|
ilustrasi menikah @ismaji81.wordpress.com |
BAGI aku yang masih single, pernikahan selalu menjadi tanda tanya sekaligus membuat penasaran. Seperti apa sih pernikahan itu? Bagaimana kehidupanku nanti setelah menikah? Apakah pernikahan itu seindah dan sewangi layaknya bunga yang sedang bermekaran. Seperti yang banyak diilustrasikan dalam novel-novel roman yang indah dan puitis.
Atau... apakah pernikahan itu seram dan menyeramkan? Sehingga banyak terjadi hal-hal yang menurutku bukan termasuk cita-cita pernikahan itu sendiri. Misalnya kekerasan dalam rumah tangga, perselingkuhan sampai perceraian. Jawabannya tentu saja menikah dan mengalaminya sendiri, lalu temukan jawabannya sendiri.
Beberapa tahun silam aku pernah mencemburui kehidupan seseorang, ia mengilustrasikan kehidupan rumah tangganya dengan sangat sempurna. "Pasangan hidup yang rupawan, anak-anak yang cerdas dan cakep, serta harta yang berkecukupan," tiga hal itu yang terus mengiang dalam benakku. Betapa beruntungnya makhluk Tuhan yang satu ini. Dan tentunya banyak detil-detil lainnya yang sering membuatku iri saat ia menceritakan kehidupannya.
Pekan lalu aku kembali mengobrol dengannnya, sekedar bernostalgia. Tau apa jawabannya saat kusinggung pernyataannya beberapa tahun lalu itu? "Ibadahnya kurang," katanya jujur, menggambarkan kehidupannya yang sekarang. Aku tahu rumah tangganya tak seharmonis dulu lagi, anak-anak telah tumbuh remaja, dan tentunya kondisi fisik yang tidak seperti dulu lagi. Usia pernikahan mereka hampir genap 20 tahun.
Saat ini salah satu keluarga dekatku juga sedang diterpa prahara rumah tangga. Aku tidak begitu mengetahui apa akar masalahnya. Selentingan kudengar karena persoalan ekonomi dan si istri yang "keras kepala". Kisruh rumah tangga itu rupanya sudah sampai pada pihak yang berwajib. Selain keras kepala si istri rupanya juga punya hobi cerita, hampir ke semua keluarga ia menceritakan masalahnya, termasuk keluarga jauh yang dua tahun sekali pun belum tentu ketemu. Termasuk padaku yang hanya pulang kampung setahun dua kali. Tapi, karena aku tak begitu menggubrisnya mungkin ia pun tak terlalu antusias bercerita.
Satu hal yang ingin kukatakan bahwa usia pernikahan mereka barulah tujuh tahun. Waktu yang menurutku terlalu dini untuk menemui "bosan". Bayangkan, anak-anaknya saja belum ada yang sekolah dasar. Apakah secepat itu rasa cinta menguap? Padahal dulu berada di pihak yang "mengejar-ngejar",yang menginginkan agar pernikahan itu segera terwujud, apalagi kalau bukan karena saking cinta. Dalam kasus ini aku belajar bahwa cinta ternyata tidak bisa membuat seseorang mampu "tertundukkan" sesuai porsinya. Dalam hal ini statusnya sebagai istri yang tak bisa menahan diri untuk tidak ngebossy, sebagai ibu yang tak bisa menyayangi anak-anaknya sepenuh hati, sebagai istri yang tak bisa menutupi kekurangan suaminya, katakanlah soal penghasilan yang tidak sesuai keinginannya, dan menurutku terlalu naif jika kemudian ia begitu menonjolkan dirinya yang selalu mengtakan "saya memenuhi kebutuhan saya sendiri,".
Padahal, kini mereka telah tinggal di rumah yang dibangun di atas tanah mereka sendiri. Punya investasi tanah meski tidak begitu luas. Dan itu dibeli dengan uang dari jerih suaminya. Wow! Aku kadang-kadang merasa surprise, betapa ego kadangkala tidak bisa membuat seorang istri menghargai suaminya. Begitu juga sebaliknya. Nafsu materi yang tak bisa dibendung bagai banjir yang sewaktu-waktu bisa membuat jebol bendungan kokoh sekalipun.
Cukupkah dua kasus di atas untuk menggambarkan kompleksitas rumah tangga? Aku masih punya satu cerita lagi yang menurutku benar-benar mengherankan, seseorang yang tega mengkhianati pasangannya dan mencari kenyamanan pada orang lain. Alasannya cuma satu; pasangannya terlalu cuek.
"Saya mau pergi ke mana saja tidak pernah ditanya, mau pulang jam berapa juga ngga peduli," itu adalah salah satu dalih untuk menjustifikasi tingkah lakunya. Apakah ia tidak merasa bersalah? Kadang kala rasa itu juga menghinggapinya, tapi mabuk asmara lebih sering mendiami pikirannya. Ia pun lupa mempunyai keluarga dan anak-anak.
