Ini tahun kelima kepergian ayahku; Nurdin bin Yusuf Puteh. Bagiku kepergian ayah terasa sangat cepat, usianya belum genap 50 tahun ketika itu. Ia masih muda dan gagah. Apa yang kutulis saat ini mungkin hanya berupa luapan emosi, tetapi ini adalah proses membekukan sejarah. Di lain waktu aku akan menulis cerita-cerita lain tentang ayahku.
________________________
JANUARI
hampir berakhir. Saat aku mulai menuliskan ini waktu di timer laptopku
menunjukkan angka 22:53 pm, Senin, 28 Januari 2013. Januari akan berakhir pada
tanggal 31, sesuai timer di laptopku berarti tiga hari lagi; 29,30 dan 31.
Januari
memiliki arti tersendiri bagiku, bagi ibuku dan juga bagi adik-adikku. Sebelas
hari lalu, tepatnya pada tanggal 16, ayahku meninggalkan kami semua karena
penyakitnya. Itu terjadi lima tahun silam; 2008.
Lima
tahun, bisa jadi waktu yang sebentar, bisa jadi sangat lama, namun yang pasti
jika 365 x 5 berarti sudah 1.825 hari ayahku meninggalkanku, meninggalkan ibuku
dan juga adik-adikku. Selama itu pula kami menyimpan kerinduan dengan cara kami
masing-masing. Selama itu pula kenangan semasa hidupnya terus membayangi
keseharian kami.
Sebelas
hari lalu, pagi-pagi sekali aku masih ingat ibu meneleponku, ia berbicara lalu
menangis. Ibu mungkin lupa hari itu adalah hari kepergian ayah kami. Aku tak
berusaha mengingatkannya karena kutahu itu akan membuatnya semakin terluka.
“Macam sudah kurasa sejak ayahmu tiada,” kata ibu sepotong. Kata yang bukan
hanya kali itu saja kudengar, tetapi sudah berulang-ulang.
Sama
seperti ibu, aku pun menangis tapi air mataku tumpah di dalam hati. Dengan bibir
bergetar aku mencoba menyaringkan suara. Membuat suara seriang mungkin, agar
ibu menangkap kesan aku baik-baik saja. Tak lama kemudian ibu menutup telepon.
Sejenak setelah itu aku mengirimkannya pesan pendek; ibu yang sabar ya, ini bagian dari ujian untuk kita semua, aku sayang
mamak.
Tak
lama kemudian ibu membalas; terimakasih
Nak sudah mengingatkan mamak, mamak khilaf.
***
Ayahku
memiliki karakter yang keras. Ia tegas. Pekerja keras dan pantang menyerah. Tak
pernah sekalipun kulihat ia mengeluh di depan kami anak-anaknya. Jika pun harus
mengeluarkan pernyataan tak enak biasanya disertai dengan analisis yang tajam.
Ia pendiam, tak banyak bicara. Begitulah yang biasa aku lihat semasa hidupnya.
Ia bicara jika memang sudah harus bicara.
Aku
kecil sering merasa takut pada ayah, tapi juga merasakan kedekatan yang luar
biasa. Sepotong kata-katanya dengan intonasi yang sedikit tinggi saja bisa
membuatku menangis. Tapi aku jarang sekali dimarah olehnya. Dan aku tahu ayahku
sangat menyayangiku.
Hingga
hari ini sejak kepergiannya aku sering menangis diam-diam jika mengingat
sosoknya. Kadang-kadang jika aku masuk ke dalam diriku aku melihat seluruh diri
ayahku ada di dalam jiwaku. Aku tak suka memperlihatkan kecengengan di depan
orang lain, bahkan ibuku sendiri. Aku tak suka membantah, sekalipun aku tak
sepakat, tapi aku tahu aku seorang pemberontak. Ketegaran, itu juga yang
diperlihatkan ayahku, bahkan dalam sakit sekaratnya ia tak pernah mengerang,
hanya meringis, saat itu di rumah sakit kulihat mukanya sampai pucat menahan
sakit yang parah.