Dua
belas jam. Aku tau itu bukan waktu yang lama. Tapi aku merasa
perjalanan ini bagai setahun. Mungkin lebih. Aku disergap jenuh yang
bertubi-tubi. Berbagai kecamuk keinginan melabirin di ruang ingat. Aku ingin
waktu membawaku lebih cepat ke kotamu.
Semakin
deru itu melaju semakin kubaui aroma kotamu yang sibuk. Tapi bersamaan dengan
itu ketakutan paling maha terus melesakku. Aku menatap ke luar jendela.
Membuang pandang ke langit paling biru di ujung langit. Tetapi hatiku tetap
kelabu. Muram tak dapat kutolak. Apa yang kucari di kota itu tanpamu. Hari ini
adalah penyempurnaan dari segala benci yang kurasa untuk sebuah perjalanan.
Lelah.
Marah. Tapi akhir dari perjalanan itu membawaku ke hadapanmu. Kau begitu kaku.
Tak lagi dapat menyunggingkan sepotong senyum. Sepasang sayap yang tiba-tiba
saja berhenti mengepak. Atau mata yang entah mengapa berhenti berbinar, atau
berkedip jenaka.
Aku
tak bisa berteriak. Sekalipun sangat ingin menggugat. Aku hanya bisa menatap
nanar pada gundukan tanah yang aku tahu ada jasadmu di dalam sana. Hari ini
adalah puncak di mana sedih tak perlu diberi nama. Jika ini soal takdir, maka
selama ini takdir kita tak pernah bernama bukan? Maka itu aku tak ingin memberi
makna atas kehilangan ini.
Kau
pernah bilang, kau ingin sekali mempunyai kebun anggrek yang luas. Tapi kini
Tuhan memberimu kebun kemboja yang begitu luas. Aromanya begitu semerbak. Tapi
juga mistis. Menusuk indera paling rasa dalam diriku. Mengingatkanku pada
celotehmu yang selalu menembus naluriku.
Lihatlah,
kemboja itu meliuk-liuk. Bunganya putih bersih bercampur kuning. Daun-daunnya begitu lebat. Tidakkah
itu jadi teman yang indah di kebun ini? Di titik paling nadir ini, aku ingin
sekali menjadi kemboja. Yang kuntum atau daun-daunnya berguguran di atas
gundukan tanah yang menaungimu. Aroma yang menyelinap ke pusaramu. Bersama
desau angin yang bergemerisik mengirimkan pesan-pesan.
Aku
mengambil segenggam tanah kemudian menaburkannya ke udara. Seperti inilah
hatiku sekarang. Tak terbentuk. Bukan lagi sekedar remuk. Angin telah menghilangkan
serpihan-serpihannya. Purnama yang akan datang pun tak mampu mengutuhkannya
kembali.
Aku
ingin kau ada untuk menyeka kelopak mataku. Aku ingin kau melihat betapa lelah
dan perihnya kerjapan demi kerjapan ini. Hati yang basah tak akan pernah kering
lagi. Mata yang sembab akan melahirkan cerita hilang paling lara. Rapuh. Apakah
aku seperti pohon dengan ranting-ranting yang kurus dan kering? Apakah aku
seperti pasir-pasir yang mudah takluk pada angin? Tidak. Kau selalu
mengajarkanku agar selalu menjadi karang yang kuat. Kepergianmu adalah hempasan ombak paling dahsyat yang menghantam.[]
Taman Kemboja, 25 Maret 2014
Mengusik kerinduanku pada "laki2 agung" yang bersemayam sejak 11 tahun silam..
BalasHapus