***
Berbicara pernikahan tentu saja berkaitan dengan kesetiaan, dan komitmen. Inilah yang selalu dikatakan oleh nenek dan juga ibuku. Aku hanya percaya pada definisi setia yang disampaikan oleh dua orang ini saja. Sebab aku tumbuh dan besar di lingkungan mereka, menyaksikan bagaimana mereka menerjemahkan kesetiaan itu. Karena hanya dua orang ini yang telah mengantarkan pasangan hidupnya ke peristirahatan terakhirnya. Di pangkuan mereka. Dengan cara yang amat mengagumkan.
Aku memulai dari bagaimana cara nenekku menunjukkan cinta dan setia pada pasangannya. Suatu hari aku pernah mecuri dengar obrolannya dengan ibuku. Di malam pertama perkawinannya nenek bermimpi, kain sarung miliknya tiba-tiba berubah menjadi sangat usang dan nyaris terbelah. "Hanya seutas benang yang membuat sarung itu tetap menyatu," katanya waktu itu.
Ia pun menafsirkan mimpi itu dengan kehidupannya dengan amat sangat sederhana. Yang menurutnya jika untuk mencari yang "lebih" tidak mungkin layaknya kain sarung yang berubah menjadi usang tadi. "Namun seutas benang itu yang membuat kami tetap bersama selamanya," kata nenek. Dan memang, terlepas dari apa takbir mimpi itu, aku tidak melihat ada hal yang berlebihan dalam rumah tangga nenek dan kakekku, selain anaknya yang berjumlah selusin.
Bukan cuma soal keadaan ekonomi yang jauh dari kata mapan. Ternyata nenekku juga harus berjuang perasaan agar terus bisa mencintai kakek. Apakah mereka tidak saling mencintai saat menikah? Jawabannya tentu saja, mereka juga menjalin hubungan khusus dulu sebelum menikah. "Tapi sejak punya anak pertama perasaan itu seperti musnah," katanya. Bukan, bukan karena kehidupan yang morat marit yang membuatnya tidak lagi mencintai suaminya. Tapi karena ada yang mengguna-gunainya, seorang pria yang juga mencintainya namun ditolak cintanya oleh nenekku telah menzaliminya. Soal ini tentu saja aku memercayainya, sebab aku sering melihat bagaimana nenekku jika sakitnya sedang kambuh. "Tapi karena saya tahu itu bukan berasal dari diri saya makanya saya tidak mengikuti rasa itu," katanya dengan yakin. Dan itu dibuktikannya, mereka terus berdampingan hingga kakekku meninggal dunia tahun 2006 lalu.
Ibu saya? Beliau adalah perempuan luar biasa yang kesetiaannya telah teruji. Ia pernah hidup bersama ayah saya di masa-masa sulit, senang dan "sulit" kembali. Satu yang selalu saya ingat dari caranya mencintai adalah dengan menjaga nama baik ayah. Bukan tak pernah mereka tak bisa membeli pakaian baru di hari lebaran untuk anak-anaknya, bukan pula mereka tak pernah mengalami kesulitan keuangan sampai tak bisa membeli beras. Mereka juga pernah cek-cok kukira, hal yang lumrah dialami oleh suami istri di seluruh dunia.
"Tapi sampai hari ini tidak ada yang tahu hal itu," begitu sering ibu bercerita kepada kami anak-anaknya. Maksud ceritanya bukanlah untuk "pamer" atau untuk menyama-nyamakan kondisi dulu dengan sekarang. Tapi ia ingin mengajarkan bahwa kesenangan hanya bisa diperoleh dengan kerja keras.Dan itu terbukti tertular pada saya. Lagipula bercerita pada orang yang tidak tepat sama sekali jauh dari kata bijak bukan?
Ketika suatu fase dalam hidupnya terjadi hal-hal yang di luar kehendaknya, ibu tak mengadukan masalahnya kepada sembarang orang. Ia selalu pergi ke tempat Abu, seorang alim ulama di kampung kami. Abu lantas memberinya nasehat bijak yang membuat hatinya damai dan tenang, dengan begitu ia pun mempunyai kembali kekuatan untuk memperjuangkan apa yang menjadi haknya. Itulah ibuku, dan semua cerita itu kuketahui ketika semua fase itu telah berlalu.
***
Aku sering mendengar cerita manis tentang pernikahan dari mereka yang baru menikah setahun, lima tahun, bahkan dua puluh tahun sekalipun. Tapi aku tak langsung memercayainya begitu saja, terlebih di dunia dengan kecanggihan teknologi seperti sekarang ini. Mereka yang mengaku bahagia tak jarang diam-diam "curhat" di dunia maya tentang kamuflase yang dialaminya. Mereka yang lantas sms ria dengan kalimat papa-mama bukan dengan pasangannya yang sah. Mereka yang diam-diam membuat akun samaran untuk menutupi apa sebenarnya yang dikehendakinya di dunia nyata. Ya, saat mereka bercerita aku hanya bisa mengangguk-ngangguk, mereka perlu belajar pada cara ibu dan nenekku mencintai dan menyetiai.[]