TAK mudah memang menjelaskan. Makanya selama ini ia hanya bercerita pada angin atau debu-debu yang menempel di jendela rumahnya. Termasuk pada lelaki itu, yang saban hari tak pernah alpa menyuguhkan senyum dan sepotong canda.
Sederhana, tetapi kadang-kadang
membuat hatinya bergetar. Dan juga berdebar. Kadang-kadang pula, ia berharap
pada hari berikutnya, lelaki itu tidak hanya menyuguhkannya sepotong, tetapi
sepiring senyum yang selalu mengembang di bibirnya.
Semuanya menjadi semakin berat
ketika ia tak lagi melihat wajah lelaki itu. Setelah ia memiliki banyak waktu
untuk merenungi dirinya. Justru di saat ia berharap lelaki itu bisa muncul
dalam imajinasinya. Ia selalu seperti terpental, melemparkan imajinasinya pada
sesosok lelaki yang lain.
Dan seperti biasanya, malam itu
ia kembali tidur dengan pikiran yang kosong tentang lelaki penyuguh senyum itu.
***
Seperti perempuan lainnya, ia
juga senang menatap wajahnya di cermin. Seperti pagi itu, sekali dalam seumur
hidupnya ia mendapati dirinya lain di wajah cermin. Pipinya yang putih kini
menjadi merah dengan sapuan make up yang mencolok. Matanya dilaburi celak warna
hitam pekat, ditambah dengan bulu mata palsu yang lentik.
Bibirnya yang biasanya pucat kini
menjadi merah terang dengan sapuan lipstick bermerk. Ia merasa dirinya cantik.
Semakin yakin ketika melihat ke jari-jari tangan dan kakinya yang penuh dengan
ukiran warna merah.
“Sempurna,” ucap perempuan paruh
baya yang sudah setengah umurnya dihabiskan untuk merias pengantin. “Kamu
terlihat berbeda karena selama ini kamu jarang berhias,” ucap perempuan itu
lagi.
Perempuan calon pengantin itu pun
semakin berbinar. Tetapi, sama seperti biasanya, ia hanya membalas semua pujian
itu dengan senyum. Bahkan sebaris gigi depannya tidak habis terlihat. Ia memang
tak banyak bicara.
Bahkan ketika jadwal akad nikah
telah diulur satu jam lamanya, ia masih belum banyak bicara. Ia hanya duduk
sambil memilin-milin jemarinya yang runcing. Hatinya cemas, tapi ia perempuan
yang pandai menguasai perasaannya.
Di dalam kamarnya, sebentar-sebentar
ia menoleh ke arah pintu. Mengapa belum ada seorang pun di luar sana yang
menyuruhnya ke luar. Di dinding dekat pintu, jam dinding terus berdetak.
Berjalan seolah sangat lambat.
Satu, dua, tiga jam berlalu.
Perempuan itu tak tahu jika di luar orang-orang mulai kasak-kusuk. Entah apa
yang mereka bicarakan. Ia pun terus menahan diri untuk tidak keluar dari
kamarnya. Ia perempuan pemalu yang tidak ingin terkesan terlalu agresif.
Apalagi untuk menanyakan perihal calon suaminya yang tak kunjung datang.
Maka ketika seorang pria paruh
baya datang ke rumahnya, perempuan itu masih terdiam di biliknya yang
sederhana. Sesekali ia menoleh ke cermin dan melihat pantulan wajahnya yang
masih berseri.
“Sempurna,” kembali terngiang
ucapan perempuan paruh baya yang merias wajahnya tadi pagi.
***
Pagi ini seperti biasa, perempuan
itu kembali mendapatkan suguhan senyum tatkala ia sampai di sebuah rumah yang
ia sebut sebagai kantor. Ia hanya mengangguk pelan dan menarik kursinya. Lalu
ia tenggelam dalam rutinitasnya seperti biasa. Menghitung, menjumlahkan, begitu
seterusnya.
“Aku jenuh memberimu senyum
setiap hari,” ujar lelaki itu suatu ketika.
Perempuan itu terhenyak. Ia
menggeser duduknya dan memandang lelaki yang duduk di sudut ruangan itu.
Suaranya tidak terlalu besar sehingga ia tidak perlu khawatir beberapa rekannya
yang lain mendengarkan ucapan lelaki itu.
“Hidupmu terlalu serius,” ucapnya
lagi.
“Aku?” tanyanya bingung.
Laki-laki itu mengangguk.
Kemudian ia tertawa lebar.
