Foto by Kompasiana |
Katakanlah kau hujan, yang selalu hadir dalam bentuk embun yang menempel di pucuk dedaunan. Lalu mengering bersama kehangatan yang tercipta antara aku dan engkau. Kau tahu, bulir-bulir itu mereinkarnasi menjadi keringat yang hangat. Yang muncul dari ruang pori percintaan semu.
Jika kau memang hujan, maka kau bisa ada dan tiada. Kau bisa muncul dan senyap, atau diam-diam hanya mengintip sebagai mendung. Aku? Apa bisa aku protes, meminta semesta terus menerus mengedan demi melahirkanmu. Ah, mana peduli dia tentang suasana romantis karena bulir-bulirmu yang melekat di keningku, atau di bibirku, atau di manapun. Ah....
kerennnnn., (y)
BalasHapustengkyu :-)
Hapussukaaaaa....
BalasHapusterimakasih sudah mampir mbak Intan :-)
Hapusaku suka tulisan kakak, aku sering baca di Atjehpost. jangan lupan berkunjung ketempatku juga kak ya http://negeridalamaksara.blogspot.com/
BalasHapus