PAGI itu, aku sedang mengaduk adonan agar-agar di tungku kayu. Asap dari kayu bakar tak hanya membuat mataku perih dan berair, tapi juga hidung jadi beleran. Abu bekas kayu bakar sebelumnya di sekitar tungku beterbangan. Percikannya menempel di bajuku.
Tak lama kemudian, kukira adonan di panci belum sempurna mendidih. Atap rumah yang terbuat dari daun rumbia tiba-tiba bergoyang. Tiang-tiang dapur yang berupa kayu (beroti) kecil berderik-derik. Goyangan yang semula hanya berupa hentakan berubah menjadi goncangan yang begitu hebat. Aku menancapkan kaki di lantai dapur yang sepenuhnya berupa tanah. Ujung-ujung kaki menancap kuat. Di atas tungku adonan bermuncratan dari dalam panci.
Setelah beberapa saat aku mendengar suara nenek dari luar rumah. Ia berteriak-teriak menyuruhku keluar. Ia khawatir rumah akan roboh karena guncangan yang demikian hebatnya. Aku menurut karena goncangannya memang sangat kuat. Hampir saja membuatku limbung.
Di luar kulihat nenek berdiri di halaman samping. Ia berpegangan pada sebatang pohon kendondong hutan yang besarnya tak sampai sebesar lenganku. Tertatih-tatih aku menggapai pohon itu. Kami berdua bertumpu pada sebatang pohon, tetapi tetap terayun-ayun mengikuti gerakan goncangan dari dalam tanah. Sembari itu kami juga berzikir.
Seumur hidup rasanya sulit sekali bagi saya melupakan pagi itu. Minggu, 26 Desember 2004. Waktu itu umur saya baru 19 tahun. Itu adalah pagi di mana saya merasakan gempa yang sangat kuat. Belakangan saya tahu gempa pagi itu berkekuatan 8,9 SR. Ada yang mengatakan 9 SR. Dahsyat! Menghilangkan nyawa masyarakat Aceh hingga ratusan ribu jiwa.
Waktu itu saya masih kuliah. Mestinya pagi itu saya berada di Banda Aceh, tapi karena dua hari sebelumnya libur Natal, saya memutuskan untuk berlibur ke tempat nenek di Teupien Raya, Kecamatan Geulumpang Minyeuk, Pidie. Entah bagaimana nasib saya jika hari itu saya berada di Banda Aceh.
Setelah gempa berhenti saya kembali ke dapur, menyalakan api yang sudah padam. Lalu memasak adonan hingga matang. Beberapa menit kemudian dari luar saya mendengar suara ribut-ribut. Penasaran saya pun keluar untuk mencari tahu. Rupanya para tetangga nenek sudah mengetahui adanya kabar air laut naik (tsunami) di beberapa tempat seperti Banda Aceh, Sigli dan Pante Raja. Kabar tersebut ditambah dengan berita duka bahwa banyak orang yang meregang nyawa, terutama di Banda Aceh. Nenek ikut-ikutan panik, saya juga, pasalnya siang itu saya harus balik ke Banda karena besoknya masuk kuliah. Yang bikin saya tambah panik, tugas mengetik manual yang diberikan tiga hari lalu belum selesai. Saya urung kembali di Banda Aceh karena ada teman yang mengabarkan Ibu Kota Provinsi itu telah porak-poranda. [bersambung]