print screen |
Pemilu 2014
masih lama. Kita juga masih hidup di tahun 2013. Tapi, maaf, bau 'amis' politik
mulai tercium. Ada yang samar-samar, hanya tercium jika ada 'angin' yang
membawanya. Ada pula yang terang benderang, seterang lampu petromak di malam
gulita. Tak heran jika semua mata tertuju ke lampu atau sumber bau 'amis' itu.
Beberapa hari ini ada yang berbeda jika saya membuka halaman Kompasiana. Yaitu
wajah pak Menteri Perdagangan RI Gita Wirjawan yang tiba-tiba ngablag begitu
besarnya hingga bikin kaget. Untung saja cuma foto, kalau beneran orangnya
pasti sudah pingsan karena terpesona :-D.
Wajah besar pak menteri pelan-pelan
akan hilang dengan sendirinya dalam beberapa detik. Jika tak sabaran menunggu
sampai hilang sendiri, jangan ragu untuk tekan tanda skipp di pojok kiri atas
gambar.
Rupanya bukan saya saja yang terganggu dengan iklan besar pak
menteri, ada Kompasianer lainnya bahkan membuat sebuah artikel yang meminta
agar Gita sebaiknya menulis saja di sana, alias menjadi Kompasianer, seperti
yang dilakukan Yusril Ihza Mahendra dan Jusuf Kalla.
Tapi rupanya, Gita yang
tak lain adalah calon presiden konvensi Partai Demokrat untuk pemilu 2014 lebih
senang beriklan daripada berinteraksi lewat tulisan dengan para Kompasianer
lainnya. Bukan hanya memasang iklan di media yang berskala nasional saja, Gita
juga memasang iklan di media lokal.
Di Aceh, iklan Gita pernah saya lihat
nangkring di halaman depan Serambi Indonesia. Waktu itu, di perempatan lampu
merah saya sempat mengira itu iklan dari Badan Koordinasi Keluarga Berencana
Indonesia atau BkkbN. Maklum, warna biru laut yang diusung Gita mirip-mirip
dengan warna logo BkkbN.
Jujur saja, jika iklan itu untuk mempromosikan pak
Gita sebagai seorang Menteri Perdagangan RI, secara pribadi saya ngga
keberatan. Tapi karena iklan ini terkait dengan ambisi Gita untuk pencalonan
presiden pada 2014 mendatang, entah mengapa kok saya merasa kurang sreg. Sudah
berlebihan. Dan, segalah sesuatu yang berlebihan tentunya tidak begitu baik
juga. Di TV, Gita juga beriklan. Tapi saya agak sedikit kebingungan dengan
iklan yang semula saya duga sebagai kampanye polisi bersih itu.
Di sisi lain,
sebagai rakyat saya berfikir ada semacam ketidakadilan. Bayangkan, untuk
kepentingan pribadi/partainya mereka beriklan sedemikian hebohnya. Tapi untuk
kepentingan rakyat rasanya kok ya setengah-setengah. Padahal kan bukan tidak
ada uang untuk biaya promosi. Metode ini sebenarnya bukan cuma milik Gita
seorang, kandidat lainnya juga begitu, katakanlah Abu Rizal Bakrie, Prabowo,
Wiranto, Anies Baswedan dan Surya Paloh.
Entah mengapa mereka-mereka itu
tiba-tiba merasa perlu membentuk imej baru menjelang pemilu. Padahal, jika
mereka sudah punya tempat di hati rakyat, tanpa iklan pun rakyat pasti akan
memilihnya kok. Sebaliknya walau ngiklan sampai jungkir balik kalau ngga
dipilih ya ngga menang juga.
Lain calon presiden lain lagi calon penghuni
gedung dewan, apa itu tingkat RI atau untuk tingkat provinsi. Iklan juga
menjadi salah satu manuver mereka untuk memperkenalkan diri ke publik. Namanya
juga iklan ya bisa macam-macam medianya, bisa di media mainstream, baliho,
spanduk, brosur, atau minimal kartunama. Paling mudah ya memanfaatkan jejaring
sosial seperti blog, facebook, atau twitter. 'Cuap-cuap' di jejaring sosial
juga gratis, paling-paling cuma perlu modal untuk pulsa/internet. Akun-akun
berbau politik pun bertebaran.
