ilustrasi by hdwallpapers.in |
Acara
buka puasa berlangsung akrab dan menyenangkan, sambil bercerita kami menyantap
hidangan ala kadar itu dengan lahap. Setelah acara makan-makan selesai satu
persatu di antara kami beranjak untuk menunaikan salat magrib. Setelah itu kami
bersantai sambil melanjutkan obrolan yang tadi tertunda. Tiba-tiba tanteku
nyeletuk. “Si kakak sudah punya calon,” katanya.
Si
“kakak” yang dimaksud tanteku adalah anaknya yang nomor dua, adik sepupuku.
Deg! Rasanya bagai ada yang tertohok di hatiku paling dalam. Serta merta,
sambil kepala mengangguk-ngangguk dan bibir mekar tersenyum mendengar sambungan
cerita tante, hitungan matematisku terus berlangsung dengan kilat.
Si
sulung tanteku baru saja tamat SMA tahun ini, dua bulan lagi ia baru masuk ke
universitas sebagai mahasiswa semester pertama. Umurnya, tentu saja terpaut
jauh denganku yang mendekati kepala tiga. Sambil
terus mendengarkan cerita tante, aku mencoba manahan rasa miris semacam cemburu
yang diam-diam merayap di sanubari. Tiba-tiba, sepupuku yang satu lagi yang
baru SMP ikut nyeletuk. “Kakak sudah punya calon?” tanyanya polos ke arahku.
Ah, lagi-lagi aku hanya bisa nyengir.
Siangnya,
seharian aku merasakan perasaan yang sama sekali tak bisa kulukiskan. Rona
wajah bahagia tanteku semalam seolah terus menerus menerorku. Menghadirkan rasa
sentimentil dalam diriku, dan menyentuh naluri perempuanku paling peka.
Aku
berusaha mengingat-ngingat kenyataan, beberapa bulan lalu tante yang seumuran
denganku baru saja melangsungkan pertunangan dengan pria yang dicintainya. Dua
bulan berikutnya kakak sepupuku yang lain juga telah melangsungkan pernikahan.
Juga dengan pria yang dicintainya. Sedangkan sepupu lelaki yang sebaya denganku
dan paman yang berselisih dua tiga tahun denganku juga sudah bertunangan.
Seorang sepupu yang usianya hanya terpaut setahun denganku bahkan sudah
mempunyai dua anak.
Ya,
tiba-tiba saja aku menjadi tambah sentimentil. Aku seperti “ngeh” bahwa usiaku
tak lagi muda sebagai seorang perempuan. Idealnya aku sudah menikah, atau
mungkin punya satu atau dua anak yang kecil-kecil. Aku merasa semakin “salah
tingkah” menyadari adik lelakiku juga sudah menikah dan punya anak, ditambah
paman yang seusia adikku juga sudah sibuk minta bertunangan dengan perempuan
yang dicintainya. Lalu, bagaimana denganku?
Pulang dari rumah tante aku mampir di sebuah galeri, di sana aku bertemu
dengan teman pria yang pernah satu tempat kerja denganku beberapa tahun lalu.
kulihat ia menggendong putrinya yang berusia sekitar tiga atau empat tahun. Ah, banyak teman-teman sebayaku yang telah menikah dan mempunyai anak.
Mestinya
aku tak perlu merasa uring-uringan, gelisah ataupun panik. Sebab aku juga
mempunyai tambatan hati. Tempat berbagi cerita yang telah lebih sewindu
kujalani. Selama ini aku hidup dalam kolam cinta kasih yang rasa-rasanya nggak
bakalan kering atau susut. Hari-hariku selalu diliputi rasa senang, bahagia dan
selalu berbunga-bunga. Aku hidup dalam stok cinta yang tak pernah kurang,
hingga aku menyadari bahwa usiaku tak lagi muda.
Di
ujung stok cinta yang makin meluber-luber itu aku pun seperti menemukan jawaban
atas perasaanku selama ini. Tentang rasa sepi yang tak pernah tergantikan, yang
telah diselimuti perasaan yang menggebu-gebu, tentang rasa tak bisa memiliki
yang menyatu dengan fatamorgana tentang kesetiaan. Juga tentang harapan-harapan
yang selalu tarik menarik antara hasrat, rasa dan logika. Ya, aku dikepung
kemarahan dan sakit hati yang ditimbulkan oleh perasaan cintaku sendiri.
Seperti terkapar, aku bahkan tak sanggup menolak ketika rasa itu menghujam
bertubi-tubi terhadap diriku.
Sampai
detik ini, saat aku menuliskan cerita ini aku masih diamuk gelora yang membara.
Kuketahui itulah yang membuatku uring-uringan seharian ini, dan juga ketika aku
diliputi rasa kesepian yang begitu panjang. Bahwa aku punya tambatan hati
benar, tapi kenyataannya berbeda dari harapan-harapan yang selama ini menjadi
topik pembicaraan antara aku dan dia. Berkali-kali aku berfikir, betapa
bodohnya telah memerangkapkan diri dalam cinta yang seperti ini. Seperti kutub
yang tak pernah menemui titik akhir. Maka cintaku adalah pengembaraan tanpa
ujung. Seperti berada di padang pasir yang setitik pun tak kutemukan oase.
Bahwa
aku mulai berfikir, cinta bukan hanya untuk memenuhi gejolak ruang batin yang
cukup hanya sebatas melepas rindu. Tapi lebih dari itu, untuk membangun
jembatan demi jembatan hingga akhirnya sampai pada tujuan hidup yang
sebenarnya; Tuhan!
Bahwa
cinta mestinya tak memberi rasa tertekan karena tak bisa memberikan kepastian.
Cinta mestinya menjadikanku benar-benar perempuan, menjadikanku seorang istri
dan ibu! Kukatakan bahwa dia adalah angin, ada, hanya saja mereka di
sekelilingku tak bisa melihat wujudnya. Hanya aku yang bisa. Di usiaku yang
lebih dari seperempat abad ini aku mulai menyadari bahwa mencintai rahasia itu
misteri. Dia hanya ada untukku, bukan untuk orang-orang di sekelilingku.
Sementara aku selalu dicecari oleh orang-orang terdekat yang selalu
mempertanyakan keperempuananku. Mempertanyakan kenormalanku. Ah, aku ingin
menangis rasanya ketika semua itu hanya kusimpan sendiri.
Aku
tahu, Tuhan tahu aku mencintai dia dan juga sebaliknya. Aku ingin memilikinya,
menjadikan seluruh panca inderanya hanya untukku seorang. Tapi di suara hatiku
yang paling dalam aku menolak itu terjadi. Aku tak ingin melubangi tangki
cintaku dan membiarkan stok kasih yang selama ini penuh tumpah hingga akhirnya
kosong. Aku ingin dia selalu menjadi rahasia dan berdiam di hatiku. Paradok.
Karena aku hanya bisa mengaduh, menangis diam-diam, entah menyesal, aku pun
hanya bisa meraba-raba mengenai perasaanku ini.
Tuhan,
aku selalu berharap takdirMu yang paling indah. Jadikan aku kuat, tenang dan
lumuri aku dengan cintaMu yang tak berkesudahan.[]
*Dikutip dari sebuah akun facebook berinisial GJ, judul dan isi tanpa perubahan sedikitpun
Takdir Allah adalah yang terbaik, walau awalnya kita sering menyalahi takdir tp lambat laun kita akan bisa melihat bahwa ada hikmah di setiap takdir Allah
BalasHapus