ilustrasi |
Ini
hari ke dua puluh tiga aku tak melihat beranda jejaring sosialmu. Entah mengapa
tiba-tiba aku merasa sangat rindu padamu. Sangat. Aku ingin melihat biji matamu
yang cokelat. Juga senyummu yang ranum menggoda. Tiba-tiba aku merasa sangat
menyesal telah mem-block akun jejaring sosialmu dua puluh tiga hari yang lalu. Mestinya itu
tak kulakukan bukan? Bukan cuma akun, aku juga memblock nomormu di handphoneku.
Selebihnya adalah diam yang panjang.
Hari
ini, ketika rindu tiba-tiba menyergap begitu hebat. Aku teringat padamu. Aku
mengecek nomor yang masuk ke daftar blacklist di handphoneku. Ada 75 panggilan
masuk, semuanya dari nomormu. Mungkin kau juga meninggalkan pesan, tapi karena
terlanjur masuk daftar hitam aku yakin pesan-pesan itu hanya tersangkut di
awang-awang.
Hatiku
semakin berdebar. Tak sabar rasanya ingin segera membuka komputer. Membuka akun
di jejaring sosial lalu membatalkan namamu dari nama-nama yang selama ini masuk
daftar hitam. Yap... hanya perlu dua menit untuk melakukan semuanya.
Tapi
apa yang kulihat saat ini? Mengapa ada banyak ucapan duka cita di berandamu?
Mengapa ada karangan bunga? Mengapa banyak sekali orang-orang yang bersedih? Mengapa
mereka mengatakan selamat berpisah, selamat jalan, dan selamat tinggal padamu?
Ada apa ini?
Aku
juga ingat sejak 23 hari lalu email yang biasa kita pakai untuk bertukar kabar
tak pernah kubuka. Entahlah, mungkin aku memang kesal padamu. Dan tak berharap
kau akan mengirimkan sepucuk atau dua pucuk surat cinta yang aneh padaku.
Seperti yang biasa kau lakukan di pagi hari. Katamu, agar hari-hariku selalu
berwarna. Tapi ternyata tidak, ada 20 surat yang masuk dari alamat yang sama.
Namamu.
Segera
kubaca satu persatu pesan-pesanmu. Seperti biasa, kau selalu tak pernah
kehabisan cara untuk menggodaku. Dan, sampailah aku di surat terakhirmu.
Tertanggal 20 Maret, kau kirimkan pukul dua dini hari. Ini tak biasa, aku tahu
kau sering bergadang jika sedang banyak pekerjaan. Tapi aku juga tahu, kau tak
terbiasa menulis untuk waktu selarut itu. Kau bukan penulis. Kau mesin!
Dear Hani,
Kurasa aku tak perlu pengantar
untuk mengatakannya padamu. Aku berusaha meneleponmu tapi tak pernah bisa. Aku
membuka jejaring sosialmu tapi sepertinya kamu sudah memblokir-ku. Aku
mengirimkan banyak sekali pesan di email, tapi tak ada satupun yang kau balas.
Tidak seperti biasanya, mengapa tiba-tiba kau begitu keras hati?
Aku tahu aku sudah
mengecewakanmu. Tapi bukankah biasanya kau sangat pemaaf? Bukankah kau
mencintaiku? Bukankah kita saling mencintai?
Aku membaca suratmu yang kau
kirim pada 1 Maret lalu. Aku membacanya berulang-ulang. Terus menerus. Itu
surat terakhir yang kau kirim untukku. Aku suka kata-katamu yang selalu indah.
Kemarahan yang kau bungkus lewat kata-kata yang manis. Aku tahu kau sedang
mengingatkanku tentang sesuatu. Tentang mimpi-mimpimu yang tak terbatas. Hei,
aku ingat permintaanmu beberapa waktu lalu. Kau memintaku membawakan segenggam
pasir untukmu. Mengapa, mengapa kau suka sekali hal-hal yang sangat abstrak?
Aku akan mengirimkanmu surat
setiap hari, sampai kau membalas suratku. Kau tahu, aku ini hanya seseorang
yang selalu berteman dengan benda. Aku sedikit sekali berinteraksi dengan
manusia. Kau tahu aku sulit menuliskan kata-kata yang indah. Tapi hari ini, aku
membuka surat-surat yang pernah kau kirimkan padaku. Aku membaca
kalimat-kalimatnya, aku ingin melakukan hal yang sama padamu. Aku ingin kau
tahu, bahwa surat-suratmu, sayangmu, cintamu, rindumu, telah mengubah mesin
ini menjadi manusia. Maafkan aku.
Yours
Zoro
Aku
tak percaya kau masih meninggalkan pesan seindah itu. Berkali-kali kulihat
berandamu. Foto-foto lama milikmu kembali bermunculan satu persatu. Semuanya
lengkap dengan pesan perpisahan. Banyak yang merindukanmu. Bukan hanya aku.
Mereka juga kehilangan. Sama seperti aku. Banyak yang tak percaya, apalagi aku.
Apa aku harus berharap ada keajaiban terjadi?
Apa
aku harus menangis? Apa menangis akan mengembalikanmu? Mengapa kau teledor kali
ini? Bukankah kau yang selalu bilang jika pekerjaanmu terlalu beresiko. Mengapa
kau abai? Mengapa? Apa kau lupa ada aku yang selalu menunggu kabar baik
tentangmu?
Maret
belum lagi usai, tapi cerita ini sudah usai dengan sendirinya. Kau ingat, Maret
adalah awal kita menaruh cinta bertahun-tahun silam. Tentang cinta yang tumbuh
diam-diam. Kini juga berakhir dengan diam. Selamanya bisu.[]
23
Maret 2014
23:55
WIB
75 panggilan? dahsyat kali, kak aja kalau miscall orang 5 kali aja udah pegal, ini betul2 berkepentingan (*edisimaksa
BalasHapusitu selama 20 hari kak :-),
HapusAaah pedih sekali ...
BalasHapusIni ungu atau hitam?
campuran ungu dan hitam mbak Mugniar :-)
Hapus