Ilustrasi |
Sudah
beberapa belas menit aku menunggu taksi. Tapi belum ada satupun yang nongol.
Aku khawatir sementara aku masih di pinggir jalan seperti ini, hujan kembali
turun. Butir-butir air yang jatuh dari pucuk pohon angsana menetes di tubuhku.
Menambah gigil kala angin bertiup agak kencang. Aku merapatkan jaket sambil mataku tertumbuk pada sebatang rumput liar
yang tengah meliuk-liuk. Bunganya kuning pucat dengan beberapa kelopak yang
masih utuh.
Segaris
senyum melengkung di bibirku. Bersamaan dengan butir air yang tepat jatuh di di
hidungku. Rumput liar itu. Kamu! Seolah telah mengirimkan energi untuk
mengeluarkanku dari kemalasan akibat cuaca yang tak bersahabat. Kau tahu, aku
hampir saja membatalkan janji untuk ketemu denganmu sore ini. Rasa-rasanya
meringkuk dalam balutan selimut tebal sambil memeluk guling lebih menyenangkan.
Tapi entah mengapa, akhirnya aku bergegas dan sekarang berada di tepi jalan.
Menunggu taksi yang tak kunjung datang.
“Nanti
setelah bertemu denganku kau akan merasa hangat,” godamu dalam pesan pendek
yang tak sanggup kutolak.
Aha!
Taksi yang kutunggu-tunggu akhirnya melintas juga. Begitu taksi itu menepi
segera aku masuk. Sebelum kembali melesat di jalan raya sempat kutoleh pada
rumput liar berwarna pucat itu.
Jalanan
cukup lengang. Lampu-lampu jalan mulai menyala. Warnanya kuning temaram. Tampak
indah dan berkilau saat memantul di air yang tergenang di beberapa ruas jalan. Mendekati tempat pertemuan kita hatiku
mulai dag dig dug. Tanganku menjadi lebih dingin. Parahnya aku merasa semacam
salah tingkah. Ah, seharusnya aku bersikap biasa saja bukan? Lagipula ini bukan
kali pertama aku janjian bertemu dengan orang asing. Asing? Tidak. Kau tidak
asing. Selama ini kita cukup intens berkomunikasi. Kita sering mengobrol di
jejaring sosial. Berbalas-balas komentar. Kita juga sering menghabiskan waktu berlama-lama
hanya untuk membicarakan hal-hal tidak penting. Pada akhirnya menjadi penting.
Menjadi semacam kebutuhan. Ya, seperti kosong jika sehari saja tidak
mengontakmu.
Kusapu
uap air yang menempel di kaca jendela mobil yang kutumpangi. Aku mengedarkan pandangan.
Jaraknya sudah semakin dekat. Hanya tinggal satu perempatan lagi. Gugup semakin
menyergapku. Jantungku berdetak lebih kencang rasanya. Saat aku sedang sibuk
memikirkan kalimat apa yang akan kukatakan saat berjumpa denganmu nanti,
tiba-tiba teleponku berdering. Aku tersentak! Kukira itu dari kamu, rupanya
dari bosku.
Taksi
yang kutumpangi berbelok ke kiri. Ini artinya tempat yang kutuju telah sampai.
Setelah membayar ongkos aku segera turun. Tanpa canggung aku langsung masuk ke
satu-satunya hotel berbintang lima yang ada di kota ini. Sembari berjalan
kuedari pandangan ke sekitar lobi, mencari tempat kosong untuk duduk. Sebelum
kutemukan tempat duduk teleponku kembali berdering. Rumput liar. Kau!
“Kau
tunggu sebentar, aku segera turun,” katamu.
Aku
duduk di sofa yang menghadap ke kolam renang. Di tepi kolam lampu-lampu
berbentuk lentera menyala dengan indah. Replika penyu yang terdapat di
sekeliling kolam seperti tak pernah bosan memuntahkan air. Gemericiknya
terdengar hingga ke tempatku duduk. Dari pantulan kaca langit mulai terlihat
gelap. Malam ini baik bintang atau bulan sepertinya enggan muncul.
“Za!”
sebuah suarah dari arah belakang membuatku kaget. Lamunanku tentang air kolam
yang bening dan bercahaya karena pantulan lentera buyar. Aku segera berdiri.
“Kau!”
kataku gugup. Bahkan aku tak bisa menyebut namamu dengan benar.
“Duduklah,”
katamu mempersilakan.
Aku
kembali duduk. Kau tersenyum. Memamerkan gurat-gurat garis ekspresi di sekitar wajahmu. Di mataku garis-garis ekspresi itu malah
membuatmu terlihat lebih berkarakter. Dewasa. Kau tampak lebih muda dengan
setelan celana jeans dan t-shirt bermerk yang kau pakai. Wajahmu cerah.
