Ilustrasi |
Sebelum
membelakangiku kau sempat melempar senyum yang datar. Tapi aku sempat menangkap
ribuan kata yang tersembunyi di balik retina matamu. Ada kegembiraan yang kau
tahan di sana, juga semedi ketakutan yang coba kau sembunyikan. Dugaanku bisa
jadi benar, tak lama setelah kau duduk seorang pria datang mengampirimu.
Pria
itu, tentu saja aku kenal. Tapi bukan itu yang membuatku tertegun, melainkan
caramu merengkuh dan mencium tangannya dengan takzim. Sekali lagi, meski engkau
membelakangiku seolah aku bisa membaca geliat bahasa badanmu. Bahwa engkau
menaruh rindu yang teramat pada pria yang kau cium tangannya itu. Dan wajah
pria itu, tentu aku bisa melihatnya dengan jelas karena ia menghadap ke arahku.
Bahagia!
Aku
masih ingat namamu. Mirah. Nama yang sederhana namun terkesan kuat dan
tangguh. Nama itu kukira cocok disandingkan dengan keteguhan dan kesungguhanmu
dalam mencintai pria itu. Kesungguhan yang membuatku iri, maksudku, aku juga
ingin ada seseorang yang bisa mencintaiku seperti itu.
Aku
mendengar namamu pertama sekali sekitar bulan Maret tahun lalu dari mulut pria
itu. Aku masih ingat ketika itu matahari belum sempurna terbit, namun saat aku
membuka kelopak mata kutangkap sosokmu duduk di dekat jendela. Memandang ke
seberang jalan, duduk di sebelah pria itu. Aku kaget, tepatnya terperanjat.
Sejak kapan makhluk perempuan yang menjelma sebagai dirimu hadir di kamar tidur
kami. Seingatku, saat aku beranjak untuk tidur semalam di kamar itu hanya ada
aku dan pria itu.
“Namanya Mirah,”
kata pria itu setelah kau meninggalkan kamar tempat kami menginap.
“Untuk
apa dia menemui abang di kamar ini?” tanyaku apa adanya.
Pria
itu tak menjawab, dia hanya tersenyum. Dan kupikir itu cukup sebagai jawaban,
bahwa ada sesuatu di antara kalian. Dan setelah itu aku mulai lupa tentang
sosokmu. Aku juga tak ingat lagi tentang sesuatu antara kalian. Hingga kemarin
sore kulihat engkau muncul dengan raut wajah seperti setahun lalu. Sepotong
senyum datar dan sekeranjang cerita yang penuh di balik retina matamu. Kau
begitu cantik dengan baju warna hijau daun yang kau pakai sore itu, segar dan anggun.
Tak
lama setelah kau duduk pria itu hadir dengan secangkir teh di tangannya. Ia
menyuguhkannya untukmu.
“Terima kasih,” ujarmu kala itu. Kau tahu, ini
membuatku takjub. Sekaligus iri. Bertahun-tahun mengenal pria itu yang kutahu
selama ini ia selalu dilayani. Meski hanya dalam diam aku bisa menterjemahkan
apa arti dari semua itu. Dan untuk yang kedua kalinya aku melihat sinar mata
pria itu sangat bahagia sore itu.
“Tolong
temani Mirah sebentar,” kata pria itu padaku. Aku terhenyak.
Lamunanku tentang kalian buyar. Aku mengangguk.
“Abang
mau kemana?” tanyaku pada pria itu.
“Tamunya
sudah datang,” ujarnya sepotong sambil berlalu menuju ke vip room yang
berada di seberang tempat kami duduk. Setelah pria itu berlalu aku hanya bisa
diam di tempat dudukku. Meski mataku menatap ke layar laptop, entah mengapa
tiba-tiba aku menjadi seperti orang bingung. Sementara engkau juga masih di
tempatmu, duduk membelakangiku. Entah apa yang engkau pikirkan.
Meski
sebelumnya pernah bertemu kita tak pernah terlibat pembicaraan. Meski kita
pernah saling bertukar senyum tapi tak pernah ada yang memulai bertukar sapa.
Aku pun tak berani mencoba mengenalmu terlalu jauh. Karena aku tahu antara
engkau dan pria itu memiliki ikatan yang aku tidak tahu apa.
“Mirah,
kau mau minum?” tanyaku setelah belasan menit berlalu. Tanpa menunggu jawabanmu
aku segera berlalu, menuju ke bar dan mengambil dua botol minuman ringan,
menyerahkannya satu untukmu.