“Aneh,” desis perempuan itu.
“Hampir tidak pernah kau
menyapaku, selalu aku yang melakukannya untukmu,” ucap lelaki itu lagi.
Lagi-lagi perempuan itu tidak
menjawab. Ia kembali menghitung dan menjumlahkan.
“Apa kabarmu hari ini?” tanya
perempuan itu setelah ia menyelesaikan pekerjaannya.
Laki-laki di sudut ruangan itu
melongok, lalu menunjukkan dirinya dengan isyarat. Perempuan itu mengangguk.
“Baik, kamu?” jawabnya sambil
bertanya.
Bukannya menjawab perempuan itu
justru beranjak ke luar ruangan. Ia menuju kamar kecil di bagian lain ruangan.
“Aku baik, mungkin juga tak baik,
entahlah…” batinnya.
Dalam waktu sesingkat itu ia
harus menyelesaikan kecamuk dalam dirinya. Deraan demi deraan yang sepanjang
tahun tak kuasa dihalaunya. Kecamuk yang telah menghilangkan sebagian dirinya.
Yang telah membuatnya tak bisa lagi menikmati rindu.
Deraan yang kerap melemparnya ke
masa belasan tahun silam. Yang membuatnya terus terkenang pada mimik wajah
lelaki paruh baya yang datang di hari pernikahannya. Lelaki yang menatap
wajahnya sangat lama sebelum akhirnya ia berbicara.
Dengan tutur kata yang sangat
pelan dan hati-hati. “Nak Salwa akan tetap menjadi keluarga kami,” ucap lelaki
itu.
Bahkan saat airmatanya tumpah,
perempuan bernama Salwa itu tetap tidak mampu mengeluarkan suaranya agar ia
bisa histeris. Ia hanya beberapa kali menggigit bibir, sekedar untuk memastikan
jika kabar yang ia dengar itu benar adanya.
“Bolehkah saya mencarinya?”
ucapnya sepatah waktu itu.
Lelaki paruh baya dan orang-orang
di sekitarnya menghela nafas. Saling berpandangan, sebagian perempuan di
ruangan itu ikut menitikkan air mata.
“Ke mana kamu akan mencarinya
Nak?”
“Entah, kemana saja yang membuat
saya bisa menemukan dia.”
“Jika saja kami tahu siapa yang
menculiknya semalam…” lelaki itu pun akhirnya tak kuasa menahan tangis.
Perempuan itu menghela napas.
Segera ia mengusap air matanya saat mendengar ketukan pintu dari luar. Setelah
membasuh wajahnya dengan air, dan beberapa anggota badannya yang lain, ia
keluar.
“Saya mau shalat Dhuha dulu,”
ucapnya bergetar pada temannya yang mengetuk pintu. Juga pada kali ini, ia
sering menutupi luka hatinya dengan hal seperti itu.
***
“Selamat pagi Perempuan
Anumerta,” sapa lelaki penyuguh senyum itu pagi ini, masih dengan senyum yang
sama, tetapi dengan sorot mata yang berbeda.
Perempuan itu terhenyak.
Jantungnya berdegub kencang. “Ya,” jawabnya singkat sambil mengusir gugupnya
yang datang tiba-tiba. “Apa kabar?” tanyanya.
“Jadi benar, kamu Perempuan
Anumerta itu Salwa?” tanya lelaki itu lagi.
Lagi-lagi perempuan itu
terperanjat. Pertanyaan lelaki itu terdengar seperti menjebak. Dan kali ini ia
masuk perangkap. Mengapa kali ini ia tidak bisa menguasai emosinya.
“Apa maksudmu?” tanyanya sedatar
mungkin.
“Salwa, apakah kamu sadar
pernikahan anumerta itu telah menyakiti hidupmu selama ini?”
“Aku…”
Selebihnya Salwa tenggelam dalam
diam yang panjang. Berkali-kali ia berusaha menenangkan gemuruh jiwanya,
berkali-kali pula ia gagal. Dalam hening yang panjang ia terus mendengar kata
demi kata yang keluar dari mulut lelaki penyuguh senyum itu.
“Berhentilah menjadi jandanya
Salwa…,” ucap lelaki itu kemudian.
Juga pada kali ini, memang tak
mudah bagi perempuan anumerta untuk menjelaskan tentang ia yang pernah menikahi
almarhum lelaki kekasihnya itu.[]
Permata Punie
9 Juni 2012
Cerpen ini telah dipublikasikan di Atjehpostcom
0 komentar:
Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)