“Kau
mau makan?” tanyamu kemudian
“Aku
belum lapar,” jawabku apa adanya.
Di
luar butir-butir hujan kembali jatuh. Rasa gugup yang tadi hadir pelan-pelan
mulai sirna. Kita, tepatnya aku semakin menguasai diri dengan baik. Obrolan di
antara kita pun mengalir begitu lancar. Selancar air yang dimuntahkan mulut
penyu di pinggir kolam di hadapan kita.
“Bagaimana
pendapatmu tentang kota ini?” tanyaku.
Kau
tak langsung menjawab. Sampai di sini gayamu tak jauh berbeda saat kita
berbicara melalui gelombang suara yang dikirimkan melalui telepon selular milik
kita. Bicaramu cukup tenang, teratur dan penuh pertimbangan. Berbeda denganku
yang spontan dan apa adanya.
“Tidak
seperti yang kupikirkan,” jawabmu.
“Maksudmu?”
sergahku cepat. “Kota ini jelek?” aku mencecar.
Bukannya
menjawab kau malah tertawa. Sedikit lebih keras. Membuat beberapa orang di
sekitar kita menoleh. Aku meletakkan telunjuk di bibir sebagai isyarat
memintamu untuk mengecilkan volume.
“Jangan
khawatir, tidak ada yang mengenal kita di sini,” ucapmu santai.
“Apa?
Enak saja, kau mungkin tidak dikenal di sini, tapi aku, banyak yang mengenalku
di sini,” aku protes. Kau kembali tertawa. Mau tidak mau aku menjawil lenganmu
agar kau bisa berhenti.
“Bagaimana
kalau sebaliknya?”
“Kau
menyebalkan sekali, ditanya balik nanya,” sungutku.
“Kalau
begitu kau sudah tahu mengapa rumput liar harus dibasmi,”
“Kamu
ini bicara apa, sih?”
“Nanti
kuceritakan. Aku mulai lapar. Kita ngobrol sambil makan saja ya,” ajaknya.
Aku
mengangguk. Perutku pun mulai terasa lapar. Lebih dari itu, aku perlu secangkir
teh atau kopi untuk menghangatkan tubuhku. Kami beranjak. Meninggalkan lobi dan
menyusuri lorong kecil sampai tiba di restoran hotel yang agak tertutup.
Suasana di sini lebih temaram. Lampu-lampu hias dengan model minimalis menempel
di beberapa sisi dinding. Dekorasi yang didominasi warna violet dan abu-abu
tampak serasi dengan lampu-lampu tadi. Pengunjung restoran tidak terlalu ramai.
Jadinya kami lebih leluasa memilih tempat duduk. Sesuai saranmu kita memilih
duduk di sudut, bersisian dengan akuarium yang berisikan beberapa ikan cupang
biru yang cantik.
“Di
sini kita mudah mengamati orang. Tapi orang susah menjangkau pandangannya pada
kita,” katamu memberi alasan.
Aku
setuju karena memang aku tak terlalu suka jadi pusat perhatian. Kejadian
beberapa bulan lalu membuatku sangat berhati-hati saat memilih tempat duduk di
keramaian. Saat itu aku duduk di dekat dinding, rupanya dinding itu menjadi
latar untuk memantulkan infocus. Orang-orang menonton bola yang terpantul di
dinding tepat di atas kepalaku.
Makanan
datang. Kita menyantapnya dengan nikmat. Saat aku sedang mengunyah beef steak
lezat khas restoran ini, kau menyentuh tangan kiriku. Terasa hangat. Namun aku
tak bisa bicara apa-apa karena mulutku masih penuh dengan makanan. Hanya saja
aku terkesiap. Adrenalinku mengalir begitu deras. Mengontak katup-katup
jantungku. Bagai sengatan listrik yang membuatnya berdegup kencang. Namun
pancaran matamu yang teduh pelan-pelan menetralisir reaksi yang tiba-tiba tadi.
***
Usai
makan kau mengajakku ke cafe hotel. Lampu-lampu berkelipan. Kita duduk sambil
menikmati musik yang entah mengapa tiba-tiba menjadi terdengar indah di
telingaku.
“Bagaimana
pekerjaanmu Za? Sepertinya kau cukup sibuk sekarang, kulihat kau jarang
online,” katamu dengan bibir yang rapat di telingaku. Dengan suasana yang ramai
seperti ini sangat tidak mungkin untuk berbicara dengan jarak seperti biasa.
Tidak akan terdengar.
“Kau
belum menjawab pertanyaanku,”
“Pertanyaan
yang mana?”
