Kadang-kadang kita hanya perlu berbicara kepada angin, di pinggir pantai, di antara riuh gemuruh ombak. Berteriak, tersedu, mungkin juga tertawa. Angin seumpama rasa yang tak terbentuk, hanya dapat dirasakan. Gerakannya, kadang begitu anggun, kadang begitu liar. Membuat hati berdebar-debar. Merobek dan menyakiti.
Rasakah yang menyemai benih rindu kemudian tumbuh besar menjadi cinta?
Jika rasa itu angin, maka sah-sah saja menganggapnya semacam kamuflase, atau fatamorgana. Tak ada yang bisa diharapkan selain harapan itu sendiri, bahwa angin itu ada, bahwa rasa itu bukan utopia. Maka dengan itu kita bisa berdamai dengan diri sendiri. Meredakan amuk amarah, meluluhkan emosi. Membuat sadar bahwa rasa bukanlah sekotak surat yang dikirim tanpa alamat. Yang bisa diterima oleh siapa saja.
Itulah mengapa kadang-kadang surat cinta hanya perlu ditulis di selembar kertas usang, yang gurat-guratnya telah berubah kekuningan. Ditulis untuk dibaca sendiri. Lalu dengannya kita bisa menghibur diri. Ah, bukankah cinta itu adalah diri kita sendiri? Yang melekat pada setiap panca indera kita? Lalu mengapa kita perlu gusar, mengapa selalu mencari definisi. Padahal cinta adalah rasa, adalah angin, adalah abstrak. Cinta adalah omong kosong!
0 komentar:
Terimakasih sudah berkunjung. Salam blogger :-)