikmatan itu kian bertambah ketika angin bertiup semilir.
Di sepanjang bibir pantai, pasir putih membentang luas. Butir-butir pasir itu bak taburan garam. Bersih dan sungguh memesona. Tak jauh dari tempat saya bersantai, ketika menjulurkan pandangan ke bawah, di antara tumpukan karang-karang kecil di bawah birunya air laut ikan-ikan kecil menari-nari.
“Keindahan Sabang sangat luar biasa, pantai-pantai lain yang pernah saya kunjungi seperti Lombok dan Langkawi tidak ada apa-apanya,” ujar Lia, turis lokal yang pernah beberapa kali ke Sabang.
Tak jauh dari café, setelah menuruni jalur, dari kejauhan tampak lokasi yang lebih tepat disebut sebagai private area. Beberapa turis bule sedang berjemur di bawah terik matahari. Pakaian mereka khas pantai.
Sebelum melewati jalur ini ada sebuah pintu kecil seperti kamar mandi.
Namun saya salah. Ini bukan pintu biasa. Tapi pintu ini menjadi semacam jalan rahasia. Di sebalik pintu itu, "surga" terbentang sejauh mata memandang. Tembok-tembok dari karang seakan jadi pembatas bagi ruang privasi penikmat pantai itu. Melihat turis-turis itu rasanya seperti sedang berada di suatu tempat bukan di Sabang. Rasanya, seperti di Hawaii.
Islamuddin, mantan walikota Sabang periode lalu mengatakan masyarakat Sabang mulai melek wisata sekarang. “Mereka mulai menyadari bahwa keberadaan turis-turis itu mendatangkan sumber rezeki bagi mereka. Makanya di beberapa tempat seperti Iboih jangan coba-coba usik keberadaan turis-turis tersebut,” katanya.
Tak terasa matahari terus bergerak kian condong ke barat. Usai melahap sepiring pan cake dan segelas jus jeruk di Point Resort, saya bergegas meninggalkan Sumur Tiga. Namun entah mengapa, setelah melihat warna air lautnya seolah ada ketidak relaan untuk segera beranjak. Tempat ini telah menghipnotis saya akan keindahannya.[] IHAN SUNRISE
Telah dipublish di www.atjehpost.com
0 komentar:
Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)