“Pendapatmu
tentang kota ini,”
“Ya,
seperti yang kukatakan tadi. Tidak seperti dugaanku. Ranjau-ranjau di kota ini
masih sangat banyak rupanya Za. Ke manapun aku melengkah aku merasa berdebar.
Deg degan.” Jawabmu.
“Ranjau?”
Kota
ini memang pernah diselimuti konflik berkepanjangan. Saat itu dentuman bom tak
ubahnya bagai suara petasan di malam lebaran atau tahun baru. Setiap orang
berdebar-debar. Cemas. Takut. Tapi ranjau? Rasanya tak masuk akal masih banyak
ranjau yang tertanam di perut tanah kota ini.
“Ya,
ranjau asmara yang berasal dari dirimu,”
Kali
ini aku tergelak. Lebih keras dari ketawamu tadi. Tapi orang-orang di sini
sepertinya tidak peduli. Mereka sibuk dengan keasyikannya sendiri.
Kau!
Rumput
liar itu.
Apakah
sesuatu sedang merambati dirimu? Seperti yang sedang kurasakan sekarang. Entah
apa itu, aku tak bisa menerjemahkannya. Agaknya engkau pun merasakan hal yang
sama. Sebab sejak tadi kulihat kau terus mereject
panggilan yang masuk ke handphonemu yang tergeletak di meja. Sekilas kulihat
panggilan itu berasal dari my wife.
Tiba-tiba aku ingat ucapanmu belum lama ini. Kau bilang rumput liar itu paling
tak disukai karena semakin dibersihkan semakin tumbuh subur. Dalam temaram
lampu kuberanikan diri untuk merapati tubuhmu.
“Ranjau
itu hanya bisa meledak saat aku dan kamu bersatu!” kataku.[]
Permata
Punie
Senin
16 September 2013
23:15
Jiaaaahhh.... dahsyat! Ada magma dalam cerita ini...
BalasHapusKayak mau maen silat waeee pakeh jiaaahhhh jiaahhh hahahha, makasih pak atas catatan pentingnya
HapusOooh..jadi yang di atas yang ente maksud tadi :p
BalasHapusHan, cerpen ini cocok untuk majalah femina kayaknya. Cuma konfliknya coba ente pertejam lagi.
berdasarkan cerpen-cerpen femina yang kubaca, meski tema sederhana, meski cerita sederhana, meski alur sederhana, tapi rerata konfliknya kuat. Femina begitu model cerpennya
Heheheh...iya ki, beliau yang kumaksud. Ki, aku masih perlu bimbingan banyak dari enteh heheh
HapusDeskriptif. Aku seperti bisa merasakan sedang berada di tempat cerita dan melihat semuanya, melihat semua yang dilakukan tokoh. Kukira ini berhasil. Kejutan di akhir membuat aku menepuk jidat, semacam ditipu tapi senang. Namun, kalau saja pada penutupan lebih meledak lagi (hanya tambah daya beberapa hitungan) tentu saja aku akan membacanya berkali-kali dan berkali-kali.
BalasHapustrims anak muda :-) thx udah berkunjung ke blogku, dan berkenan meninggalkan komen baik ini, kurang dahsyat yaaa? heheheh
HapusEeeehhh..tapi ente udah muat di blog ya. Femina itu paling selektif menerima cerpen, salah satunya gak boleh udah dimuat di media manapun, termasuk blog.
BalasHapuswah2, ini bagus ya cerpennya...
BalasHapuswah2, ini bagus ya cerpennya...
BalasHapusMakash bang Thayeb :-)
HapusSebuah cerita yang mengalir tenang, namun mampu menghanyutkan seorang atlit renang sekali pun.
BalasHapus:-) Bro bisa saja, ihan hanya bisa menghanyutkan atlit renang, tapi tidak bisa tembus ke tempat bro biasa "berenang" itu hehehe
HapusMenyimak aja kak. Perlu belajar banyak ni sama kakak tentang cerpen aliran romantik. kalau rahmad sendiri sih suka ke arah surealisme. Seperti pengarang favorit saya Ayu Utami hehehe.
BalasHapus... :-) saya ilmunya belum sampai ke sana Rahmat
Hapus7 kali baca, belum ada timbul rasa bosan. Hebat. kapan nih, mau ajarin saya?
BalasHapus:D
Zul, boleh-boleh, kapan aja mau, tapi yaaaa..kemampuan Ihan masih terbatas
Hapuskerennnnnnnnnnnn.. dasar rumput liar. ude ada bini tetep aj menggatai kwkwkwk
BalasHapushahahah seeblas dua belas sama Cara Jo Memaknai Cinta kan
Hapus