Jika diperhatikan macam-macam model gerilyanya,
ada yang membuat status-status bijak, note-note dengan aura positif, posting
foto, dan ajakan-ajakan untuk berpolitik secara bersih. Ada yang
terang-terangan mendeklarasikan diri sebagai caleg, ada yang sama sekali tak
menyinggung soal itu. Tapi sebenarnya mereka juga sedang mempraktekkan soft
selling atau penjualan terselubung secara halus; dengan cara membangun imej
positif tadi.
Yang lucunya, pernah saya melihat sebuah akun yang
'mempertanyakan' keberadaan caleg-caleg di sebuah partai yang tak begitu
menonjol di dunia maya. Entah apa maksudnya. Padahal, rajin setor muka di dumay
juga ngga menjamin bakal dikenal sama masyarakat. Bahkan bukan tidak mungkin
yang terjadi malah sebaliknya. Bikin masyarakat jadi jengah karena sudah
overdosis. Hemat saya, menjaga karakter agar tetap 'ekslusif' juga perlu. Jadi
ke mana-mana yaa... :-D[]
Saya lebih menyoroti iklan di sisi kanan laman facebook, yang memuat postingan berita politik dari situs-situs berita terkemuka. Menurut pendapat saya, sebaiknya bahasa dalam iklan berita tersebut lebih diarahkan kepada pendidikan berpolitik alih-alih pembentukan opini. Di sisi lain, masyarakat mungkin lebih tertarik pada isu-isu politik, lantaran merupakan topik yang selalu "wow" untuk dibahas. Namun semestinya tidak boleh menjadikan masyarakat sendiri lupa akan tanggung jawab ekonomi yang diembannya. (jeut ta peugah haba masalah politik padum jeum bak warung kupi, tapi tetap keureuja untuk masalah ekonomi hanjeut dilupakan)
BalasHapusNyan lon seupakat ngon bang Azhar!
HapusAzhar, ya itu beda lagi konteksnya :-D dalam hal ini aku cuma ingin nyorot jor-jorannya para caleg atau kandidat calon presiden, di mataku mreka itu selalu setengah2 untuk ngurus rakyat tapi selalu all out untuk kepentingan pribadi... ngga adil
HapusMalah bisa bikin eneg ya kalo ngiklan di mana2 ....
BalasHapusMenurut hematku sih begitu mba Mugniar :-D kayak kebanyakan makan gitu, jadinya mual-mual lahhhh
HapusMenjual citra atau memasarkan cibtra tuh kayaknyalebih laku di'beli' dengan cara aksi nyata. Sempat denger ibu2 nyeletuk, ngurusin tempe tahu aja masih krrepotan kok mau maju nyapres.
BalasHapusNah itu dia mbak Anik, padahal jadi menteri aja udah cukup bagus kok, kan job desknya juga se Indonesia tuhhh tapiiiiii huuuuuu
HapusBenar kak.. Saya juga benci dengan yg promosi di facebook seperti itu. Imej yang ingin mereka bangun malah runtuh dengan sendirinya. Aduh duh... padahal pemilu masih lama..
BalasHapusnah, mari kita listing caleg2 di Aceh yang menabur simpati di fb hahahahahah
Hapusbermacam cara ditempuh oleh mereka yang haus akan kekuasaan ya kak
BalasHapusiya, pengennya tampil elegan gitu, ehhh kok malah overdosis
Hapuseheheh.. aji mumpung ya
BalasHapusbetul mba Leyla, banyak jalan menuju Roma bagi mereka, tapi bagi rakyat hanya ada satu jalan hehehe
HapusKalau mau dekat pemilu masyarakat pun kebanjiran rezeki, dr baju, kalender, uang, seprei semua dibagi-bagi untuk cari muka, begitu menang atau kalah, lupa lah segalanya. tapi sekarang masyarakat udah bijak juga berpikir, mrk ambil apa yang dikasih tapi klo untuk memilih udah tahu mana yg pantas dgn yang ga pantas
BalasHapusKak Lisa; begitulah! Semuanya pada pengen yang instan :-)
BalasHapus