“Terimakasih,”
“Sama-sama.
Boleh aku duduk di sini?” tanyaku. Kau mengangguk. Kali ini jelas kulihat
wajahmu. Sinar yang kau bawa tadi seperti menguap. Seperti ada murung di
wajahmu. Tapi aku pura-pura tidak tahu.
“Sudah
lama mengenal dia?” tanyamu padaku. Aku menyebut nama pria itu, kau mengangguk.
Aku sedikit kaget, kau memanggil pria itu dengan ‘dia’ saja, padahal selisih
umur kalian terlalu jauh.
“Sudah,
dia teman abang saya. Jika dia datang ke kota ini aku selalu bertugas
menjemputnya dan membawanya ke manapun dia ingin pergi,” jawabku jujur.
Di
luar dugaanku tiba-tiba engkau tertawa, bahkan hampir tergelak. Dahiku
mengernyit, penasaran dengan reaksimu yang tiba-tiba.
“Kau
tahu, dia bilang kamu ajudannya. Dia memang suka asal kalau bicara,” katamu
lagi. Kali ini mau tak mau aku ikut tertawa.
“Kalian
sudah lama kenal?” tanyaku akhirnya.
“Sewindu,”
jawabmu.
“Sewindu?”
“Ya,
sewindu,”
***
Sewindu.
Aku tahu waktu delapan tahun bukanlah waktu yang singkat untuk mencintai
seseorang. Tentunya juga bukan sedikit cerita yang telah kalian ciptakan selama
masa itu. Tetapi hingga pertemuan terakhir kalian semalam, mengapa aku seperti
melihat kalian bagai pasangan yang baru pertama kali jatuh cinta. Begitu
hangat, begitu mesra dan apa adanya.
“Kamu
tahu siapa dia Mirah?” tanyaku memberanikan diri padamu semalam. Kamu tak
langsung menjawab, mata hitammu menatapku sejenak.
“Jika
saja rasa bisa menyesuaikan diri dengan status seseorang,” jawabmu singkat.
“Maksudmu?”
tanyaku
“Kau
sedang tak ingin menghakimiku bukan?” tanyamu balik. Kali ini aku benar-benar
tergagap. Tak menduga mendapat jawaban seperti itu darimu. Bahkan dalam
kekalutan jiwamu engkau masih bisa memperlihatkan ketenangan, dan juga
ketangguhan. Tak hanya padamu Mirah. Hal yang sama juga kutanyakan pada
pria itu.
“Apakah
abang mencintai Mirah?” tanyaku selepas engkau pulang.
“Tidak
ada seorang pun yang bisa menolak ketulusannya,” jawab pria itu singkat. Ah,
bukan itu jawaban yang kuinginkan dari dia.
“Tapi
itu akan menyakiti hatinya suatu saat nanti,” ujarku akhirnya.
“Kamu
memperhatikannya?”
Dan
kali ini aku pun sama gagapnya. Bahkan dalam soal menjebakku kalian bisa kompak
seperti ini. Setelah itu tak ada yang berbicara lagi. Pria itu mematikan lampu
kamar dan menarik selimutnya. Begitu juga aku, kudekap lututku dalam ringkuk
yang panjang hingga pagi menjelang.
Bahkan
ketika esok pagi mobil yang membawa kami bergerak menuju bandara tak ada
seorang pun yang menyapa di antara kami. Bukan karena ada yang tersinggung,
tapi entahlah setelah membicarakanmu malam itu semuanya seperti tak penting
lagi untuk dibicarakan.
“Mirah gadis
yang baik, Al,” ujar lelaki itu sepatah dalam perjalanan.
***
Mirah,
jika saja kau tidak memakai baju warna hijau seperti yang kau pakai dua tahun
lalu, pasti aku sudah tak mengenalmu. Ternyata waktu seperempat windu itu hanya
sekedipan mata saja. Setelah hari itu aku tak menduga kita kembali bertemu di
restoran hotel ini. Kau duduk tepat di kursi yang waktu itu kau duduki,
menghadap ke bar, dan menempelkan pantatmu di kursi kayu berlapis busa yang
warnanya mulai pudar.
“Mirah,
masih ingat aku?” aku menyapamu.
Kau
sepertinya tak menyangka ada seseorang yang menyapamu di tempat ini. Kau
mendongak, memicingkan sedikit matamu.
