ilustrasi |
Beberapa saat kemudian terdengar suara pukulan, tamparan -tidak begitu kuat- di pipi si bocah tadi. Akhirnya aku benar-benar terbangun tapi sengaja tidak membuka mata. Aku pura-pura tidur, sedikit pun tidak berkutik.
Orang dewasa itu - aku langsung mengenalnya begitu mendengar suaranya- sepertinya sangat kesal. Ia mencubiti anaknya berkali-kali, memukuli pantatnya, sampai-sampai anaknya yang berusia delapan tahun menangis hingga suaranya hilang. Beberapa makian yang diucapkan sambil berdesis turut kutangkap. Si anak meminta sesuatu yang tidak bisa dipenuhi ibunya saat itu juga. Lalu si ibu menghukum anaknya dengan hukuman fisik seberat itu.
Aku belum menikah, jadi belum tahu bagaimana rasanya menjadi ibu. Walau aku punya keponakan dan sepupu yang masih balita dan sangat kusayang, tentu rasanya berbeda dengan mengurus anak sendiri. Dalam tidur siang itu, aku berpikir, seorang ibu-atau ayah- apakah pantas memperlakukan anaknya seburuk itu. Apakah karena mereka 'memilikinya' lantas merasa boleh memperlakukan anak-anaknya sesuka hatinya?
Apa yang salah dengan permintaannya?
Kukira yang salah justru kita para orang dewasa, yang terlalu terburu-buru emosi dan menganggap anak-anak kita mampu memahami kondisi orang tuanya. Yang meminta mereka memahami kondisi kita sementara kita tidak mau memahami kondisi mereka. Yang meminta mereka menjadi anak baik sementara kita tidak menunjukkan sikap baik kepada mereka.[]