|
Ilustrasi pohon uang |
Wah... hari ini Rabu yaaa, baru ingat ada tantangan menulis "Andai Aku Punya 50 Miliar" yang jatuh tempo hari ini. Jatuh tempo? Kayak pajak aja yaaa, ini gara-gara tulisan Ari Murdiyanto untuk tema yang sama yang sudah diposting pertengahan pekan lalu. Selain Ari, yang sudah memposting tulisan itu adalah Azhar Iyas dan Alvawan.
Kalau bukan aku yang usulin, mungkin aku ngga bakal buat tulisan ini. Bukan karena tak ingin membuatnya, tapi sepekan ini memang aktivitas lumayan padat. Tapi apa kata, demi "menunaikan" usulan tersebut, dengan tertatih-tatih tulisan ini kutuliskan juga. Dengan perut yang lapar karena belum makan siang. Semoga saja setelah tulisan ini selesai laparnya langsung hilang, bukankah topik uang selalu asyik untuk dibahas?
Siapa yang pernah berandai-andai? Dalam agama yang kuanut berandai-andai memiliki hukumnya sendiri yaitu haram dan dibolehkan. Dalam konteks ini aku mau bicarakan andai-andai yang dibolehkan saja seperti pengandaian karena keinginan untuk mendapatkan sesuatu. Bukan karena penyesalan atau protes terhadap takdir. Hukumnya tergantung dari apa yang diangankan. Kalau yang diangan/andaikan untuk kebaikan maka nilainya pahala dan sebaliknya. Tapi jika yang diangankan itu kemaksiatan ya jelas nilainya dosa dong. Misalnya para cowok yang berandai-andai menikahi janda kaya agar dapat harta warisannya :-D
Agar lebih postif bolehlah kukatakan bawah andai-andai yang dibolehkan ini disebut impian. Keinginan yang benar-benar kita inginkan, yang kalau ngga terwujud bikin kita sedih. Sejak kecil aku sudah jadi pengkhayal berat, selalu ingin jadi yang berbeda dari orang-orang di sekelilingku.
Kali ini pun aku ingin mengulangnya kembali. Memimpikan diriku yang punya uang di bank sebanyak Rp 50 miliar. Hm... kira-kira mau kuapakan uang itu yaaaa? Kalau untuk didepositokan mungkin bakal sampai ke generasi ke delapan (kali). Kalau diinvestasikan, mungkin bakal lebih lagi. Aku sendiri lebih tertarik yang kedua; investasi!
Pernah dengan agrowisata? Itu lho, industri wisata yang dikawinkan dengan industri pertanian. Ups! Kawin? Maksudnya gini, industri wisata yang dikembangkan berbasis pertanian. Aku bercita-cita punya kebun yang luas di daerah berhawa sejuk di tanah Gayo. Kebun-kebun itu akan kutanami kopi, kentang, sayur-sayuran, atau juga strawberry. Di tengah-tengah kebun aku akan membangun cottage-cottage bermaterial kayu yang warnanya dipadu-padankan dengan konsep alam. Lalu nanti para wisatawan yang menginap di sana bisa ikut memetik kopi, memanen sayur dan belajar bercocok tanam. Mereka bisa tahu bagaimana bentuknya cacing tanah yang bertugas menguraikan tanah-tanah sehingga selalu gembur. Mereka bisa belajar apa itu tanah humus, tanah dengan jenis paling subur yang sangat dibutuhkan manusia.
Kalau cuma itu, masak sih perlu sampai 50 miliar?? Oh begini, untuk mendapatkan kebun itu aku perlu membelinya dari masyarakat, aku perlu membangun infrastruktur yang baik seperti akses jalan ke kebun, pembangkit listrik, sarana air bersih, membuat taman botanikal, membeli kuda sebagai alat transportasi, dan juga untuk gaji karyawan/tenaga kerja.
Hahhhh... capek juga, perutku makin berkeriuk. Tiba-tiba aku teringat untuk menghayal saja tak optimal dilakukan dengan perut kosong. Apalagi untuk mempunyai 50 miliar!