“Al,”
jawabmu singkat.
Aku
mengangguk. Lalu menarik kursi dan duduk tepat di hadapanmu, persis di tempat
pria itu pernah duduk dulu. Kau terlihat terkesiap, seperti ada yang kembali di
ingatanmu.
“Kenapa Mirah?”
Kau
tak menjawab. Matamu mengerjap-ngerjap. Sementara bibirmu mencoba menarik
segaris senyum. Sangat datar. Di kelopak matamu aku melihat ada butiran bening
yang bersiap-siap jatuh ke pipimu. “Kau teringat pada pria itu?” tanyaku
memberanikan diri.
“Aku
tak pernah lagi menerima kabar dari dia,” jawabmu bersamaan dengan air matamu
yang jatuh. “Apa kamu tahu dia di mana Al?” tanyamu lagi.
Mirah.
Demi Tuhan, aku tak tahu harus menjawab apa saat itu. Maksudku, aku tak tahu
bagaimana caranya. Jika benar seperti yang kamu katakan, bahwa kalian tak
pernah lagi saling bertukar kabar selama dua tahun terakhir, untuk apa kau
masih menanyakan pria itu. Mestinya kamu sudah melupakan dia, atau paling tidak
kamu akan marah dan mencoba membencinya.
“Mirah,
kau ingat aku pernah tanya apa kamu tahu siapa dia waktu itu?”
“Ya,
aku masih ingat, dan aku bilang aku sangat kenal bukan?”
“Ya,
kau jawab begitu Mirah. Tapi sayangnya kamu belum mengenalnya,”
“Maksudmu?”
“Apa
kamu sering datang ke tempat ini?”
“Jika
rinduku untuk dia sudah tidak terbendung lagi Al, ini terdengar bodoh dan
konyol, bagaimana mungkin aku sampai sebegini gilanya ya...”
Ah, Mirah.
Bukan hanya kamu, aku juga ingin menangis melihat kejujuranmu.
“Apa
maksudmu aku belum mengenalnya?” tanyamu lagi.
“Kau
tidak pernah memintanya untuk menikahimu Mirah?” tanyaku kemudian.
Kau
mengangguk. Terlihat sendu menatapku.
“Kau
tahu mengapa ia tak pernah mengabulkan permintaanmu?”
“Al,
kamu bodoh sekali. Aku memang sering merengek-rengek meminta agar dia
menikahiku, tetapi aku selalu merasa bersalah setiap kali usai menyatakan
perasaanku padanya. Kau tahu Al, mata anak-anaknya selalu membuatku menahan
diri, aku tidak ingin cinta ayahnya terbagi untuk perempuan lain yang bukan ibu
mereka,”
“Aku
selalu merengek-rengek meminta ia memberiku satu atau dua anak yang lucu,
mengirimkannya surat cinta dan tak pernah bosan memanggilnya dengan panggilan
yang ia sukai. Tapi aku selalu berusaha menganggap itu angin lalu, dan
pembicaraan kami selalu terputus, sebab aku dilanda ketakutan setiap kali kami
membicarakan hal itu.....”
“Mirah,
dia tidak menikahimu bukan karena semua hal itu. Terakhir aku bertemu dengannya
dia menceritakan semuanya tentangmu, tentang puisi-puisi yang kau kirimkan
untuknya, tentang lukisan yang kau beri untuk hadiah ulang tahunnya, juga soal
ciumanmu yang katanya membuatnya sakit dan ingin menjerit.......” aku melihat
wajahmu bersemu saat itu.
“Dia
tidak menikahimu karena dia sakit Mirah,” kataku akhirnya berterus terang.
“Sakit?
Sakit apa Al?”
“Kanker
hati,”
“Sekarang?
Di mana dia?”
“Bukankah
kamu pernah bilang padanya bahwa dia akan selalu di hatimu, ada atau tidak ada
dia di sisimu? Dia bersama Tuhan sekarang,”
Aku
tak ingat apa-apa lagi setelah itu Mirah. Kecuali setelah mendengar
ceritaku kau beranjak, bergegas mengambil ranselmu dan keluar meninggalkan
bangunan bintang lima itu. Aku tak ingin mengejarmu, sebab di matamu kulihat
tak ada lagi sisa cinta untuk lelaki mana pun selain pria itu.[]
Permata
Punie, 29 September 2012
0 komentar:
Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)